Pandemial Bangkit dengan Karya: Muda Menolak Dampak Pandemi

Selasa, 25 Mei 2021 - 12:50 WIB
loading...
Pandemial Bangkit dengan Karya: Muda Menolak Dampak Pandemi
Taufan Teguh Akbari, Wakil Rektor 3 – IKB LSPR Jakarta. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Taufan Teguh Akbari
Wakil Rektor 3 – IKB LSPR Jakarta
Ketua Yayasan Millennial Berdaya Nusantara (@rumah.millennials)
Pengamat Kepemudaan dan Kepemimpinan
@mrtaufanakbari

BANYAK narasi yang menggaungkan bahwa generasi muda akan menjadi pengawal bagi pembangunan bangsa. Hal ini karena dalam beberapa tahun mendatang, Indonesia akan menikmati bonus demografi di mana jumlah usia produktif lebih banyak dibandingkan usia non produktif.

Kondisi ini tidak dialami oleh Cina dan Jepang, yang justru terbalik kondisinya meski sebab muasalnya berbeda. Tren ini juga dibarengi dengan proyeksi positif lainnya mengenai Indonesia. Ada prediksi dari McKinsey yang mengatakan bahwa Indonesia akan berada di peringkat tujuh dunia di tahun 2030 sebagai negara ekonomi terbesar.

Berbeda dengan laporan dari Centre for Economic and Business Research, di mana Indonesia akan berada di peringkat ke-8 di tahun 2035. Menurut The Economist Intelligence Unit, di tahun 2050, Indonesia akan berada di peringkat 4 di tahun 2050.

Bonus demografi dan proyeksi ini sejatinya adalah sebuah harapan akan tampilnya Indonesia di kancah dunia. Dengan pemuda yang menjadi garda terdepan dalam pembangunan bangsa, generasi sebelumnya bisa menggantungkan harapannya terhadap generasi muda saat ini. Terlebih, beberapa anak muda Indonesia telah membuktikan bahwa muda bukan berarti minim pengalaman, tetapi justru mereka adalah sosok berkompeten, berprestasi dengan idealis yang terjaga dan terkawal dengan baik.

Pandemi telah menghadapkan pemuda pemudi di berbagai penjuru dunia pada tantangan yang begitu besar termasuk di Indonesia. Namun, saat ini, “Pandemial” – sebutan untuk anak muda ketika pandemi menjadi ancaman yang serius bagi kehidupan mereka. Faktanya, ancaman yang dihadapi pandemial tidak hanya berasal dari luar diri mereka, melainkan dari dalam diri mereka. Boleh jadi mereka tersungkur, tetapi boleh jadi mereka justru bangkit dari ketertinggalan.

Pandemial berhadapan dengan berbagai tantangan seperti terganggunya kohesi sosial yang disebabkan oleh kesenjangan digital dan ketimpangan ekonomi. Tantangan generasi pandemial yang berujung pada hilangnya kesempatan bekerja dan peluang ekonomi, kesenjangan digital yang berdampak pada ketimpangan ‘gap’ ekonomi dan sosial, terhambat dan keterlambatan tumbuh kembang dalam proses keterampilan dan akademik hingga kondisi kesehatan mental yang memburuk.

Belum lagi peserta didik disekolah dan kampus yang kehilangan begitu banyak momentum pembelajaran, keterampilan teknis, sosial dan prestasi akademik. Teknologi berperan besar dalam situasi pandemi seperti saat namun lantas tidak berarti menyelesaikan semua persoalan. Timbul masalah baru yang menjadi tantangan kita bersama untuk menghadirkan solusinya, seperti munculnya disparitas digital yang menyebabkan ketimpangan daya saing pemuda diberbagai daerah.

Pandemial disebut sebagai generasi yang hidup ditengah pandemi (Covid-19), menjalani berbagai norma baru dalam keseharian. Mulai dari menjalankan protokol 5M (mencuci tangan, menjaga jarak, menggunakan masker, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas) hingga belajar, bekerja dan wisuda dari rumah.

Mereka juga masuk dalam sekelompok generasi yang merasakan magang dari rumah, berbisnis, berkreasi dan melakukan produktivitas karya dari rumah. Namun begitu, mereka memiliki kepekaan dan kesadaran ekologi yang tinggi.

Hal ini karena mereka besar, berproses dan mengetahui bahwa kondisi dunia sedang tidak stabil penuh dengan resiko. Pandemial sudah seharusnya memiliki banyak inisiatif, produktif dan terus menciptakan karya ditengah situasi saat ini.

Pandemial juga disebut dengan ‘communaholic’, yang berarti tidak adanya batasan antara pertemanan daring dengan teman didunia nyata. Perbedaan budaya dan jarak menjadi kebiasaan.

