Putkom Minta Rencana Pajaki Sembako dan Pendidikan Ditinjau Ulang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Puteri Anetta Komarudin yang akrab disapa Putkom menilai rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai atau PPN pada jasa pendidikan dan sembako perlu ditinjau ulang. Politikus Partai Golkar ini tidak setuju jika sembako dan jasa pendidikan dikenakan pajak.
"Menurut pandangan saya, wacana pengenaan PPN terhadap barang kebutuhan pokok ini perlu ditinjau kembali karena dampaknya akan sangat dirasakan secara langsung bagi masyarakat lewat kenaikan harga," kata Puteri kepada SINDOnews, Sabtu (12/6/2021).
Apalagi, kata dia, saat ini masih perlu fokus mendorong pemulihan daya beli masyarakat yang terpukul akibat pandemi. Terlebih, dia mengatakan, perlu diingat bahwa komponen konsumsi rumah tangga ini menjadi kontributor terbesar atau sekitar 57% bagi perekonomian Indonesia.
Maka itu, lanjut dia, jangan sampai wacana itu justru menimbulkan distorsi terhadap pemulihan daya beli masyarakat. "Begitupun, terkait wacana pengenaan PPN atas Jasa Pendidikan juga hendaknya dipikirkan secara matang, hati-hati dan bijak dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi terkini. Meskipun, wacana pengenaan PPN tersebut ditujukan kepada sekolah swasta dari PAUD hingga Perguruan Tinggi maupun lembaga bimbel," katanya.
Apalagi, ujar dia, saat ini juga masih perlu fokus mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang salah satunya dapat diwujudkan melalui perluasan dan kemudahan akses pendidikan. "Oleh karena itu, jangan sampai wacana ini justru kontradiktif dengan Prioritas Nasional untuk mencapai sumber daya manusia yang unggul," kata anak dari mantan Ketua DPR RI Ade Komarudin ini.
Menurut dia, pajak memang masih menjadi tumpuan penerimaan negara kita untuk menopang keberlanjutan pembangunan. Namun ketika berbicara terkait efektivitasnya, kata dia, kinerja penerimaan pajak ternyata masih belum optimal.
"Pada dokumen KEM-PPKF Tahun 2020 sendiri juga menyebutkan rasio perpajakan kita sulit meningkat karena besarnya sektor informal pada perekonomian Indonesia, rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak, dan semakin kecilnya basis perpajakan yang tergerus tingginya insentif perpajakan dalam bentuk belanja perpajakan," ungkapnya.
Sementara itu, dia mengungkapkan pada Laporan OECD juga menyebut skema penghindaran pajak menjadi salah satu temuan krusial yang menyebabkan rendahnya tax ratio. "Oleh karenanya, upaya reformasi perpajakan yang dapat dilakukan pemerintah diantaranya melalui penguatan dari sisi institusi dan kapasitas SDM, peningkatan kapasitas teknologi dan informasi, optimalisasi basis data dan proses bisnis dengan harapan bisa meningkatkan penerimaan negara, tanpa menambah beban masyarakat," pungkasnya.
"Menurut pandangan saya, wacana pengenaan PPN terhadap barang kebutuhan pokok ini perlu ditinjau kembali karena dampaknya akan sangat dirasakan secara langsung bagi masyarakat lewat kenaikan harga," kata Puteri kepada SINDOnews, Sabtu (12/6/2021).
Apalagi, kata dia, saat ini masih perlu fokus mendorong pemulihan daya beli masyarakat yang terpukul akibat pandemi. Terlebih, dia mengatakan, perlu diingat bahwa komponen konsumsi rumah tangga ini menjadi kontributor terbesar atau sekitar 57% bagi perekonomian Indonesia.
Maka itu, lanjut dia, jangan sampai wacana itu justru menimbulkan distorsi terhadap pemulihan daya beli masyarakat. "Begitupun, terkait wacana pengenaan PPN atas Jasa Pendidikan juga hendaknya dipikirkan secara matang, hati-hati dan bijak dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi terkini. Meskipun, wacana pengenaan PPN tersebut ditujukan kepada sekolah swasta dari PAUD hingga Perguruan Tinggi maupun lembaga bimbel," katanya.
Apalagi, ujar dia, saat ini juga masih perlu fokus mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang salah satunya dapat diwujudkan melalui perluasan dan kemudahan akses pendidikan. "Oleh karena itu, jangan sampai wacana ini justru kontradiktif dengan Prioritas Nasional untuk mencapai sumber daya manusia yang unggul," kata anak dari mantan Ketua DPR RI Ade Komarudin ini.
Menurut dia, pajak memang masih menjadi tumpuan penerimaan negara kita untuk menopang keberlanjutan pembangunan. Namun ketika berbicara terkait efektivitasnya, kata dia, kinerja penerimaan pajak ternyata masih belum optimal.
"Pada dokumen KEM-PPKF Tahun 2020 sendiri juga menyebutkan rasio perpajakan kita sulit meningkat karena besarnya sektor informal pada perekonomian Indonesia, rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak, dan semakin kecilnya basis perpajakan yang tergerus tingginya insentif perpajakan dalam bentuk belanja perpajakan," ungkapnya.
Sementara itu, dia mengungkapkan pada Laporan OECD juga menyebut skema penghindaran pajak menjadi salah satu temuan krusial yang menyebabkan rendahnya tax ratio. "Oleh karenanya, upaya reformasi perpajakan yang dapat dilakukan pemerintah diantaranya melalui penguatan dari sisi institusi dan kapasitas SDM, peningkatan kapasitas teknologi dan informasi, optimalisasi basis data dan proses bisnis dengan harapan bisa meningkatkan penerimaan negara, tanpa menambah beban masyarakat," pungkasnya.
(zik)