Daya Dukung Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan

Jum'at, 04 Juni 2021 - 20:28 WIB
loading...
Daya Dukung Lingkungan...
Rokhmin Dahuri, Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan - IPB University.
A A A
Rokhmin Dahuri
Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan - IPB University

DI ERA Industri 4.0 dan dunia yang saling terhubungkan (hyper interconnected) di abad-21 ini, kehidupan manusia diwarnai dengan berbagai macam ketidakpastian dan disrupsi yang super cepat. Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa permintaan manusia terhadap barang dan jasa (goods and services) yang berkualitas bakal terus bertambah seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, daya beli, dan kualitas hidup manusia. Barang dan jasa itu berupa kebutuhan dasar yang meliputi pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Maupun yang sifatnya sekunder dan tersier seperti transportasi, komunikasi, kebugaran, hiburan, dan pariwisata.

Untuk memenuhi segenap kebutuhan hidup tersebut, manusia melakukan berbagai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA (Sumber Daya Alam), baik yang terdapat di darat maupun di laut. Kemudian, SDA tersebut diolah dan dikemas menjadi berbagai macam produk (barang) yang dibutuhkan manusia. Untuk mendistribusikan berbagai jenis produk dan barang itu ke para konsumen atau pengguna (pasar), baik di dalam negeri maupun mancanegara, diperlukan infrastruktur, sarana transportasi dan komunikasi. Sarana transportasi dan komunikasi itu juga diperlukan untuk pergerakan dan hubungan manusia antar wilayah dalam suatu negara maupuan antar negara di dunia.

Selain mengandung beragam SDA, ekosistem alam (hutan, sungai, danau, pesisir, laut, dan udara) yang menyusun planet bumi, juga menyediakan jasa-jasa lingkungan (environmental services) berupa keindahan alam, media transportasi, kapasitas asimilasi untuk menetralisir berabagai jenis limbah, siklus hidrologi, siklus biogeokimia, dan fungsi-fungsi penunjang kehidupan (life-supporting functions) lainnya yang membuat planet bumi ini nyaman sebagai tempat tinggal dan hidup manusia.

Persoalannya kemudian adalah bahwa daya dukung (carrying capacity) ekosistem alam dalam menyediakan ruang kehidupan manusia (seperti pemukiman, perkantoran, dan kawasan industri), SDA, dan jasa-jasa lingkungan itu bersifat terbatas. Sementara itu, pola pembangunan dan gaya hidup manusia sejak Revolusi Inudstri-1 pada 1750-an hingga sekarang itu kurang ramah lingkungan dan tidak mengindahkan keterbatasan daya dukung lingkungan. Akibatnya, pencemaran, penggundulan hutan, overfishing, terkikisnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss), banjir, dan berbagai bentuk kerusakan lingkungan lainnya terjadi hampir di seluruh penjuru dunia pada tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) ekosistem bumi untuk mendukung pembangunan ekonomi.

Akumulasi dampak lingkungan akibat pembalakan hutan, pembukaan lahan rawa dan gambut, pertambangan, industri, transportasi, dan aktivitas manusia lainnya yang mengemisikan Gas Rumah Kaca (GRK), terutama CO2, secara berlebihan telah menimbulkan Pemanasan Global (Global Warming) atau Perubahan Iklim Global (Global Climate Change).

Selanjutnya, peningkatan suhu bumi ini telah mengakibatkan melelehnya gunung es raksasa di Kutub Utara (Samudera Artik) dan Kutub Selatan (Samudera Antartika), peningkatan permukaan laut, pemasaman laut (ocean acidification), cuaca ekstrem, gelombang panas, penurunan produktivitas pertanian, dan ledakan wabah penyakit yang telah merusak properti dan infrastruktur, menimbulkan kerugian ekonomi ratusan milyar dolar, dan merenggut jutaan nyawa manusia.