Mereka gemar berinteraksi dengan berbagai manusia dari penjuru bumi lain dengan kecanggihan digital. Lebih fleksible dan gemar terkoneksi 24/7 ketika bekerja, belajar dan berkegiatan sehari-hari. Konsep keterhubungan tanpa kendala waktu, budaya dan jarak inilah yang menjadi karakter berkarya, bekerja dan belajar para pandemial saat ini.

Mental dan Ekonomi yang Fluktuatif
Psikolog humanistik, Abraham Maslow, merumuskan bagaimana hierarki kebutuhan manusia dalam bentuk piramida. Dalam piramida paling dasar, kebutuhan itulah yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhan yang diatasnya.

Di piramida tersebut, urutan kebutuhan dari yang paling dasar adalah physiology, safety, love/belonging, esteem, dan paling atas adalah self-actualization. Jika mengaitkannya dengan anak muda, jika kebutuhan dasar masih sulit terpenuhi, maka akan cukup sulit untuk bisa berkontribusi untuk bangsa.

Pada saat pandemi, dampak yang paling terasa adalah ekonomi dan anak muda merasakan efeknya, bahkan boleh dikatakan cukup parah. TransUnion Wave 10 Pulse merilis sebuah survei pada Juli 2020 lalu.

Survei itu mengatakan 54% anak muda terpaksa membangun finansialnya dari awal dan sebanyak 22% rentan finansial. Lebih lanjut, 54% dari 5.000 pekerja yang di survei oleh Jobstreet kena PHK dan dirumahkan. Fakta menarik dari survei ini ialah, dari sisi usia, 67% adalah pekerja berusia 16-24 tahun. Ada juga data dari Wittgenstein Center for Demography and Human Capital yang mengatakan bahwa hanya 14,4% milenial di Indonesia yang tamat kuliah.

Kenyataan ini harus dilihat bahwa anak muda di masa pandemi mesti berjibaku terhadap persoalan ekonomi personal. Terlebih, dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja yang dialami kaum muda membuat mereka berfokus pada diri sendiri dan keluarga, bagaimana memenuhi kebutuhan dasarnya.

Ditambah lagi, pengelolaan keuangan yang kacau karena anak muda mementingkan prinsip hidup YOLO menambah masalah finansial anak muda. Pandemial mengalami ketidakstabilan dalam ekonomi mereka.

Tetapi, hal lain yang patut dikhawatirkan selain isu ekonomi adalah persoalan kesehatan mental. Dalam Global Risk Report 2021 yang dikeluarkan oleh WEF dan Zurich Insurance, 80% anak muda di seluruh dunia mengalami penurunan kondisi mentalnya. Masalah ini lebih sulit dibandingkan ekonomi karena berkaitan dengan kejiwaan. Tanpa jiwa yang sehat, bahkan melakukan aktivitas kecil menjadi berat. Pandemi memberikan efek yang keras terhadap kondisi mental anak muda.

Misalnya di Amerika Serikat (AS), survei yang dilakukan oleh Household Pulse Survey dalam periode Agustus 2020 – Februari 2021 menemukan, 41,5% anak muda di AS mengalami depresi. Lantas, bagaimana Indonesia? Hasil temuan dari PDSKJI yang membuka layanan swa periksa hingga Oktober 2020 mengungkapkan banyak hal tentang kondisi pandemials.

Pertama, dari 5.661 masyarakat yang melakukan swaperiksa, 68% mengalami masalah psikologis. Kedua, secara lebih mendetail, dari 2.606 swaperiksa, 67% mengalami gejala cemas dan kebanyakan berusia dibawah 30 tahun.

Ketiga, dari 2.294 swaperiksa, 67,3% mengalami depresi bahkan hampir sebagian (48%) berpikir lebih baik mengakhiri hidup dan nahasnya kondisi itu terjadi pada rentang usia 18-29 tahun. Keempat, dari 761 swa periksa, 74,2% mengalami trauma psikologis dan dialami orang-orang berusia dibawah 30 tahun. Terakhir, dari 110 swaperiksa, 68% memiliki gejala ingin bunuh diri.

Menjadi Pemenang di Masa Pandemi
Pandemial saat ini terdampak baik dari segi ekonomi maupun kesehatan mental, dua elemen penting dalam perkembangan manusia. Pandemi yang membuat semua orang tidak boleh bertemu menghilangkan sentuhan interaksi yang membuat manusia merasa hidup.

Selain itu, ditambah dengan masalah ekonomi, kiranya kedua hal ini berkaitan satu sama lain. Terlebih, banyak persepsi dan anggapan bahwa di usia segini harus memiliki segalanya.

Hal ini yang membuat anak muda rentan stres. Ini terlihat bahwa pandemial mengalami tekanan yang berat di usia mereka yang masih muda. Akan tetapi, di saat sebagian pandemial larut dalam peliknya keadaan, beberapa justru melewati fase ini dan keluar menjadi pemenang.

