Pandemial Bangkit dengan Karya: Muda Menolak Dampak Pandemi

Selasa, 25 Mei 2021 - 12:50 WIB
loading...
A A A
Hal ini karena mereka besar, berproses dan mengetahui bahwa kondisi dunia sedang tidak stabil penuh dengan resiko. Pandemial sudah seharusnya memiliki banyak inisiatif, produktif dan terus menciptakan karya ditengah situasi saat ini.

Pandemial juga disebut dengan ‘communaholic’, yang berarti tidak adanya batasan antara pertemanan daring dengan teman didunia nyata. Perbedaan budaya dan jarak menjadi kebiasaan.

Mereka gemar berinteraksi dengan berbagai manusia dari penjuru bumi lain dengan kecanggihan digital. Lebih fleksible dan gemar terkoneksi 24/7 ketika bekerja, belajar dan berkegiatan sehari-hari. Konsep keterhubungan tanpa kendala waktu, budaya dan jarak inilah yang menjadi karakter berkarya, bekerja dan belajar para pandemial saat ini.

Mental dan Ekonomi yang Fluktuatif
Psikolog humanistik, Abraham Maslow, merumuskan bagaimana hierarki kebutuhan manusia dalam bentuk piramida. Dalam piramida paling dasar, kebutuhan itulah yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhan yang diatasnya.

Di piramida tersebut, urutan kebutuhan dari yang paling dasar adalah physiology, safety, love/belonging, esteem, dan paling atas adalah self-actualization. Jika mengaitkannya dengan anak muda, jika kebutuhan dasar masih sulit terpenuhi, maka akan cukup sulit untuk bisa berkontribusi untuk bangsa.

Pada saat pandemi, dampak yang paling terasa adalah ekonomi dan anak muda merasakan efeknya, bahkan boleh dikatakan cukup parah. TransUnion Wave 10 Pulse merilis sebuah survei pada Juli 2020 lalu.

Survei itu mengatakan 54% anak muda terpaksa membangun finansialnya dari awal dan sebanyak 22% rentan finansial. Lebih lanjut, 54% dari 5.000 pekerja yang di survei oleh Jobstreet kena PHK dan dirumahkan. Fakta menarik dari survei ini ialah, dari sisi usia, 67% adalah pekerja berusia 16-24 tahun. Ada juga data dari Wittgenstein Center for Demography and Human Capital yang mengatakan bahwa hanya 14,4% milenial di Indonesia yang tamat kuliah.

Kenyataan ini harus dilihat bahwa anak muda di masa pandemi mesti berjibaku terhadap persoalan ekonomi personal. Terlebih, dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja yang dialami kaum muda membuat mereka berfokus pada diri sendiri dan keluarga, bagaimana memenuhi kebutuhan dasarnya.

Ditambah lagi, pengelolaan keuangan yang kacau karena anak muda mementingkan prinsip hidup YOLO menambah masalah finansial anak muda. Pandemial mengalami ketidakstabilan dalam ekonomi mereka.

Tetapi, hal lain yang patut dikhawatirkan selain isu ekonomi adalah persoalan kesehatan mental. Dalam Global Risk Report 2021 yang dikeluarkan oleh WEF dan Zurich Insurance, 80% anak muda di seluruh dunia mengalami penurunan kondisi mentalnya. Masalah ini lebih sulit dibandingkan ekonomi karena berkaitan dengan kejiwaan. Tanpa jiwa yang sehat, bahkan melakukan aktivitas kecil menjadi berat. Pandemi memberikan efek yang keras terhadap kondisi mental anak muda.
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1121 seconds (0.1#10.140)