Yang mencemaskan, sejak 1750-an hingga sekarang suhu bumi telah meningkat 10C. Padahal, bila suhu bumi meningkat lebih dari 20C, niscaya segenap dampak negatipnya akan susah atau tidak bisa ditanggulangi (unmanageable) dengan IPTEK yang kita miliki sekarang (IPCC, 2019). Hasil pertemuan ke-24 Conference of the Party (COP-24) yang dihadiri oleh delegasi 196 negara anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Kota Katowice, Polandia pada Desember 2018 menghasilkan Buku Panduan tentang Kerangka Kerja Implementasi Perjanjian Iklim Paris tahun 2015.

Sayangnya, belum ada kesepakatan tentang target penurunan emisi CO2 untuk setiap negara, dan bagaimana cara untuk menurunkan emisi CO2 berdasarkan target tersebut. Jika laju emisi CO2 global seperti sekarang tidak segera dikurangi, maka dikhawatirkan suhu bumi bakal meningkat sebesar 30C pada 2030 dan bisa mengakibatkan climate catastrophe (malapetaka iklim) global (IPCC, 2020).

Pembangunan berkelanjutan adalah paradigma pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa merusak kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuahnnya (WCED, 1987). Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga dimensi: ekonomi, sosial, dan ekologi (lingkungan). Dimensi ekonomi mengandung arti bahwa pembangunan mesti menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan. Dimensi sosial memastikan bahwa kue pertumbuhan ekonomi itu harus didistribusikan untuk mensejahterakan seluruh penduduk dunia secara berkeadilan. Dimensi ekologi memastikan bahwa pembangunan ekonomi dan kegiatan manusia tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang mengancam keberlanjutan ekosistem alam.

Pada dasarnya, kerusakan lingkungan seperti pencemaran, overeksploitasi SDA, kepunahan jenis, dan pemanasan global itu terjadi lantaran laju (intensitas) pembangunan berupa konversi ekosistem alam untuk bebagai macam penggunaan lahan (land uses), eksploitasi SDA, pembuangan limbah, emisi GRK, dan kegiatan manusia lainnya melampaui DDL (Daya Dukung Lingkungan) suatu wilayah.

Oleh sebab itu, dari perspektif ekonomi – ekologi, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) hanya dapat diwujudkan, dengan memastikan bahwa laju pembangunan di suatu wilayah (Kabupaten/Kota, Propinsi, Negara atau Dunia) tidak melampaui DDL wilayah termaksud. Laju pembangunan di suatu wilayah bergantung pada jumlah penduduk, konsumsi SDA perkapita, laju buangan limbah (emisi GRK) perkapita, dan kebutuhan lahan untuk perumahan dan ruang kehidupan manusia lainnya perkapita. Sementara itu, DDL suatu wilayah secara alamiah ditentukan oleh luasan wilayah tersebut, potensi SDA nya, kapasitasnya dalam mengasimilasi limbah dan emisi GRK, keindahan alam, dan fungsi-fungsi penunjang kehidupan yang terdapat di dalamnya.

Menurut Brown (2003) DDL planet bumi secara alamiah untuk dapat mendukung kehidupan umat manusia dengan pendapatan perkapita yang mensejahterakan, rata-rata 8.000 dolar AS adalah sekitar 8 milyar orang. Untungnya, DDL ekosistem alam (bumi) bisa ditingkatkan dengan aplikasi teknologi dan manajemen. Contohnya, produktivitas lahan sawah secara alamiah itu sekitar 1 ton/ha/tahun. Dengan menggunakan teknologi (seperti bibit unggul, pupuk, irigasi, dan precision farming dengan Artificial Intelligent, Internet of Things serta teknologi Industri-4.0 lainnya), produktivitasnya dapat ditingkatkan menjadi 10 – 15 ton/ha/tahun. Kendati demikian, DDL suatu wilayah tidak bisa ditingkatkan dengan teknologi tanpa batas.

Ada batas maksimumnya penggunaan tekonologi dalam meningkatkan DDL suatu wilayah. Setelah tercapai titik maksimum, peningkatan input teknologi justru akan menurunkan produktivitas dan DDL suatu wilayah (law of diminishing return). Dengan intervensi teknologi dan manajemen, DDL bumi diperkirakan hanya mampu mendukung kehidupan penduduk dunia untuk sekitar 12 milyar orang, dengan rata-rata pendapatan perkapita 8.000 dolar AS (Harvard University, 2010).

