Netizen Diawasi 24 Jam

Rabu, 10 Maret 2021 - 06:08 WIB
loading...
Netizen Diawasi 24 Jam
Kepolisian berharap masyarakat menggunakan media sosial dengan baik dan bijak. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Kian maraknya penyebaran hoaks , ujaran kebencian, dan pencemaran nama baik di jagat media sosial (medsos) membuat kepolisian Indonesia membuat model pengawasan polisi virtual (virtual police). Sistem ini juga mencegah publik saling lapor ke polisi. Akankah pengawasan ini bisa sesuai harapan?

Virtual police digadang-gadang menjadi instrumen baru untuk menciptakan situasi keamanan nasional yang makin tertib sekaligus produktif. Kerja virtual police juga tak terbatas waktu, artinya berdinas selama 24 jam penuh.



Harapan terwujudnya situasi yang tertib tak berlebihan sebab dengan virtual police kepolisian juga memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bagaimana membuat opini atau konten yang tidak melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Bagi polisi, lahirnya virtual police adalah kebutuhan mendesak. Berdasarkan laporan yang diterima polisi, kasus UU ITE setiap tahunnya terus mengalami kenaikan. Pada 2018, tercatat sebanyak 4.250 laporan, kemudian pada 2019 naik menjadi 4.586 laporan dan 2020 sebanyak 4.790 laporan. Laporan didominasi kasus pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.



Soal virtual police ini, Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, tujuannya memberikan edukasi kepada netizen agar menggunakan media sosial dengan baik dan bijak. Untuk mekanisme kerjanya, jenderal bintang dua ini mencontohkan, ketika ada akun yang ditemukan tulisan atau gambar berpotensi melanggar pidana, maka petugas akan cepat mengambil tangkapan layar unggahan dan dikonsultasikan kepada tim ahli yang terdiri dari ahli pidana, bahasa, dan ITE.

Jika ahli menyatakan unggahan tersebut merupakan pelanggaran pidana baik penghinaan atau sebagainya maka kemudian diajukan ke Direktur Siber atau pejabat yang ditunjuk untuk memberikan pengesahan.

“Kemudian virtual police alert dikirim secara pribadi ke akun yang bersangkutan secara resmi," ujar Argo.

Peringatan dikirimkan melalui direct message (DM). Ini bertujuan agar pengguna medsos tersebut merasa tidak terhina dengan peringatan yang diberikan pihak kepolisian.



"Diharapkan dengan adanya virtual police dapat mengurangi hoaks yang ada di dunia maya. Masyarakat dapat terkoreksi, apabila membuat suatu tulisan atau gambar yang dapat membuat orang lain tidak berkenan dan untuk menghindari adanya saling lapor," ungkapnya.

Argo menepis ketakutan beberapa pihak yang menilai virtual police malah mempersempit kebebasan masyarakat di ruang digital.

"Polri tidak mengekang atau membatasi masyarakat dalam berpendapat namun Polri berupaya untuk mengedukasi apabila melanggar pidana," tandasnya.

Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Slamet Uliandi menjelaskan, pihaknya akan melakukan patroli siber di medsos untuk mengawasi konten-konten yang terindikasi mengandung hoaks serta hasutan di berbagai platform, seperti di Facebook, Twitter, dan Instagram.

Kemudian tim patroli akan mengirim pesan berupa DM melalui WhatsApp atau media lainnya berupa peringatan. Di dalam pesan tersebut disampaikan bahwa konten itu mengandung pelanggaran atau hoaks.

"Kita anggaplah si Badu. Saudara Badu hari ini Anda meng-upload konten jam sekian tanggal sekian, konten ini berpotensi pidana SARA dengan ancaman hukuman penjara," ujar Slamet.

