Cerita Mantan Guru yang Mencoba Peruntungan di Dunia Digital
loading...
A
A
A
Baca Juga
Jika demikian, orang akan cepat melupakan. Sponsor pun akan lari karena penonton atau pengikut akun medsosnya tidak banyak. Pakar TI, Alfons Tanujaya, mengatakan masyarakat harus memahami bahwa secara prinsip dasar dunia digital dan konvensional itu tetap membutuhkan kerja keras. Masalahnya, yang muncul di benak sebagian orang, dengan jualan daring, membuat video dan diunggah di Youtube dan Instagram, uang akan datang dengan cepat. Tidak seperti itu.
Dia mencontohkan ada 10 toko konvensional yang beralih jualan daring, entah membuat website sendiri atau di lokapasar (marketplace). Belum tentu semua sukses. Kemungkinan toko-toko itu untuk tidak berkembang di dunia maya tetap ada. kegagalan itu, menurutnya, karena pemilik toko tidak mengerti cara atau trik berjualan di dunia digital.
“Mereka harus tahu bagaimana cara mengkomunikasi dan menampilkan produk dengan baik. Yang penting presentasinya cakep, cepat tanggap, dan barang banyak. (Saat ditanya) Gimana barangnya ready? (Harus) Ready. Tetap saja seperti metode lama. Ingat service itu penting,” ujarnya.
Namun, berjualan di ranah digital, menurutnya, lebih murah dibandingkan secara konvensional. Orang tidak lagi harus menyewa toko bahkan memiliki barang yang banyak. Sekarang, ada orang-orang yang hanya menjadi makelar dengan cara memajang produk-produk tertentu di marketplace atau akun medsosnya. “Bisa berhasil asalkan dia mempertahankan kualitas dan layanan,” ucapnya.
Dahulu, dunia TI selalu identik dengan orang yang punya keahlian dan pengetahuan tentang perangkat lunak dan keras. Saat ini tidak lagi seperti itu. Mereka yang menjadi konten kreator itu mungkin saja tidak terlalu terampil dan paham mengenai perangkat lunak dan keras. Tak sedikit pula yang sangat ahli karena sejak awal membangun brand untuk akun medsos mengerjakan sendiri.
“Kalau kamu mau berhasil, misalnya jadi Youtuber, harus punya konsep yang kuat. Lalu, (urusan) konten yang bagus dan konsistensi perlu ada tim khusus. Enggak mungkin mau jadi Youtuber dan berhasil melakukan sendiri. Enggak ada ceritanya. Akan tetapi, kamu bisa jadi otaknya. Jadi tidak harus menguasai coding (dan sebagainya),” jelasnya.
Menurutnya, orang punya konsep itu nantinya bisa bayar orang yang terampil menggunakan perangkat lunak dan keras. “Orang yang bisa bikin video-video cakep, orang yang bisa membuat animasi akan kepakai. Cuma sebatas jasa animasi dan bikin video. Tidak akan mendapatkan hasil maksimal dari (yang memiliki) follower Youtuber yang banyak,” tuturnya.
Untuk terjun ke kreatif dan digital ini tidak sepenuhnya harus sekolah khusus. Alfons menerangkan sekolah itu hanya akan memberikan dasar saja, tapi tidak memberikan keterampilan yang berbeda secara signifikan. Yang harus dilakukan adalah belajar dan berulang-ulang. Dia menyebut dunia digital dengan segala platform dan kontennya akan terus berkembang dan menjadi ladang uang. “Arahnya (kebutuhan) influencer. Metode iklan lama akan bergeser (digital),” katanya.