Investigasi vs Peninjauan Menyeluruh Covid-19?

Rabu, 20 Mei 2020 - 07:35 WIB
loading...
Investigasi vs Peninjauan Menyeluruh Covid-19?
Dinna Prapto Raharja PhD, Praktisi dan Pengajar Hubungan Internasional. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Dinna Prapto Raharja PhD
Praktisi dan Pengajar Hubungan Internasional
@Dinna_PR

TANGGAL 17-21 Mei 2020 berlangsung sesi ke-73 dari World Health Organization di Jenewa. Agenda utamanya adalah menyusun resolusi (pernyataan bersama) terkait respons dunia terhadap pandemi Covid-19. Agenda awal memang adalah kebutuhan untuk melakukan evaluasi terkait penanganan pandemi Covid-19.

Namun, dalam proses tersebut Australia dua minggu sebelumnya melontarkan konsep investigasi yang secara khusus menyatakan perlunya investigasi independen atas muasalnya penularan di China. Wacana ini bergulir dalam persidangan WHO, namun pada akhirnya lebih dari 100 negara lebih menyukai prinsip peninjauan menyeluruh (comprehensive review) tanpa menyebut nama negara.

Secara formal proses masih bergulir, tetapi di media massa sangat kental nuansa kata “investigasi”. Konsep comprehensive review lebih cocok karena menurut Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Ghebreyesus, “Seluruh bangsa perlu melakukan apa pun yang dibutuhkan untuk memastikan pandemi virus Covid-19 tidak akan pernah terulang lagi…yang selama ini kurang dilakukan adalah komitmen yang berkelanjutan atas cara-cara, sains, dan sumber daya pengelolaan pandemi yang sudah ditetapkan.”

Presiden China Xi Jinping sejak awal tidak setuju dengan kata “investigasi”, melainkan bahwa China mendukung peninjauan menyeluruh, bahkan menjanjikan USD2 miliar untuk membangun infrastruktur medis di Afrika dalam memberantas Covid-19. Kementerian Luar Negeri Indonesia memberi klarifikasi di media Indonesia menolak istilah “mendukung investigasi” meskipun sejumlah media melaporkan Indonesia mendukung mosi Australia yang diperkuat oleh dukungan Uni Eropa.

Inilah perpaduan kekuatan politik dan media. Anda yang tinggal di Australia atau Eropa mungkin akan mendengar di seluruh channel berita bahwa Australia telah berhasil mendapatkan dukungan lebih dari 100 negara untuk menginvestigasi merebaknya wabah virus korona ini. Nama Indonesia, dan negara-negara berkembang lain, khususnya di Benua Afrika, bahkan yang selama ini menerima bantuan ekonomi China, juga ditonjolkan, sebagai negara-negara yang mendukung usulan Australia tersebut.

Pemerintah konservatif Australia memproduksi wacana bahwa Australia sangat berpengaruh dan berhasil menetapkan agenda investigasi Covid-19 di tingkat global. Suka atau tidak ada indikasi bahwa media berhasil memengaruhi cara mengomunikasikan perkembangan diplomasi di WHO sehingga masyarakat Australia, dan warga negara lain yang tidak kritis, akan menerima gagasan bahwa Australia terdepan dalam menginvestigasi meledaknya wabah ini.

Cukup aneh karena Selandia Baru yang lebih baik dalam menurunkan laju penyebaran virus Covid-19 dibandingkan dengan Australia tidak terlalu menggebu-gebu dalam menargetkan China untuk diinvestigasi.

Kenyataannya, gagasan awal Australia untuk membentuk investigasi wabah virus korona ke China dan khususnya Wuhan sebagai titik awal merebaknya wabah ini tidak diterima oleh sebagian besar negara anggota WHO.

Comprehensive review adalah kompromi yang menyebabkan banyak negara, termasuk Indonesia, ikut menyetujui gagasan untuk membentuk tim independen karena pemahaman bahwa dari tim independen ini semua negara dapat mengambil pelajaran penting dari merebaknya kasus ini dan bukan mencari siapa yang salah.

