Pernyataan sikap bersama itu disampaikan LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, ICJR, IJRS, ELSAM, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Greenpeace Indonesia, KontraS, Amnesty International Indonesia, PUSKAPA UI, Imparsial, AJI Indonesia, PBHI, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia, ICW, LeIpP, dan WALHI, Selasa (23/2/2021).
Penilaian ini didasarkan pada dua hal yang perlu dikritisi. Pertama, tidak adanya keterlibatan pihak independen yang dapat melihat implikasi UU ITE pada pelanggaran hak-hak asasi warga, seperti Komnas HAM yang selama ini menerima aduan terkait pelaporan pada pembela HAM dengan pasal-pasal karet UU ITE dan Komnas Perempuan yang selama ini menerima aduan terkait laporan korban kekerasan gender yang justru dilaporkan dengan Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 3 UU ITE saat memerjuangkan haknya sebagai korban.
Baca juga: Pemerintah Bentuk Tim Kajian UU ITE, Bertugas hingga 22 Mei 2021
Baca Juga:
Selama ini pasal-pasal karet UU ITE menunjukkan lebih banyak digunakan oleh orang yang memiliki kuasa (penguasa, pengusaha, atau aparat), maka hampir dapat dipastikan pemillihan Tim Kajian UU ITE tanpa melibatkan unsur-unsur yang independen dikhawatirkan justru akan melanggengkan adanya pasal-pasal karet tersebut.
"Dengan begitu Tim Kajian UU ITE yang demikian ini akan berat sebelah dalam melakukan kajian, terutama menitikberatkan pada aspek legalistik formal dan mengabaikan/menutupi adanya situasi ketidakadilan yang selama ini timbul akibat diberlakukannya pasal-pasal karet di dalam UU ITE," bunyi keterangan pers koalisi.
Kedua, Koalisi Masyarakat Sipil juga menilai Tim Kajian UU ITE ini justru dipimpin oleh orang yang selama ini dinilai berpotensi menghambat upaya revisi dan dinilai tidak memiliki komitmen memperbaiki demokrasi yang jelas-jelas bersumber dari adanya pasal-pasal karet UU ITE.
Baca juga: LSM Sayangkan Tim Kajian UU ITE Diisi Mayoritas Internal Pemerintah