Dia menegaskan, peringatan virtual itu dilakukan berdasarkan pendapat ahli sehingga bukan pendapat subjektif penyidik kepolisian. Penyidik juga memberikan pesan peringatan itu dua kali ke seseorang yang diduga mengunggah konten hoaks atau ujaran kebencian. Dalam waktu 1x24 jam konten tersebut harus diturunkan atau dihapus. Jika tidak diturunkan, penyidik akan memberikan peringatan lagi, tetapi jika tidak ada perubahan, maka akan ditingkatkan ke tahap pemanggilan untuk dimintai klarifikasi.

"Klarifikasinya itu pun sifatnya tertutup jadi orang tidak usah tahu karena privasi. Namun kalau sudah dilakukan tahapan itu kemudian tidak mau kooperatif, kira-kira bagaimana? Tapi sesuai perintah Bapak Kapolri cara-cara humanis itu harus dikedepankan karena ini program 100 hari beliau polisi yang humanis," terang Slamet.

Kepolisian juga akan menyampaikan sejumlah strategi untuk melakukan pencegahan. Tahapan yang dilakukan melalui beberapa proses. Tahapan pertama edukasi. Dilanjutkan peringatan virtual. Setelah itu dilakukan mediasi, restorative justice.

Setelah restorative justice baru laporan polisi sehingga tidak semua pelanggaran atau penyimpangan di ruang siber dilakukan upaya penegakan hukum.

“Sekali lagi kami akan mengedepankan upaya mediasi dan restorative justice sehingga terciptanya ruang siber yang bersih, sehat, beretika, produktif dan beragam," ungkapnya.

Pelaku yang terlibat kasus pencemaran nama baik, fitnah dan penghinaan bisa tidak ditahan, karena restorative justice mengedepankan terciptanya keadilan dan keseimbangan antara pelaku dan korbannya. Slamet menandaskan, kepolisian tidak akan menindak seseorang yang melakukan kritik terhadap pemerintah jika disampaikan secara beradab. Tetapi jika kritik disampaikan dengan menambahkan ujaran kebencian dan hoaks maka akan ditindak.

“Sah-sah saja melakukan kritik terhadap pemerintah akan tetapi cara penyampaiannya merupakan kritik yang membangun,” tutupnya.



Terkait soal kritik, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo telah menerbitkan Surat Edaran (SE) tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.

Dalam SE tersebut, Kapolri menimbang perkembangan situasi nasional terkait penerapan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dinilai kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.

“Maka diharapkan kepada seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat," ujar Kapolri.

Mendapat Kritik
Virtual police tak lepas kritik. Kepala Sub Divisi Paguyuban Korban UU ITE Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Indonesia Muhammad Arsyad menilai, kebijakan tersebut seolah-olah seperti menambal gagasan Presiden Joko Widodo yang mendorong revisi UU ITE untuk menciptakan rasa keadilan.

Padahal, dia sebelumnya mengapresiasi gagasan Presiden. Menkominfo pun akan membuat pedoman interpretasi UU ITE dan Menkopolhukam membentuk tim untuk menyusun pedoman dan revisi UU ITE. Namun polisi membuat edaran dan virtual police.

“Gambaran kami, ini seolah-olah Presiden membuka lubang besar, jajaran di bawahnya malah menambal,” ujar Arsyad.

Dia mempersoalkan banyak kasus yang sudah dilaporkan terkait UU ITE. Selama kurun waktu 2017-2020 tercatat 15.056 laporan yang diselidiki oleh Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri. Bila dirinci, angka tersebut setiap tahunnya mengalami kenaikan. Pada 2017 sebanyak 1.338 laporan, 2018 meningkat menjadi 4.360. Setahun berikutnya, 4.586 kasus dan tahun lalu naik menjadi 4.790 laporan. Berdasarkan klasifikasi, 32% atau 5.064 kasus terkait pencemaran nama. Sementara, 7% atau 1.169 laporan mengenai ujaran kebencian dan 7% atau 1.050 terkait penyebaran pornografi.