Meskipun gagasan awal Australia ditolak, tetapi dari meluasnya klaim kemenangan Australia ini kita dapat memetik pelajaran. Pertama, Australia dapat membaca dan menganalisis sentimen masyarakat internasional yang menuntut penjelasan tentang akar yang menyebabkan virus korona ini bisa meledak dan menyebar ke seluruh dunia.

Sentimen ini wajar muncul dalam sebuah pandemi yang biasanya selalu diikuti oleh tidak adanya penjelasan yang memuaskan karena virus ini. Walaupun berasal dari keluarga virus MERS, Flu Burung, Flu Babi, tetaplah merupakan pengalaman baru yang skala dampaknya lebih besar.

Para pemimpin politik berkuasa di negara-negara yang tidak atau belum berhasil menanggulangi menyebarnya virus Covid-19 melihat usulan ini sebagai jalan keluar sementara untuk mengalihkan sentimen warganya yang semakin kritis pada pimpinannya.

Australia juga bisa membaca bahwa tetap ada kemungkinan negara-negara tersebut menolak usulan penyelidikan independen, tetapi tentu mengatakan hal tersebut sangatlah berisiko untuk tidak populer di dalam negerinya. Pembacaan ini tentu tidak lepas dari bekerjanya korps diplomatik Australia secara efektif, terutama di negara-negara kunci, dalam menyuplai informasi tentang profil negara yang menjadi sasaran diplomasi untuk dilobi.

Kedua, Australia berani mengejawantahkan gagasan itu secara konkret di panggung internasional walaupun tetap ada risiko tekanan dari China secara ekonomi dan politik. China adalah mitra ekonomi penting buat Australia. Dan, bukan pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan dukungan dari 62 negara, khususnya negara berkembang, serta terus menambah jumlah dukungan dari negara-negara lain sehingga dobel jumlahnya dalam kurang dari satu minggu. Dengan keberanian tersebut, setidaknya kemudian Australia terlibat dalam menyusun draf resolusi investigasi kasus virus korona ini.

Keberanian ini tentu juga tidak lepas dari dukungan AS baik secara langsung atau tidak langsung. Dukungan AS juga bukan berarti membuat Australia menjadi tergantung AS karena beberapa hal Australia juga tetap otonom.

Misalnya keputusan Australia untuk ikut Bank Infrastruktur Asia pada 2015 yang dipimpin oleh China walaupun ditentang AS. Keputusan mengusulkan penyelidikan independen ini justru memberikan pesan kepada China bahwa Australia tetap otonom dan tidak tergantung dengan China meski menikmati keuntungan ekonomi dalam 20 tahun terakhir ini.

Kesimpulannya bahwa gagasan untuk menginvestigasi wabah virus korona walaupun kemudian dikompromikan menjadi peninjauan komprehensif agar bisa menerima dukungan banyak negara telah menempatkan kembali Australia dalam pusat perhatian diplomasi politik luar negeri dunia.

Posisi itu melengkapi kekuatan ekonomi Australia sebagai high-income country dengan PDB per kapita sebesar USD57.305, sementara Indonesia baru memasuki middle-income countries dengan pendapatan per kapita USD3.893.

Perbedaan kekuatan ekonomi ini sendiri bukan faktor yang menentukan apakah sebuah negara dapat mengambil posisi diplomasi yang kuat di panggung internasional. Faktor yang lebih utama adalah ideologi negara.

Indonesia yang baru merdeka dan miskin pada 1945 sudah bisa mampu membuat aliansi dengan negara-negara berkembang hingga lahir Konferensi Asia Afrika (KAA) sebagai jawaban atas Perang Dingin antara Blok AS dan Blok Uni Soviet. Indonesia bisa memilih pada saat itu menjadi tangan kanan Uni Soviet atau tangan kanan AS bila memilih mengutamakan pertumbuhan ekonomi.

Nyatanya, para pemimpin politik Indonesia pada masa itu lebih mengutamakan independensi dan berpihak kepada negara-negara yang masih atau baru selesai merdeka dari penjajahan. Pertanyaannya kemudian, peluang diplomasi apa yang sebetulnya dapat diambil untuk kepemimpinan Indonesia pascawabah virus korona? Apakah Indonesia tertantang untuk ikut mendefinisikan the new normal yang saat ini menjadi konsep yang populer?
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2038 seconds (0.1#10.140)