Pernyataan Panglima Soal Multifungsi ABRI Tak Sejalan dengan Semangat Reformasi TNI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil menilai, pernyataan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto terkait dengan multifungsi ABRI tidak sejalan dengan semangat dan agenda Reformasi TNI .
“Kami memandang pernyataan panglima TNI tersebut merupakan pandangan yang keliru. Mengingat Indonesia adalah negara yang menganut sistem politik demokrasi, harus ada pemisahan antara domain sipil dan domain militer,” kata Ketua PBHI Julius Ibrani, Jumat (7/6/2024).
Menurut Julius, militer sesuai dengan hakikat keberadaanya dididik, dibiayai, dan dipersiapkan untuk menghadapi peperangan atau pertahanan negara bukan untuk mengurusi urusan sipil yang orientasinya pelayanan publik.
”Karena itu, dilihat dari prinsip demokrasi kehadiran militer di luar bidang pertahanan negara sebenarnya menyalahi tata kelola dan nilai negara demokrasi apalagi Indonesia bukan lagi di era otoritarian seperti masa Orde Baru dulu di mana militer hadir di setiap lini kehidupan masyarakat,” katanya.
Menurut Julius, Panglima TNI sudah seharusnya taat terhadap TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 yang dalam konsideransnya menyatakan peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
”Oleh karena itu, Dwifungsi ABRI warisan otoritarian Orde Baru sudah seharusnya dikoreksi, bukan malah dilegalisasi dan dihidupkan kembali,” katanya.
Mandat ini kemudian dipertegas dalam Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan fungsi TNI sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
”Kami memandang, dalam kondisi tertentu, memang tetap dimungkinkan pelibatan TNI di luar sektor pertahanan. Namun, pelibatan tersebut adalah dalam rangka tugas perbantuan kepada pemerintahan sipil dan bukan dalam kerangka untuk melegalisasi Dwi atau multi fungsi TNI,” katanya.
“Kami memandang pernyataan panglima TNI tersebut merupakan pandangan yang keliru. Mengingat Indonesia adalah negara yang menganut sistem politik demokrasi, harus ada pemisahan antara domain sipil dan domain militer,” kata Ketua PBHI Julius Ibrani, Jumat (7/6/2024).
Menurut Julius, militer sesuai dengan hakikat keberadaanya dididik, dibiayai, dan dipersiapkan untuk menghadapi peperangan atau pertahanan negara bukan untuk mengurusi urusan sipil yang orientasinya pelayanan publik.
”Karena itu, dilihat dari prinsip demokrasi kehadiran militer di luar bidang pertahanan negara sebenarnya menyalahi tata kelola dan nilai negara demokrasi apalagi Indonesia bukan lagi di era otoritarian seperti masa Orde Baru dulu di mana militer hadir di setiap lini kehidupan masyarakat,” katanya.
Menurut Julius, Panglima TNI sudah seharusnya taat terhadap TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 yang dalam konsideransnya menyatakan peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
”Oleh karena itu, Dwifungsi ABRI warisan otoritarian Orde Baru sudah seharusnya dikoreksi, bukan malah dilegalisasi dan dihidupkan kembali,” katanya.
Mandat ini kemudian dipertegas dalam Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan fungsi TNI sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
”Kami memandang, dalam kondisi tertentu, memang tetap dimungkinkan pelibatan TNI di luar sektor pertahanan. Namun, pelibatan tersebut adalah dalam rangka tugas perbantuan kepada pemerintahan sipil dan bukan dalam kerangka untuk melegalisasi Dwi atau multi fungsi TNI,” katanya.