Pemerintah Dinilai Tak Serius Cabut Akar Masalah UU ITE
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sinyal dari Presiden Jokowi agar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE ) direvisi ternyata sulit direalisasikan. Kenyataannya, pemerintah tidak benar-benar menginginkan perubahan UU tersebut.
Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute Hemi Lavour Febrinandez mengatakan, tidak dimasukkannya undang-undang tersebut ke dalam daftar 33 RUU pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 menjadi petunjuk awal arah implementasi UU ITE selanjutnya.
”Pembentukan dua sub tim dalam Tim Kajian UU ITE membuktikan bahwa pemerintah tidak benar-benar ingin mencabut akar masalah dalam undang-undang tersebut. Bahkan, pembentukan sub tim perumus kriteria penerapan merupakan sebuah kekeliruan,” jelas Hemi lewat pernyataan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (17/3/2021).
(Baca: Eksistensi Polisi Siber Harus Ditopang UU ITE yang Lebih Demokratis)
Bagi Hemi, sudah tampak bahwa revisi terhadap UU ITE bukan menjadi pilihan utama yang akan diambil pemerintah. Pemerintah hanya melihat permasalahan pada undang-undang tersebut pada tahap penerapan regulasi oleh penegak hukum. Inilah yang membuat pemerintah menganggap bahwa yang dibutuhkan adalah pedoman implementasi.
Padahal membuat pedoman kriteria implementasi masuk ranah penafsiran terhadap muatan isi dalam UU. Konstitusi hanya memberikan kepadaa DPR bersama pemerintah kewenangan untuk membuat UU. Jika terdapat rumusan pasal yang masih kabur, maka dapat ditambahkan pada bagian penjelasan undang-undang.
“Tafsir terhadap subtansi hukum sebuah peraturan perundang-undangan hanya dimiliki oleh kekuasaan kehakiman,” katanya.
(Baca: Polri Siapkan Penghargaan kepada Warga yang Aktif Laporkan Pidana Medsos)
Menurut Hemi, pedoman implementasi bukan merupakan pilihan yang tepat dalam upaya penegakan hukum digital di Indonesia. Menuangkan pedoman tersebut ke dalam peraturan pemerintah maupun peraturan presiden tanpa didahului revisi pasal multitafsir UU ITE tidak hanya membuka potensi penyalahgunaan kekuasaan, namun juga menambah deret aturan bermasalah yang juga mengancam kebebasan berekspresi.
“Pemerintah masih dapat memperbaiki kepercayaan publik dengan memasukkan RUU ITE hasil telaah Tim Kajian ke dalam daftar kumulatif terbuka. Dengan demikian, permasalahan dalam UU ITE, terutama terkait pasal-pasal karet, memang benar-benar dibersihkan dari hulunya,” pungkas Hemi.
Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute Hemi Lavour Febrinandez mengatakan, tidak dimasukkannya undang-undang tersebut ke dalam daftar 33 RUU pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 menjadi petunjuk awal arah implementasi UU ITE selanjutnya.
”Pembentukan dua sub tim dalam Tim Kajian UU ITE membuktikan bahwa pemerintah tidak benar-benar ingin mencabut akar masalah dalam undang-undang tersebut. Bahkan, pembentukan sub tim perumus kriteria penerapan merupakan sebuah kekeliruan,” jelas Hemi lewat pernyataan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (17/3/2021).
(Baca: Eksistensi Polisi Siber Harus Ditopang UU ITE yang Lebih Demokratis)
Bagi Hemi, sudah tampak bahwa revisi terhadap UU ITE bukan menjadi pilihan utama yang akan diambil pemerintah. Pemerintah hanya melihat permasalahan pada undang-undang tersebut pada tahap penerapan regulasi oleh penegak hukum. Inilah yang membuat pemerintah menganggap bahwa yang dibutuhkan adalah pedoman implementasi.
Padahal membuat pedoman kriteria implementasi masuk ranah penafsiran terhadap muatan isi dalam UU. Konstitusi hanya memberikan kepadaa DPR bersama pemerintah kewenangan untuk membuat UU. Jika terdapat rumusan pasal yang masih kabur, maka dapat ditambahkan pada bagian penjelasan undang-undang.
“Tafsir terhadap subtansi hukum sebuah peraturan perundang-undangan hanya dimiliki oleh kekuasaan kehakiman,” katanya.
(Baca: Polri Siapkan Penghargaan kepada Warga yang Aktif Laporkan Pidana Medsos)
Menurut Hemi, pedoman implementasi bukan merupakan pilihan yang tepat dalam upaya penegakan hukum digital di Indonesia. Menuangkan pedoman tersebut ke dalam peraturan pemerintah maupun peraturan presiden tanpa didahului revisi pasal multitafsir UU ITE tidak hanya membuka potensi penyalahgunaan kekuasaan, namun juga menambah deret aturan bermasalah yang juga mengancam kebebasan berekspresi.
“Pemerintah masih dapat memperbaiki kepercayaan publik dengan memasukkan RUU ITE hasil telaah Tim Kajian ke dalam daftar kumulatif terbuka. Dengan demikian, permasalahan dalam UU ITE, terutama terkait pasal-pasal karet, memang benar-benar dibersihkan dari hulunya,” pungkas Hemi.
(muh)