Menelisik Ragam Persoalan Komunikasi Politik Indonesia
loading...
A
A
A
Shulhan Rumaru
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Peneliti The Political Literacy Institute
DALAM konteks demokrasi yang semakin kompleks, komunikasi memainkan peran yang tidak terpisahkan dalam memperkuat fondasi kestabilan dan kemajuan suatu negara. Komunikasi yang efektif dan transparan antara pemerintah dan masyarakatnya menjadi kunci utama dalam menjamin ketahanan demokrasi dan konsolidasi politik . Tanpa adanya dialog yang konstruktif dan penyampaian informasi yang jujur, maka proses pembangunan politik dan sosial akan menghadapi berbagai hambatan yang bisa mengarah pada kegaduhan publik bahkan ketidakstabilan.
Mari menilik lebih dalam sejumlah persoalan berikut ini, dimana banyak pejabat publik tak pandai melakukan komunikasi lintas instansi, tak piawai berkomunikasi di ruang publik, gagal berdialektika dalam diskursus publik, buruk dalam manajemen reputasi politik, tak memahami komunikasi simbolik politik, bahkan kerap kali mengalami “slip of the tongue” akibat minimnya kecakapan komunikasi.
Ketidakmampuan komunikasi ini terlihat dari beragam ucapan pejabat politik yang beredar di ruang publik, baik terkait penanganan isu Covid-19 hingga polemik Undang-Undang Cipta Kerja, yang berujung pada kegaduhan publik. Sebagai contoh, Menteri Perhubungan di Era Jokowi, Budi Karya Sumadi pernah berujar “Virus corona tidak ditemukan di Indonesia karena masyarakatnya memiliki kekebalan tubuh yang didapat dari kegemaran memakan nasi kucing”. Pernyataan tersebut menunjukkan kedangkalan empati terhadap situasi bahaya yang dihadapi publik akibat Covid-19 sekaligus membuktikan ketidakpahaman psikologi komunikasi pada masa kritis.
Selain itu, masifnya peredaran informasi yang tidak jelas, tidak terkoordinasi, dan sering kali terjadi “paradoxal statement” antar-pejabat, telah menciptakan kebingungan publik sekaligus memantik aksi protes yang meluas dalam kasus-kasus tertentu. Situasi ini menunjukkan bahwa komunikasi publik bukan hanya tentang menyampaikan informasi, tetapi juga membangun kepercayaan dengan masyarakat. Ketika kepercayaan itu terganggu oleh komunikasi yang buruk, maka masyarakat lebih mudah terprovokasi oleh isu negatif sebagai implikasinya. Pahadal, seharusnya persoalan itu dapat dicegah melalui komunikasi yang efektif; dengan penjelasan yang rinci, transparan, dan terencana.
Beragam sengkarut persoalan komunikasi di atas, membuat kita menyadari satu hal penting bahwa komunikasi kini bukan hanya alat untuk menyampaikan pesan, tetapi telah berkembang menjadi elemen strategis yang menentukan arah kebijakan dan mengelola persepsi publik terhadap pemerintah. Selain itu, terminologi komunikasi yang dikemukakan Lous Allen sebagai "jembatan makna", telah mampu diperankan Dr. Gun Gun Heryanto melalui bukunya "Ragam Persoalan Komunikasi Politik Indonesia" yang menawarkan perspektif kritis, tajam, dan komprehensif guna mengurai berbagai isu komunikasi politik yang terjadi di Indonesia, mulai dari masalah regulasi pemilu hingga tantangan komunikasi publik di masa pandemi.
Lebih spesifik, Dr. Gun Gun juga mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana komunikasi politik dapat berperan sebagai alat penguat demokrasi di tengah realitas politik yang paradoksal. Hal ini nampak pada Bab-bab awal dalam buku ini, seperti membahas kualitas pemilu dan regulasi demokrasi dan menekankan pentingnya integritas dalam proses politik. Dalam sudut pandang penulis, pemilu adalah cerminan kesehatan demokrasi yang hanya dapat terwujud melalui komitmen semua pihak untuk menjaga keadilan dan keadaban politik, tak terkecuali komitmen komunikasi yang berkedaban dan konsolidatif.
Di lain bahasan, Dr. Gun Gun menangkap pola komunikasi politik di Indonesia yang kerap kali menjadi panggung bagi “drama elite,” di mana pesan yang disampaikan tidak selalu mencerminkan kepentingan publik. Hal ini diulas rinci dalam analisis Dramaturgi dari Erving Goffman, yang menjelaskan bagaimana aktor politik memainkan peran berbeda di panggung depan dan belakang. Paradoks komunikasi politik ini menjadi benang merah yang menggambarkan kompleksitas persoalan politik Indonesia.
Harus diakui, salah satu kekuatan utama buku ini adalah kemampuan penulis dalam mengurai kompleksitas peristiwa politik melalui kerangka teori komunikasi. Dr. Gun Gun dengan cermat mengaplikasikan beragam teori, termasuk Theory of Planned Behavior dan Dramaturgi Politik, untuk menjelaskan mengapa perilaku politik sering kali terlihat kontradiktif.
Dalam pembahasannya tentang regulasi pemilu, misalnya, teori Theory of Planned Behavior digunakan untuk menganalisis bagaimana norma subjektif dan kontrol perilaku dapat memengaruhi keputusan politik para aktor. Lanskap teoretik ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana komunikasi politik tidak hanya dipengaruhi oleh pesan yang disampaikan, tetapi juga oleh konteks sosial dan psikologis yang melingkupinya.
