DPP IMM Minta Indonesia Berperan Aktif Lindungi Muslim Uighur di Afghanistan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pasca dikuasai oleh kelompok Taliban, komunitas Uighur yang berada di Afghanistan mengaku ketakutan akan dilacak lalu di deportasi paksa ke China, setelah otoritas Tiongkok semakin memperkuat hubungan bilateral mereka dengan Taliban.
Dilansir dari nypost.com, Ketua Umar Uighur Trust kepada The Post mengatakan muslim Uighur di Afghanistan sangat ketakutan setelah Taliban menerima uang dan bantuan atas nama kerja sama dengan Pemerintah China.
Melihat kondisi tersebut, Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) meminta Indonesia untuk lebih berperan aktif dalam segenap upaya melindungi muslim Uighur yang masih berada di Afghanistan.
“Indonesia dalam tiga tahun terakhir kan aktif terlibat dalam proses bina damai (peace-building) di Afghanistan. Gunakan posisi ini untuk mengingatkan Taliban agar melindungi Uighur sebagai saudara sesama muslim,” ujar Ketua DPP IMM, Rimbo Bugis kepada wartawan, Senin (6/9/2021).
Walaupun bukan sebagai aktor utama dalam peace building di Afghanistan, posisi Indonesia dinilai sangat sentral dan berpengaruh oleh Taliban yang ditandai dengan kesediaan dan kehadiran mereka ke Jakarta 2019 lalu untuk berdiskusi dengan Pemerintah Indonesia.
Dalam pertemuan tersebut perwakilan Taliban, Mullah Abdul Ghanis Baradar berdiskusi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang ditemani oleh sejumlah pimpinan organisasi masyarakat (ormas) Islam, di mana Pemerintah Indonesia kala itu menitik beratkan upaya pencegahan kekerasan dalam praktik pemerintahan di Afghanistan serta memastikan perlindungan terhadap hak azazi manusia (HAM).
“Kami yakin Taliban akan mendengarkan saran kita (Indonesia) terkait perlindungan HAM termasuk kepada etnis Uighur. Kasihan mereka saat ini hidup dengan penuh ketakutan,” tutur Rimbo.
Ketakutan terhadap China bukan tidak berdasar mengingat Otoritas Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir memperluas tindakan represifnya terhadap Uighur di luar negeri. China menggunakan strategi agresif untuk membungkam muslim Uighur maupun simpatisannya dengan cara menahan di beberapa tempat di luar negeri lalu mengembalikan paksa mereka ke China.
Seperti yang dialami seorang wanita muda China bernama Wu Huan (26) yang mengaku diculik dari sebuah hotel di Dubai dan ditahan oleh pejabat China pada sebuah vila yang diubah menjadi sebuah penjara, bersama dua orang etnis muslim Uighur.
Wu Huan sendiri bukan orang Uighur melainkan orang Tionghoa Han, etnis mayoritas di Tiongkok, namun ia dan tunangannya Wang Jingyu dicari dan ditangkap hanya lantaran memposting pesan yang mempertanyakan liputan media China tentang protes Hong Kong pada tahun 2019 dan tindakan China dalam bentrokan perbatasan dengan India.
Komunitas Uighur di Afghanistan sendiri diperkirakan sekitar 2.000 orang dan kebanyakan dari mereka adalah generasi kedua imigran yang meninggalkan China beberapa dekade lalu.
“Apalagi kartu identitas setiap muslim Uighur di Afghanistan tertulis sebagai pengungsi China atau Turkestan. Mereka takut diambil paksa dan dibawa ke kamp-kamp konsentrasi seperti saudara-saudara mereka terdahulu,” jelasnya.
“Masyarakat dunia sudah tau apa itu kamp-kamp konsentrasi. Tak terhitung fakta disertai bukti-bukti pelanggaran berat HAM disana yang menyajikan dugaan penyiksaan, pemerkosaan hingga pembunuhan yang menjadi rangkaian kegiatan genosida muslim Uighur,” pungkas Rimbo.