Namun begitu, pandemial memiliki pilihan untuk diam atau melawan. Salah satu cara untuk melawan situasi sulit seperti sekarang adalah investasi leher keatas, meningkatkan dan memperluas wawasan sebagai bekal berselancar menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi. Bagi para PNS muda, hadir @jadipnsaja dan @abdi_muda yang menyajikan banyak wawasan seputar bagaimana menjadi abdi rakyat yang produktif.

Memang, saat ini pandemial terjebak dalam piramida bawah kebutuhan dasar. Mereka harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan ekonominya sambil merasakan perasaan depresi, cemas, dan takut.

Hal ini menjadi lazim ketika mempertimbangkan efek media sosial dan tuntutan dari orang tersayang terhadap kehidupannya. Tekanan yang diberikan membuat pandemial merasa berada dalam titik terbawahnya.

Tetapi, bukan anak muda namanya jika mereka tidak segera bangkit. Anak muda punya banyak energi yang bisa disalurkan untuk hal-hal yang positif.

Pemuda saat ini perlu memiliki saluran berkomunikasi dan berekspresi agar dapat bersuara dan memberikan kontribusi dalam pemulihan global dalam rangka menyelamatkan masa depan mereka. Misalnya, Firdza Radiany, Mutiara dan M. Kamil berhasil menginisiasi dan mengelola konten bermanfaat terkait Covid 19 yang sangat apik melalui portai informasi @pandemictalks.

Anak muda dikenal punya semangat juang dan pantang menyerah dengan daya juang yang tinggi. Di atas itu semua, pemuda Indonesia diharapkan tetap memelihara jiwa kolektif dan semangat nasionalisme yang tinggi. Itu bisa jadi bahan bakar untuk segera bangkit dari keterpurukan. Bahkan, bisa jadi, situasi saat ini dapat dimanfaatkan menjadi peluang.

Kondisi serba tak menentu seperti saat ini justru menstimulasi terciptanya anak muda kreatif dan jenius di bidangnya. Sebut saja hadirnya platform acara online bertajuk @indonesian.event yang digawangi oleh Safhira Al Farisi, @centennialz.id oleh Vinto dkk, @isbanbanfoundation dibersamai oleh Panji Aziz Pratama, @akupetani.id dicetuskan oleh Adhitya Herwin dan @panenpaindonesia yang digagas oleh Robertus Theodore. Mereka mengelola dan memanfaatkan momen pandemi penuh dengan manfaat dengan dampak yang luas.

Masa muda apalagi menghadapi situasi pandemi merupakan kejadian yang akan menjadi memori panjang kedepan, terjadi hanya sekali dan tidak dapat diulang kembali. Pandemial yang bergerak dengan karya memiliki kesadaran kolektif bahwa bangsa ini dapat bangkit dari keterpurukan ketika anak mudanya mengambil peran dan bergerak menyelesaikan permasalahan yang ada diakar rumput.

Hal ini juga yang melatarbelakangi munculnya @youthtopia.world digagas oleh Melati dan Isabela Wisjen, lalu ada @alir.air melalui Galuh Widdy yang membuat alat pencuci tangan otomatis berbasis sensor untuk disalurkan kepada masyarakat dan @bittle.wittle sebuah inisiatif dari Friderica Marrie yang menghadirkan buku interaktif tentang kewirausahaan bagi anak yang terkendala pembelajaran daring.

Hal terpenting ketika seseorang ingin mengubah taraf kehidupan adalah pentingnya memiliki pola pikir yang tepat. Dalam kondisi seperti ini, pola pikir adaptif menjadi kunci bagi menang atau tidaknya seseorang.

Pandemi masih belum memiliki titik akhir dari segi waktu, sehingga kita semua berjibaku terhadap situasi yang tidak pasti ini. Untuk menyambut ketidakpastian, pandemial wajib untuk menilai situasi, melihat ke dalam diri, kemudian berpikir apa yang bisa dilakukan di masa ini.

Karena, hidup itu sebenarnya ada di hari ini, karena besok kita tidak tahu apakah masih ada di dunia atau tidak. Apakah seseorang menjadi pemenang sukes mengejar mimpi atau tidak bergantung dari pola pikir dan langkah yang dilakukan saat ini. Bongkar pola pikir bahwa pandemi sesungguhnya banyak membawa kebaharuan pada kehidupan saat ini.

Seperti contoh, ada inisiasi unik dari remaja SMA yang bernama Clarine Winarta. Minatnya dalam seni membuatnya menginisiasi sebuah gerakan yang bernama Stork Project.

Ide awalnya ialah bagaimana gerakan ini dapat membantu seniman-seniman yang terdampak pandemi. Ada lagi contoh nyatanya dimana energi kreatif menjadi sumber penghasilan.

