Kota yang 'Gabut'

Sabtu, 13 Februari 2021 - 07:08 WIB
loading...
A A A
Kegabutan demi kegabutan saling bertaut satu sama lain. Lalu narasi gabut itu membentuk pola dan jaringan tersendiri. Narasi ini yang kemudian ditambang oleh para pemilik media untuk dijadikan sarana mereka menambah kekayaan. Pertemanan dalam ruang gabut, difasilitasi agar semakin eksis. Kemudian narasi ini secara psikologis berimbas kepada pribadi-pribadi yang mengatakan atau menuliskannya menjadi terasing dalam kesenangan yang semu, cepat, dan (jelas) tidak mengatasi masalah intinya.

Semakin lama suasana dalam kota gabut memang akan terlihat “mendung” dan tidak produktif. Sebab, narasi yang muncul bukan semangat, tetapi khawatir dan pesimistis, yang dijahit oleh pemilik media menjadi semacam “kesadaran”. Padahal, itu hanya kesadaran yang dimanipulasi untuk mempertahankan aksesibilitas pelaku pada jaringan global mesin tambang kekayaan mereka. Sementara di sisi pelaku kegabutan semakin mengkristal dalam kehidupan sebagian masyarakat. Ditunjang oleh aksesibilitas pada data dan infrastruktur teknologi serta kewajiban belajar daring, maka ekspresi gabut itu semakin mendapatkan tempat dan seperti ada “pembenaran”.

Kembali pada Negara
Kegabutan di kota (dan juga di desa) adalah ancaman nyata yang bisa mengganggu kehidupan sosial masyarakat di kemudian hari. Ancaman yang dihasilkan bisa mirip dengan situasi pandemi yang (juga) sedang kita hadapi. Jika dalam sistem pembelajaran siswa kita diprediksi akan mengalami “The Leaning Lost Generation”, maka pada kota yang masyarakatnya gabut, mungkin kita akan mendapatkan satu realitas “kehilangan masyarakat optimistis”.

Untuk itu, kegabutan, meski bersifat temporer, tidak bisa dibiarkan terus eksis dan mendapatkan tempat dalam kehidupan masyarakat. Setiap elemen masyarakat mesti dijaga kesadarannya supaya bersama-sama kita bisa lulus melewati pandemi ini.

Oleh karena itu, ihwal yang menghasilkan narasi kegabutan dalam masyarakat harus dikikis, atau setidaknya tidak dimunculkan—apalagi ditambang demi keuntungan sekelompok orang. Pemerintah dengan masyarakat harus bahu-membahu menjaga rasa optimisme ini. Salah satu yang membuat masyarakat terjaga kesadaran optimismenya adalah memberikan keleluasaan terbatas kepada masyarakat untuk tetap melakukan aktivitas sosial budaya seperti berwisata dan berkumpul meski dengan pembatasan yang ketat. Pelarangan total untuk berwisata atau mengadakan pertemuan sosial bukan hanya mengancam kenyamanan sosial dan ekonomi. Pelarangan seperti itu justru akan menurunkan imunitas subjek sendiri, dan memperkuat kegabutan.

Negara adalah institusi yang cukup instrumen untuk melakukan hal ini. Dengan segala instrumen yang dimilikinya ini, maka dinamika relasional antarmanusia itu bisa dijaga dengan tidak mengabaikan protokol kesehatan. Jika hal ini bisa dilaksanakan, maka dengan sendirinya masyarakat akan menemukan kesadaran sosial dengan imunitas yang bagus dan terjaga; dan gabut pun perlahan, tapi pasti akan sirna.
(bmm)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1245 seconds (0.1#10.140)