Pada tataran praksis, DDL wilayah dapat dipelihara dan bahkan ditingkatkan dengan mengimplementasikan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) secara benar, kosisten, dan berkelanjutan. Minimal 30% dari luas total suatu wilayah mesti dijadikan sebagai kawasan lindung untuk menjamin kelestarian SDA dan lingkungn. Kawasan lindung tidak boleh dikonversi menjadi kawasan pertambangan, perkebunan, industri, dan peruntukan pembangunan lainnya. Hanya kegiatan penelitian, pendidikan, dan ekowisata yang boleh ada dalam kawasan lindung.

Selain itu, kita harus merehabilitasi hutan, danau, sungai, rawa, estuaria, mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan ekosistem alam lain yang telah mengalami kerusakan. Wilayah ekosistem perairan (danau, waduk, sungai, dan laut) yang telah mengalami overfishing atau kepunahan jenis harus dipulihkan stok ikannya dengan melakukan restocking dan stock enhancement secara tepat dan benar. Program konservasi pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem harus lebih ditingkatkan. Kapasitas asimilasi ekosistem sungai dan danau harus dirawat dengan melakukan kegiatan normalisasi dan river training.

Selain perbaikan tata kelola produksi hutan alam dan perikanan tangkap, untuk memenuhi kebutuhan pangan, serat (bahan sandang), obat-obatan (farmasi), kayu, kertas, bioenergy, dan komoditas SDA hayati lainnya yang terus meningkat; kita harus meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability dari semua usaha budidaya pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, Hutan Tanaman Industri, peternakan, dan perikanan yang ada saat ini. Lahan darat dan perairan di luar kawasan lindung, yang masih belum tergarap harus dikembangkan untuk berbagai usaha budidaya tersebut. Aplikasi bioteknologi, nanoteknologi, AI, IoT, dan teknologi Industri 4.0 lainnya diyakini dapat meningkatkan produtivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability dari sektor pertanian, kehutanan, dan kelautan dan perikanan.

Secara simultan, kita harus mengganti paradigma pembangunan ekonomi kapitalis (konvensional) yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kekayaan untuk kehidupan konsumtif, mewah dan hedonis diri, keluarga, perusahaan, atau kelompok nya. Dengan paradigma pembangunan ekonomi yang mendorong pertumbuhan ekonomi berkualitas, inklusif, dan ramah lingkungan untuk dunia yang lebih baik, sejahtera, damai, dan berkelanjutan.

Oleh karena itu, pada tataran mondial, pembangunan berkelanjutan hanya bisa terwujud, bila negara-negara dengan pendapatan perkapita diatas 12.535 dolar AS rela mengerem laju pertumbuhan ekonomi, pemanfaatan SDA, dan pembuangan limbah dan emisi GRK nya. Pada saat yang sama, negara-negara maju membantu negara-negara berkembang supaya penduduknya semua hidup sejahtera dengan pendapatan perkapita rata-rata 12.535 dolar AS. Kemudian, bangun sistem dan mekanisme perdagangan serta hubungan internasional yang lebih adil dan saling menghormati serta menguntungkan.

Akhirnya, pembangunan ekonomi harus rendah atau tanpa limbah dan emisi GRK, pemanfaatan SDA secara produktif dan efisien tidak melebihi kemampuan lestarinya, penggunaan produk untuk waktu yang lebih lama, penggunaan teknologi 3 R (Reduce, Reuse, dan Recycle) untuk mengubah limbah menjadi berkah, green design and construction, mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim dan bencana alam lainnya, dan peningkatan nilai tambah serta daya saing produk secara berkelanjutan.

Melalui implementasi pembangunan berkelanjutan seperti diuraikan diatas, niscaya pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan bakal mampu mensejahteran seluruh warga dunia secara adil, dan secara simultan dapat memelihara daya dukung, kualitas, dan kelestarian lingkungan hidup.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1289 seconds (0.1#10.140)