Lihat Juga: Prabowo Bicara 1.000 Kawan Terlalu Sedikit, Satu Lawan Terlalu Banyak Pakai Bahasa China
Dilansir dari nypost.com, Ketua Umar Uighur Trust kepada The Post mengatakan muslim Uighur di Afghanistan sangat ketakutan setelah Taliban menerima uang dan bantuan atas nama kerja sama dengan Pemerintah China.
Melihat kondisi tersebut, Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) meminta Indonesia untuk lebih berperan aktif dalam segenap upaya melindungi muslim Uighur yang masih berada di Afghanistan.
“Indonesia dalam tiga tahun terakhir kan aktif terlibat dalam proses bina damai (peace-building) di Afghanistan. Gunakan posisi ini untuk mengingatkan Taliban agar melindungi Uighur sebagai saudara sesama muslim,” ujar Ketua DPP IMM, Rimbo Bugis kepada wartawan, Senin (6/9/2021).
Walaupun bukan sebagai aktor utama dalam peace building di Afghanistan, posisi Indonesia dinilai sangat sentral dan berpengaruh oleh Taliban yang ditandai dengan kesediaan dan kehadiran mereka ke Jakarta 2019 lalu untuk berdiskusi dengan Pemerintah Indonesia.
Dalam pertemuan tersebut perwakilan Taliban, Mullah Abdul Ghanis Baradar berdiskusi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang ditemani oleh sejumlah pimpinan organisasi masyarakat (ormas) Islam, di mana Pemerintah Indonesia kala itu menitik beratkan upaya pencegahan kekerasan dalam praktik pemerintahan di Afghanistan serta memastikan perlindungan terhadap hak azazi manusia (HAM).
“Kami yakin Taliban akan mendengarkan saran kita (Indonesia) terkait perlindungan HAM termasuk kepada etnis Uighur. Kasihan mereka saat ini hidup dengan penuh ketakutan,” tutur Rimbo.
Ketakutan terhadap China bukan tidak berdasar mengingat Otoritas Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir memperluas tindakan represifnya terhadap Uighur di luar negeri. China menggunakan strategi agresif untuk membungkam muslim Uighur maupun simpatisannya dengan cara menahan di beberapa tempat di luar negeri lalu mengembalikan paksa mereka ke China.
Seperti yang dialami seorang wanita muda China bernama Wu Huan (26) yang mengaku diculik dari sebuah hotel di Dubai dan ditahan oleh pejabat China pada sebuah vila yang diubah menjadi sebuah penjara, bersama dua orang etnis muslim Uighur.
Wu Huan sendiri bukan orang Uighur melainkan orang Tionghoa Han, etnis mayoritas di Tiongkok, namun ia dan tunangannya Wang Jingyu dicari dan ditangkap hanya lantaran memposting pesan yang mempertanyakan liputan media China tentang protes Hong Kong pada tahun 2019 dan tindakan China dalam bentrokan perbatasan dengan India.
Komunitas Uighur di Afghanistan sendiri diperkirakan sekitar 2.000 orang dan kebanyakan dari mereka adalah generasi kedua imigran yang meninggalkan China beberapa dekade lalu.
“Apalagi kartu identitas setiap muslim Uighur di Afghanistan tertulis sebagai pengungsi China atau Turkestan. Mereka takut diambil paksa dan dibawa ke kamp-kamp konsentrasi seperti saudara-saudara mereka terdahulu,” jelasnya.
“Masyarakat dunia sudah tau apa itu kamp-kamp konsentrasi. Tak terhitung fakta disertai bukti-bukti pelanggaran berat HAM disana yang menyajikan dugaan penyiksaan, pemerkosaan hingga pembunuhan yang menjadi rangkaian kegiatan genosida muslim Uighur,” pungkas Rimbo.
Lihat Juga: Prabowo Bicara 1.000 Kawan Terlalu Sedikit, Satu Lawan Terlalu Banyak Pakai Bahasa China
(kri)