Arsyad menyatakan, keberadaan virtual police bukan solusi terbaik. Menurutnya, kebijakan itu secara sistem sudah melanggar ketentuan hak-hak dasar, terutama kebebasan berpendapat dan berekspresi.

“Itu sudah melanggar hak-hak dasar kita, baik itu di ruang publik, di ruang digital atau ruang privasi,” kritiknya.

Sebaliknya, Arsyad menekankan mestinya harus ada aturan jelas yang bisa dikenakan pada platform digital seperti Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya. Jika pemilik layanan itu diberikan aturan jelas dan diberikan sanksi seperti denda, maka diharapkan dapat mencegah akun anonim hingga konten negatif.

“Di Jerman misalnya, ketika ada ujaran kebencian, yang didenda bukanlah oknum pelaku, tetapi layanan atau platform yang terkena sanksi tersebut,” terangnya.

Arsyad juga menyoalkan Komnas HAM yang tak dilibatkan pemerintah dalam revisi UU ITE. Padahal lembaga tersebut berkaitan dengan perlindungan hak dasar warga negara. Karena itu, dia mempertanyakan keseriusan pemerintah menjalankan instruksi Presiden Jokowi untuk menciptakan keadilan dalam UU ITE.

Pandangan berbeda disampaikan Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni. Dia menilai kehadiran polisi virtual justru untuk melindungi masyarakat dari konten yang dapat menimbulkan konflik. "Menurut saya, masyarakat tidak usah takut dibungkam karena polisi virtual ini bekerja dengan menjunjung tinggi kebebasan berpendapat," ujar Sahroni.

Legislator asal Tanjung Priok, Jakarta Utara ini menyebut keberadaan polisi virtual justru dapat meminimalisir tindak pidana, khususnya berkaitan dengan UU ITE. Di mana nantinya, mereka akan diberikan peringatan jika menggugah konten yang melanggar UU ITE.

“Polisi virtual ini kan tidak langsung diperkarakan ke pengadilan atau ditindak pidana, namun cukup diberi teguran kepada pengguna media sosial untuk memperbaiki," terangnya.

Psikolog sosial Irfan Aulia menilai hadirnya polisi virtual bisa mengekang kebebasan berpendapat. Berkaca pada survei belum lama soal indeks demokrasi Indonesia bermasalah satunya karena adanya pembatasan hak berbicara. Namun, pada prinsipnya polisi ditugaskan untuk menciptakan ketertiban.

"Sekarang harus jelas dulu siapa yang harus ditertibkan dan apa perilakunya. Kalau sudah jelas, orang jadi bisa mengukur diri dan orang lain juga dapat paham bahwa ini hal yang dapat diukur," ungkapnya.

Menurut dia, polisi virtual bukan menjadi bagian dari kebangkitan Polri. Namun, polisi memang diberikan ruang oleh hukum untuk melakukan banyak hal. Dari sisi hukum polisi memang sepertinya mengerjakan banyak hal. Berbeda dengan kepolisian di Amerika Serikat yang jelas polisi mengurus narkotika diurus oleh Drug Enforcement Administration (DEA), Polisi federal oleh FBI dan lainnya. Sementara Polri tidak dibedakan namanya sehingga orang berpendapat polisi seperti sangat dominan pada saat ini.

“Contoh saya, misalnya saya berbicara sebagai psikolog ada unggahan di media sosial yang tidak baik, yang berhak menegur saya HIMPSI, organisasi profesi saya bukan polisi," tegas pengajar di Kampus Universitas Mercu Buana ini.

Dia mengatakan, dengan adanya polisi virtual, masyarakat seharusnya bukan sekadar ditakut-takuti namun harus ditingkatkan literasinya. Sehingga masyarakat paham apa yang dibaca di media sosial, sadar untuk selalu hati-hati dalam berbicara, memiliki etika, beropini berdasarkan fakta dan data. “Itulah budaya literasi, sehingga masyarakat tidak perlu diawasi lagi,” ujarnya.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1489 seconds (0.1#10.140)