Uji Materi ke MK, Siaran Berbasis Internet Diharapkan Ikuti UU Penyiaran

Sabtu, 30 Mei 2020 - 18:15 WIB
loading...
Uji Materi ke MK, Siaran...
Judicial Review (JR) atau uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dilakukan oleh stasiun televisi RCTI ke MK. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Judicial Review (JR) atau uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dilakukan oleh stasiun televisi RCTI ke Mahkamah Konstitusi (MK).

(Baca juga: Tiga Skenario Siti Fadilah Bisa Dibebaskan)

JR ini bukan masalah komersial tapi masalah konten. JR ditujukan untuk semua layanan dan tayangan video yang berbasis spektrum frekuensi radio, tanpa kecuali.

(Baca juga: Ditjen PAS Ungkap Kamar Siti Fadilah Dikunci Usai Deddy Corbuzier Masuk)

Sementara yang di uji materi adalah UU Penyiaran Nomor 32, Tahun 2002, Pasal 1, Ayat 2. Tujuannya agar semua konten video diatur sesuai aturan yang berlaku, tidak ruleless sehingga menjadi liar dan berbahaya bagi NKRI.

(Baca juga: Siti Fadilah Kembali Masuk Bui, Fahri Hamzah dan Irmanputra Sidin Bereaksi)

Sedangkan media, para ahli dan pemerintah/Lembaga Negara harus meluruskan pemahaman yang keliru baik di TV, online/portal, medsos, radio dan media cetak.

Dalam gugatannya, RCTI meminta semua layanan dan tayangan video berbasis spektrum frekuensi radio tanpa terkecuali tunduk kepada UU Penyiaran.

Dalam hal ini termasuk siaran menggunakan internet. Dikutip dari laman resmi MK, dalam pokok permohonan ruang lingkup pasal yang diuji yakni Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran. Berkas permohonan uji materi telah diterima MK pada Rabu (27/5/2020) pukul 16.50 WIB.

Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran berbunyi: 'Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.'

RCTI selaku Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi mereka karena menyebabkan adanya perlakuan yang berbeda (unequal treatment) antara Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over the Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran.

"Oleh karena tidak adanya kepastian hukum apakah penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai dengan saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan UU Penyiaran," bunyi gugatan tersebut dikutip Sabtu (30/5/2020).

Pemohon menyatakan, sebaga rule of the game, UU Penyiaran mengatur setidaknya enam hal yaitu: (i) asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran di Indonesia; (ii) persyaratan penyelenggaraan penyiaran; (iii) perizinan penyelenggaraan penyiaran; (iv) pedoman mengenai isi dan bahasa siaran; (v) pedoman perilaku siaran; dan yang tidak kalah penting adalah (vi) pengawasan terhadap penyelenggaraan penyiaran.

Menurut Pemohon, pembedaan perlakuan terjadi karena keenam hal di atas hanya berlaku bagi penyelenggara penyiaran konvensional sebagaimana Pemohon. Sebaliknya, hal ini tidak berlaku bagi penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT.

Terkait enam aturan yang diwajibkan itu, Pemohon juga menyatakan, dalam penyelenggaraan penyiaran, mereka wajib tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS) dalam membuat konten siaran. Apabila melanggar, akan dikenakan sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai bagian dari tugas pengawasan.

Sementara, bagi penyelenggara siaran yang menggunakan internet tidak ada kewajiban untuk tunduk pada P3SPS sehingga luput dari pengawasan. Padahal faktanya banyak konten siaran yang disediakan layanan OTT tidak sesuai dengan P3SPS dimaksud.

"Pembedaan perlakuan sebagaimana diuraikan dalam contoh-contoh di atas berimplikasi pada ketiadaan 'level playing field' dalam penyelenggaraan penyiaran, yang pada akhirnya sangat merugikan Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional baik secara materil maupun immaterial," kata Pemohon.

Tidak hanya itu, penyelenggaraan penyiaran sebagai bentuk ekspresi kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi, baik itu secara konvensional maupun secara digital harus mengindahkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Namun permasalahannya justru terletak pada munculnya berbagai macam penyelenggaraan penyiaran model baru yang berbasis internet sebagaimana dilaksanakan sejumlah layanan OTT.

Sampai dengan saat ini konten-konten siaran berbasis internet tersebut belum bisa dijangkau oleh UU Penyiaran karena definisi penyiaran yang masih multitafsir. Karena itu, tidak ada instrumen konstitusional yang dapat memastikan penyelenggaraan/aktivitas penyiaran berbasis internet tersebut sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945

"Bahwa apabila ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tidak dimaknai mencakup penyiaran menggunakan internet, maka jelas telah membedakan asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran antar penyelenggara penyiaran. Konsekuensinya bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak berasaskan Pancasila, tidak menjunjung tinggi pelasanaan Pancasila dan UUD 1945, tidak menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa," bunyi alasan judicial review tersebut.

Pemohon juga mendalilkan, sebagai sesama penyelenggara penyiaran, baik yang konvensional seperti halnya Pemohon maupun yang berbasis internet seperti halnya layanan OTT, seharusnya mendapatkan status dan kedudukan yang sama sebagai subjek hukum dalam UU Penyiaran.

Akan tetapi, apabila ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tidak dimaknai mencakup penyelenggaraan penyiaran berbasis internet, maka jelas akan menyebabkan adanya disparitas atau pembedaan status dan kedudukan di antara penyelenggara penyiaran.

Dengan kata lain, penyelenggara penyiaran berbasis internet belum bisa dikategorikan sebagai subjek hukum dalam UU Penyiaran yang berkonsekuensi tidak terikat dengan seluruh ketentuan perundang-undangan di bidang penyiaran khususnya UU Penyiaran.

Berdasarkan alasan-alasan hukum dan konstitusional tersebut, RCTI memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk merumuskan redaksional Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran menjadi: "Penyiaran adalah (i) kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran."

Uji materi ini ditujukan kepada semua layanan dan tayangan video yang berbasis spektrum frekuensi radio, tanpa terkecuali. Uji materi dimaksudkan agar semua konten video diatur sesuai aturan yang berlaku sehingga tidak menjadi liar dan berbahaya bagi NKRI.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1603 seconds (0.1#10.140)