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Peneliti The Political Literacy Institute
DALAM konteks demokrasi yang semakin kompleks, komunikasi memainkan peran yang tidak terpisahkan dalam memperkuat fondasi kestabilan dan kemajuan suatu negara. Komunikasi yang efektif dan transparan antara pemerintah dan masyarakatnya menjadi kunci utama dalam menjamin ketahanan demokrasi dan konsolidasi politik . Tanpa adanya dialog yang konstruktif dan penyampaian informasi yang jujur, maka proses pembangunan politik dan sosial akan menghadapi berbagai hambatan yang bisa mengarah pada kegaduhan publik bahkan ketidakstabilan.
Konteks Persoalan
Mari menilik lebih dalam sejumlah persoalan berikut ini, dimana banyak pejabat publik tak pandai melakukan komunikasi lintas instansi, tak piawai berkomunikasi di ruang publik, gagal berdialektika dalam diskursus publik, buruk dalam manajemen reputasi politik, tak memahami komunikasi simbolik politik, bahkan kerap kali mengalami “slip of the tongue” akibat minimnya kecakapan komunikasi.
Ketidakmampuan komunikasi ini terlihat dari beragam ucapan pejabat politik yang beredar di ruang publik, baik terkait penanganan isu Covid-19 hingga polemik Undang-Undang Cipta Kerja, yang berujung pada kegaduhan publik. Sebagai contoh, Menteri Perhubungan di Era Jokowi, Budi Karya Sumadi pernah berujar “Virus corona tidak ditemukan di Indonesia karena masyarakatnya memiliki kekebalan tubuh yang didapat dari kegemaran memakan nasi kucing”. Pernyataan tersebut menunjukkan kedangkalan empati terhadap situasi bahaya yang dihadapi publik akibat Covid-19 sekaligus membuktikan ketidakpahaman psikologi komunikasi pada masa kritis.
Selain itu, masifnya peredaran informasi yang tidak jelas, tidak terkoordinasi, dan sering kali terjadi “paradoxal statement” antar-pejabat, telah menciptakan kebingungan publik sekaligus memantik aksi protes yang meluas dalam kasus-kasus tertentu. Situasi ini menunjukkan bahwa komunikasi publik bukan hanya tentang menyampaikan informasi, tetapi juga membangun kepercayaan dengan masyarakat. Ketika kepercayaan itu terganggu oleh komunikasi yang buruk, maka masyarakat lebih mudah terprovokasi oleh isu negatif sebagai implikasinya. Pahadal, seharusnya persoalan itu dapat dicegah melalui komunikasi yang efektif; dengan penjelasan yang rinci, transparan, dan terencana.
Solusi Perspektif Komunikasi
Beragam sengkarut persoalan komunikasi di atas, membuat kita menyadari satu hal penting bahwa komunikasi kini bukan hanya alat untuk menyampaikan pesan, tetapi telah berkembang menjadi elemen strategis yang menentukan arah kebijakan dan mengelola persepsi publik terhadap pemerintah. Selain itu, terminologi komunikasi yang dikemukakan Lous Allen sebagai "jembatan makna", telah mampu diperankan Dr. Gun Gun Heryanto melalui bukunya "Ragam Persoalan Komunikasi Politik Indonesia" yang menawarkan perspektif kritis, tajam, dan komprehensif guna mengurai berbagai isu komunikasi politik yang terjadi di Indonesia, mulai dari masalah regulasi pemilu hingga tantangan komunikasi publik di masa pandemi.
Baca Juga
Lebih spesifik, Dr. Gun Gun juga mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana komunikasi politik dapat berperan sebagai alat penguat demokrasi di tengah realitas politik yang paradoksal. Hal ini nampak pada Bab-bab awal dalam buku ini, seperti membahas kualitas pemilu dan regulasi demokrasi dan menekankan pentingnya integritas dalam proses politik. Dalam sudut pandang penulis, pemilu adalah cerminan kesehatan demokrasi yang hanya dapat terwujud melalui komitmen semua pihak untuk menjaga keadilan dan keadaban politik, tak terkecuali komitmen komunikasi yang berkedaban dan konsolidatif.
Di lain bahasan, Dr. Gun Gun menangkap pola komunikasi politik di Indonesia yang kerap kali menjadi panggung bagi “drama elite,” di mana pesan yang disampaikan tidak selalu mencerminkan kepentingan publik. Hal ini diulas rinci dalam analisis Dramaturgi dari Erving Goffman, yang menjelaskan bagaimana aktor politik memainkan peran berbeda di panggung depan dan belakang. Paradoks komunikasi politik ini menjadi benang merah yang menggambarkan kompleksitas persoalan politik Indonesia.
Harus diakui, salah satu kekuatan utama buku ini adalah kemampuan penulis dalam mengurai kompleksitas peristiwa politik melalui kerangka teori komunikasi. Dr. Gun Gun dengan cermat mengaplikasikan beragam teori, termasuk Theory of Planned Behavior dan Dramaturgi Politik, untuk menjelaskan mengapa perilaku politik sering kali terlihat kontradiktif.
Dalam pembahasannya tentang regulasi pemilu, misalnya, teori Theory of Planned Behavior digunakan untuk menganalisis bagaimana norma subjektif dan kontrol perilaku dapat memengaruhi keputusan politik para aktor. Lanskap teoretik ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana komunikasi politik tidak hanya dipengaruhi oleh pesan yang disampaikan, tetapi juga oleh konteks sosial dan psikologis yang melingkupinya.