Menyoal Efektivitas Larangan Mudik Lebaran

Selasa, 04 Mei 2021 - 05:49 WIB
loading...
Menyoal Efektivitas...
Tulus Abadi (Foto: Istimewa)
A A A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI

PERAYAAN Idulfitri tak bisa dilepaskan dengan fenomena mudik Lebaran, mudik ke kampung halaman. Sebuah fenomena sosio-kultural yang sudah berurat berakar, untuk melepas rindu pada kampung halaman.

Apa pun caranya akan ditempuh masyarakat agar bisa bertandang ke kampung halaman itu, kendati harus berutang sana-sini. Atau nglurug ke kampung halaman bermodalkan sepeda motor: sebuah upaya yang sangat berisiko tinggi dari sisi keselamatan. Termasuk situasi pandemi Covid-19 ini pun sepertinya tak menyurutkan masyarakat untuk mudik ke kampung halaman. Padahal, sudah jelas dan tegas pemerintah menggulirkan kebijakan bahwa mudik Lebaran 2021 dilarang, terhitung sejak 6-17 Mei 2021.

Untuk mendukung dan mengefektifkan larangan mudik Lebaran dimaksud, angkutan umum di semua lini wajib stop operasi. Pada perspektif pengendalian pandemi Covid-19, kebijakan yang digagas pemerintah bisa dimengerti. Pasalnya, hingga kini pandemi Covid-19 di Indonesia secara umum belum bisa “ditaklukkan”, walau, beberapa bulan terakhir mengalami tren penurunan.

Namun, mengacu pada tren global, utamanya kasus di India yang mengalami tsunami pandemi, larangan mudik Lebaran adalah sebuah keniscayaan. Apalagi di level beberapa negara ASEAN seperti Filipina, Singapura, Malaysia, dan Vietnam juga mengalami serangan gelombang kedua.

Kendati larangan mudik Lebaran sudah lama digaungkan, tampaknya efektivitas di lapangan masih jauh dari yang diharapkan. Pergerakan dan mobilitas massa ke daerah terlihat masih signifikan.

Memang sejak awal Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah memprediksi lebih dari 18 jutaan warga akan tetap nekat mudik, alias tak mengindahkan larangan yang telah diberlakukan. Lalu, hal ihwal apa sehingga larangan mudik itu terlihat kurang efektif? Ada beberapa catatan dan musababnya.

Musabab yang utama dan pertama terlihat sejak awal pemerintah setengah hati, bahkan ambigu, dalam mengambil kebijakan larangan mudik Lebaran. Sebagai contoh, awalnya Menteri Perhubungan (Menhub) menjamin bahwa pemerintah tidak akan melarang mudik Lebaran. Pernyataan Menhub ini tentu saja disambut antusias dan masyarakat tampak happy.

Antusiasme masyarakat tentu saja akan diikuti dengan aksi konkret, misalnya membeli tiket perjalanan, khususnya tiket kereta api, pesawat terbang, dan atau kapal laut. Pernyataan Menhub ini oleh banyak pihak sangat disesalkan karena dianggap terburu-buru dan seperti tidak mengindahkan pandemi. Terbukti, beberapa hari kemudian pemerintah, via Menko Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), secara resmi melarang mudik Lebaran, mulai 6-17 Mei 2021. Kalangan ASN (aparat sipil negara) pun hanya diberi libur satu hari, sebelum Idulfitri, dan tidak diperbolehkan mengambil cuti.

Selanjutnya ambiguitas pemerintah juga makin kentara manakala Menteri Pariwisata menyatakan bahwa perjalanan untuk keperluan wisata tidak dilarang. Tempat-tempat wisata pun selama libur Lebaran akan dibuka (beroperasi). Loh, apa bedanya dan bagaimana pula mengontrolnya?
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2471 seconds (0.1#10.140)