Maju-Mundur Revisi UU Pemilu, Kode Inisiatif: Serentak Bukan Hanya Urusan Waktu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wacana revisi Undang-undang Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) masih menjadi perdebatan publik. Sebabnya wacana tersebut belum menjadi resmi fraksi-fraksi di DPR. Sejumlah lembaga pemantau pemilu terus mendorong agar UU Pemilu direvisi, termasuk menyangkut sistem keserentakan pemilu.
Peneliti Kode Inisiatif Violla Reininda mengatakan, putusan MK yang menjadi pedoman bagi DPR untuk membuat UU Pemilu dan diterapkan pada 2019 ternyata masih menyimpan banyak masalah. Hal itu dikatakan Violla dalam diskusi 'Desain Keserentakan Pemilu' secara virtual, Minggu (28/2) malam.
Salah satunya, menurut Violla, keserentakan pemilu hanya dimaknai sebagai urusan waktu. "MK melepaskan enam poin itu (UU Pemilu) terhadap pembuat kebijakan (DPR)," kata Violla.
(Baca: DPR Bisa Revisi UU Pemilu dengan Kesampingkan UU Pilkada)
Violla menegaskan bahwa yang disebut pemilu serentak bukan hanya urusan waktu, tapi ada pelbagai aspek yang harus menjadi pertimbangan seperti penegakan hukum pemilu dan pembentukan konsep pemilu secara holistik.
Lebih jauh dari itu, seharusnya MK juga memberikan pandangan tentang teknik dan prosedur pelaksanaan pemilu. Karena, pemilu juga mengatur hal konstitusional warga negara yang tidak memiliki KTP. Dia mengatakan, di tahun 2009 terdapat warga yang tak mendapatkan undangan.
(Baca: Pemerintah Diyakini Setuju Revisi UU Pemilu Asal Tak Ubah Jadwal Pilkada)
Sementara pada Pemilu 2019, kata Violla, sistem keserentakan pemilu dengan model 5 kotak juga memberi dampak negatif. Dampak negatif itu seperti banyaknya anggota KPPS yang menjadi korban, bahkan banyak yang meninggal dunia karena beban kerja yang berat.
Menurut dia, hal ini masih ditambah dengan pemilu serentak yang berpotensi masih dalam ancaman pandemi Covid-19. Terkait hal ini, ia berharap, pemilu 2024 Indonesia bisa terbebas dari pandemi. "Pemilu serentak dalam 1 tahun (yang sama) berat," tukasnya.
Peneliti Kode Inisiatif Violla Reininda mengatakan, putusan MK yang menjadi pedoman bagi DPR untuk membuat UU Pemilu dan diterapkan pada 2019 ternyata masih menyimpan banyak masalah. Hal itu dikatakan Violla dalam diskusi 'Desain Keserentakan Pemilu' secara virtual, Minggu (28/2) malam.
Salah satunya, menurut Violla, keserentakan pemilu hanya dimaknai sebagai urusan waktu. "MK melepaskan enam poin itu (UU Pemilu) terhadap pembuat kebijakan (DPR)," kata Violla.
(Baca: DPR Bisa Revisi UU Pemilu dengan Kesampingkan UU Pilkada)
Violla menegaskan bahwa yang disebut pemilu serentak bukan hanya urusan waktu, tapi ada pelbagai aspek yang harus menjadi pertimbangan seperti penegakan hukum pemilu dan pembentukan konsep pemilu secara holistik.
Lebih jauh dari itu, seharusnya MK juga memberikan pandangan tentang teknik dan prosedur pelaksanaan pemilu. Karena, pemilu juga mengatur hal konstitusional warga negara yang tidak memiliki KTP. Dia mengatakan, di tahun 2009 terdapat warga yang tak mendapatkan undangan.
(Baca: Pemerintah Diyakini Setuju Revisi UU Pemilu Asal Tak Ubah Jadwal Pilkada)
Sementara pada Pemilu 2019, kata Violla, sistem keserentakan pemilu dengan model 5 kotak juga memberi dampak negatif. Dampak negatif itu seperti banyaknya anggota KPPS yang menjadi korban, bahkan banyak yang meninggal dunia karena beban kerja yang berat.
Menurut dia, hal ini masih ditambah dengan pemilu serentak yang berpotensi masih dalam ancaman pandemi Covid-19. Terkait hal ini, ia berharap, pemilu 2024 Indonesia bisa terbebas dari pandemi. "Pemilu serentak dalam 1 tahun (yang sama) berat," tukasnya.
(muh)