MK Tolak Gugatan Pasal Larangan Parpol Terima Imbalan Pencapresan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan nomor 18/PUU-XXI/2024 oleh seorang mahasiswa Otniel Raja Maruli Situmorang yang menggugat Pasal 228 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Dalam gugatannya, Pemohon meminta agar pasal a quo dilengkapi dengan menambahkan frasa "atau gabungan partai politik" sehingga, norma pasal a quo dapat mencerminkan pemilu yang adil dan memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi Pemohon.
Terhadap dalil Pemohon a quo, MK menilai penting untuk dipahami secara komprehensif keberadaan norma Pasal 228 UU Nomor 7 Tahun 2017 dalam keseluruhan sistematika penempatannya yang merupakan bagian dari pengaturan Paragraf 2 mengenai "Pendaftaran Bakal Pasangan Presiden dan Wakil Presiden".
Ihwal tersebut, Pemohon menghendaki tidak hanya partai politik tetapi juga gabungan partai politik yang tidak boleh menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Dalam kaitan ini, norma pasal yang mengatur mengenai "Pendaftaran Bakal Pasangan Presiden dan Wakil Presiden", yaitu Pasal 226 dan Pasal 229 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang dengan tegas menggunakan frasa "partai politik".
Setelah membaca secara seksama pertimbangan hukum tersebut, MK telah memiliki pendirian untuk tidak memasuki wilayah criminal policy yang merupakan ranah pembentuk undang-undang.
Terlebih, UU Nomor 2 Tahun 2008 dan UU Nomor 2 Tahun 2011 serta UU Nomor 7 Tahun 2017 telah mengatur terkait larangan serta sanksi bagi partai politik.
Oleh karena itu, sejalan dengan semangat Pemohon yang menginginkan hadirnya partai politik peserta pemilu, termasuk gabungan partai politik yang bersih dan bebas dari korupsi maka penggunaan dana kampanye yang transparan dan akuntabel dalam mewujudkan pemilu, in casu pemilu presiden dan wakil presiden yang demokratis dan adil sudah seharusnya diwujudkan sesuai dengan amanat konstitusi.
Dengan demikian, dalil Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 228 UU Nomor 7 Tahun 2017 karena dianggap tidak mencerminkan pemilu yang adil dan memberikan jaminan kepastian hukum yang adil sebagai akibat tidak dimuatnya frasa "atau gabungan partai politik" dalam Pasal a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
"Menolak permohonan para Pemohon untuk semuanya," kata Ketua MK Suhartoyo dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/3/1024).
Dalam gugatannya, Pemohon meminta agar pasal a quo dilengkapi dengan menambahkan frasa "atau gabungan partai politik" sehingga, norma pasal a quo dapat mencerminkan pemilu yang adil dan memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi Pemohon.
Terhadap dalil Pemohon a quo, MK menilai penting untuk dipahami secara komprehensif keberadaan norma Pasal 228 UU Nomor 7 Tahun 2017 dalam keseluruhan sistematika penempatannya yang merupakan bagian dari pengaturan Paragraf 2 mengenai "Pendaftaran Bakal Pasangan Presiden dan Wakil Presiden".
Ihwal tersebut, Pemohon menghendaki tidak hanya partai politik tetapi juga gabungan partai politik yang tidak boleh menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Dalam kaitan ini, norma pasal yang mengatur mengenai "Pendaftaran Bakal Pasangan Presiden dan Wakil Presiden", yaitu Pasal 226 dan Pasal 229 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang dengan tegas menggunakan frasa "partai politik".
Setelah membaca secara seksama pertimbangan hukum tersebut, MK telah memiliki pendirian untuk tidak memasuki wilayah criminal policy yang merupakan ranah pembentuk undang-undang.
Terlebih, UU Nomor 2 Tahun 2008 dan UU Nomor 2 Tahun 2011 serta UU Nomor 7 Tahun 2017 telah mengatur terkait larangan serta sanksi bagi partai politik.
Oleh karena itu, sejalan dengan semangat Pemohon yang menginginkan hadirnya partai politik peserta pemilu, termasuk gabungan partai politik yang bersih dan bebas dari korupsi maka penggunaan dana kampanye yang transparan dan akuntabel dalam mewujudkan pemilu, in casu pemilu presiden dan wakil presiden yang demokratis dan adil sudah seharusnya diwujudkan sesuai dengan amanat konstitusi.
Dengan demikian, dalil Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 228 UU Nomor 7 Tahun 2017 karena dianggap tidak mencerminkan pemilu yang adil dan memberikan jaminan kepastian hukum yang adil sebagai akibat tidak dimuatnya frasa "atau gabungan partai politik" dalam Pasal a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
"Menolak permohonan para Pemohon untuk semuanya," kata Ketua MK Suhartoyo dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/3/1024).