Di saat pandemi membuat sebagian anak muda diam, lain halnya dengan Ivana Harjadi, owner dari Ivi lashes justru berhasil mengekspor produk eyelash extension-nya ke Filipina dan Malaysia.

Sepanjang pandemi, pandemial menolak untuk diam. Hal ini mencerminkan bahwa sifat filantropis, kritis, pantang menyerah dan idealis menjadi DNA dari pandemial. Kita bisa menjemput inspirasi dari yang dilakukan Ananda Priantara melalui @satupaduindonesia, @ajakgerak yang didirikan Haikal Pramono, @pemimpin.indonesia diinisiasi oleh Dharmaji Suradika, @studenesia diprakarsai Aditya W Wardana, @bogoryouthforum digerakan Ramadhan Subakti, @gensmart_id dibersamai Reza Pahlevi, @konekinindonesia digagas Marthella Sirait, @raihcita.id digerakan Gammario Medi dan ribuan pandemial keren yang melawan pandemi dengan kekuatan dan perannya masing-masing.

Memilih untuk tidak menyerah. Melawan dengan karya, menebar inspirasi dan energi positif bagi pemuda lain. Mereka terus menjaga dan merawat imajinasi tentang bumi pijakannya, Indonesia. Melihat ini, tentunya menjadi bukti bahwa anak muda saat pandemi pun memiliki daya kreatif yang kuat jika menyalurkannya dengan baik.

Renjana ‘Passion’ dan Mandat Kehidupan
Berbagai ilustrasi insiatif diatas adalah contoh bagaimana sosok pandemial mengubah kehidupannya. Mereka justru memberikan usaha kreatif sebagai bentuk protes terhadap ketidakmampuan mereka. Beberapa anak muda diatas justru berkembang pesat mulai dari segi pola pikir dan juga sikap yang ditunjukkan.

Dan faktanya, Indonesia jika ingin meraih keuntungan maksimal bonus demografi, wajib menghadirkan semangat kewirausahaan baik di lingkungan pendidikan maupun sosial. Karena, dari data yang dihimpun oleh Kementerian Koperasi dan UMKM, tingkat kewirausahaan di Indonesia hanya 3,47%, kalah dari negara tetangga, Thailand (4,26%), Malaysia (4,74%), dan Singapura (8,76%).

Ada satu kesamaan yang membuat pandemial bergerak justru bisa memfokuskan energinya untuk melakukan sesuatu. Kesamaan itu terletak pada passion (renjana). Passion yang membuat mereka mampu menciptakan sesuatu dan memberdayakan banyak orang. Semua energi dihimpun untuk melakukan hal yang disukainya. Passion menciptakan sebuah peluang besar jika pandemial memiliki keinginan kuat.

Namun, menjalankan passion yang diinginkan harus dibarengi dengan komitmen. Komitmen untuk meluangkan sebagian waktunya, komitmen untuk terus melakukan peningkatan kemampuan, dan komitmen untuk tetap konsisten berada di jalannya.

Di situlah perbedaanya. Passion yang bukan sekedar kesukaan. Passion yang diisi dengan pola pikir, komitmen, dan konsistensi dalam pelaksanaannya. Jika kita menanyakan apa rumus sebagian besar orang sukses, kemungkinan besar jawaban seperti ini akan muncul dalam pernyataan mereka.

Hidup kita adalah milik kita sendiri bukan orang lain. Nasib kita bergantung pada seberapa besar tekad, kualitas, kompetensi, dan pola pikir. Kita semua adalah pemegang mandat kehidupan masing-masing.

Mandat kehidupan itulah yang saat ini kita pegang, bukan lagi orang tua yang memeliharanya, melainkan kita sendiri. Karena pandemial sudah memegang mandat kehidupan tersebut, wajib bagi generasi pandemi iniuntuk segera bangkit dari ketertinggalan.

Oleh karena itu, jadilah driver dalam hidup kita, bukan menjadi seorang penumpang dalam mobil. Keluar dari zona nyaman untuk berkembang menjadi pribadi yang lebih baik ke depannya. Jika mengingat prinsip YOLO, anak muda harus bangkit dan mencoba banyak hal.

Pandemi itu tantangan yang harus dituntaskan. Diam tidak menyelesaikan masalah. Tidak takut gagal dan belajar dari pengalaman merupakan guru kehidupan terbaik saat ini. Semakin banyak pengalaman, membuat kita semakin bijak, matang dan menjadi modal kesuksesan dimasa depan.

Yuk, pandemial diseluruh bumi Nusantara, mari kita taklukkan pandemi dengan memulai dan membuat karya nyata yang berdampak bagi sesama!
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1337 seconds (0.1#10.140)