Netizen Diawasi 24 Jam
loading...
A
A
A
“Gambaran kami, ini seolah-olah Presiden membuka lubang besar, jajaran di bawahnya malah menambal,” ujar Arsyad.
Dia mempersoalkan banyak kasus yang sudah dilaporkan terkait UU ITE. Selama kurun waktu 2017-2020 tercatat 15.056 laporan yang diselidiki oleh Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri. Bila dirinci, angka tersebut setiap tahunnya mengalami kenaikan. Pada 2017 sebanyak 1.338 laporan, 2018 meningkat menjadi 4.360. Setahun berikutnya, 4.586 kasus dan tahun lalu naik menjadi 4.790 laporan. Berdasarkan klasifikasi, 32% atau 5.064 kasus terkait pencemaran nama. Sementara, 7% atau 1.169 laporan mengenai ujaran kebencian dan 7% atau 1.050 terkait penyebaran pornografi.
Arsyad menyatakan, keberadaan virtual police bukan solusi terbaik. Menurutnya, kebijakan itu secara sistem sudah melanggar ketentuan hak-hak dasar, terutama kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Itu sudah melanggar hak-hak dasar kita, baik itu di ruang publik, di ruang digital atau ruang privasi,” kritiknya.
Sebaliknya, Arsyad menekankan mestinya harus ada aturan jelas yang bisa dikenakan pada platform digital seperti Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya. Jika pemilik layanan itu diberikan aturan jelas dan diberikan sanksi seperti denda, maka diharapkan dapat mencegah akun anonim hingga konten negatif.
“Di Jerman misalnya, ketika ada ujaran kebencian, yang didenda bukanlah oknum pelaku, tetapi layanan atau platform yang terkena sanksi tersebut,” terangnya.
Arsyad juga menyoalkan Komnas HAM yang tak dilibatkan pemerintah dalam revisi UU ITE. Padahal lembaga tersebut berkaitan dengan perlindungan hak dasar warga negara. Karena itu, dia mempertanyakan keseriusan pemerintah menjalankan instruksi Presiden Jokowi untuk menciptakan keadilan dalam UU ITE.
Pandangan berbeda disampaikan Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni. Dia menilai kehadiran polisi virtual justru untuk melindungi masyarakat dari konten yang dapat menimbulkan konflik. "Menurut saya, masyarakat tidak usah takut dibungkam karena polisi virtual ini bekerja dengan menjunjung tinggi kebebasan berpendapat," ujar Sahroni.
Legislator asal Tanjung Priok, Jakarta Utara ini menyebut keberadaan polisi virtual justru dapat meminimalisir tindak pidana, khususnya berkaitan dengan UU ITE. Di mana nantinya, mereka akan diberikan peringatan jika menggugah konten yang melanggar UU ITE.
“Polisi virtual ini kan tidak langsung diperkarakan ke pengadilan atau ditindak pidana, namun cukup diberi teguran kepada pengguna media sosial untuk memperbaiki," terangnya.
Dia mempersoalkan banyak kasus yang sudah dilaporkan terkait UU ITE. Selama kurun waktu 2017-2020 tercatat 15.056 laporan yang diselidiki oleh Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri. Bila dirinci, angka tersebut setiap tahunnya mengalami kenaikan. Pada 2017 sebanyak 1.338 laporan, 2018 meningkat menjadi 4.360. Setahun berikutnya, 4.586 kasus dan tahun lalu naik menjadi 4.790 laporan. Berdasarkan klasifikasi, 32% atau 5.064 kasus terkait pencemaran nama. Sementara, 7% atau 1.169 laporan mengenai ujaran kebencian dan 7% atau 1.050 terkait penyebaran pornografi.
Arsyad menyatakan, keberadaan virtual police bukan solusi terbaik. Menurutnya, kebijakan itu secara sistem sudah melanggar ketentuan hak-hak dasar, terutama kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Itu sudah melanggar hak-hak dasar kita, baik itu di ruang publik, di ruang digital atau ruang privasi,” kritiknya.
Sebaliknya, Arsyad menekankan mestinya harus ada aturan jelas yang bisa dikenakan pada platform digital seperti Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya. Jika pemilik layanan itu diberikan aturan jelas dan diberikan sanksi seperti denda, maka diharapkan dapat mencegah akun anonim hingga konten negatif.
“Di Jerman misalnya, ketika ada ujaran kebencian, yang didenda bukanlah oknum pelaku, tetapi layanan atau platform yang terkena sanksi tersebut,” terangnya.
Arsyad juga menyoalkan Komnas HAM yang tak dilibatkan pemerintah dalam revisi UU ITE. Padahal lembaga tersebut berkaitan dengan perlindungan hak dasar warga negara. Karena itu, dia mempertanyakan keseriusan pemerintah menjalankan instruksi Presiden Jokowi untuk menciptakan keadilan dalam UU ITE.
Pandangan berbeda disampaikan Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni. Dia menilai kehadiran polisi virtual justru untuk melindungi masyarakat dari konten yang dapat menimbulkan konflik. "Menurut saya, masyarakat tidak usah takut dibungkam karena polisi virtual ini bekerja dengan menjunjung tinggi kebebasan berpendapat," ujar Sahroni.
Legislator asal Tanjung Priok, Jakarta Utara ini menyebut keberadaan polisi virtual justru dapat meminimalisir tindak pidana, khususnya berkaitan dengan UU ITE. Di mana nantinya, mereka akan diberikan peringatan jika menggugah konten yang melanggar UU ITE.
“Polisi virtual ini kan tidak langsung diperkarakan ke pengadilan atau ditindak pidana, namun cukup diberi teguran kepada pengguna media sosial untuk memperbaiki," terangnya.