Kota yang 'Gabut'
loading...
A
A
A
Tantan Hermansah
Dosen Sosiologi Perkotaan; Ketua Program S-2 KPI UIN Jakarta
PANDEMI Covid-19 yang melanda Tanah Air hampir satu tahun telah menghasilkan realitas lain: masyarakat kota yang gabut.
Apa itu masyarakat gabut? Gabut yang sekarang menjadi istilah trending belum menjadi bagian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sebelumnya memang ada istilah gabut yang merupakan kependekan dari “gaji buta”. Gabut dalam pengertian pertama merupakan interpretasi pada subjek yang tidak melakukan aktivitas produksi pada satu lembaga, namun dia mendapatkan keuntungan material. Maka, muncullah istilah gaji buta, yakni mendapatkan sejumlah upah tanpa kerja.
Akan tetapi, artikel ini tidak membahas gabut dalam arti yang pertama (gaji buta). Sebab, jika dilihat dari kebiasaan frasa ini dipergunakan, gabut mencerminkan satu keadaan yang dihadirkan atau melekat kepada seseorang yang mengalami kebingungan temporer sehingga tidak memiliki semangat atau minimal niat melakukan sesuatu. Seseorang yang sedang gabut seperti berada pada situasi disorientasi sesaat. Mengapa “sesaat”? Karena, biasanya orang yang terkena gabut berlangsungnya tidak pernah lama. Mungkin jika dipergunakan ukuran waktu, berlangsungnya beberapa jam atau seharian saja.
Meletakkan warga masyarakat yang gabut cukup penting. Karena, masyarakat disangga oleh individu, di mana setiap individu berelasi sehingga membentuk kelompok sosial. Jika pola relasinya berulang dan menguat, maka pola tersebut sudah menjadi sistem. Ketika sistem ini dipercayai dan memberikan keuntungan secara sosial dan budaya, ada pihak-pihak yang merasa mendapatkan mandat untuk menjaga dan merawatnya. Maka, sistem sosial itu pun semakin kuat karena biasanya disangga dan dilindungi oleh aturan.
Satu hal yang pasti, individu adalah bagian dari satu entitas yang besar, yakni masyarakat. Masyarakat membentuk peradaban. Salah satunya adalah peradaban kota. Keberlanjutan dan keberlangsungan suatu kota akan bertumpu kepada kualitas dari individu yang ada di dalamnya sehingga dinamika yang terjadi pada subjek individu tersebut akan memberikan pengaruh kepada ruang sosial-budaya kota secara keseluruhan.
Kota di masa pandemi seperti sekarang ini sangat rentan menghasilkan warga masyarakat yang didera oleh perasaan gabut. Bayangkan saja, aturan pembatasan aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah, meski tentu saja tujuannya baik karena untuk memutuskan rantai penyebaran virus korona, tetap saja memiliki dampak sosiologis, psikologis, dan budaya.
Relasi Sosial sebagai Basis
Manusia terbiasa untuk menjadi bagian dari kehidupan sosial yang lebih besar. Sudah jamak bahwa setiap individu yang “melata” di atas muka bumi merupakan bagian dari entitas sosial yang beragam. Di rumah, unit sosiologis terkecil, manusia adalah anggota keluarga. Di luar rumah, manusia adalah anggota dari beragam entitas yang menghimpun mereka karena berbagai identitas temporer seperti hobi (sesama penggemar bunga tulip, misalnya), kebiasaan (selalu telat pulang kantor, misalnya), pendapatan (sesama berpendapatan menengah, misalnya), atau ruang sosial-eksistensial lainnya.
Semua ruang berinteraksi dan ekspresi diri itu, sekarang harus dibatasi secara radikal. Memang kalau sehari atau seminggu, masyarakat masih bisa bertahan. Adanya teknologi, media sosial, televisi, dan ihwal lainnya bisa sedikit mengalihkan. Namun, jika kemudian harus melakukan itu berbulan-bulan, bahkan memasuki satu tahun, maka permasalahan kemanusiaan yang menjadi watak dasar manusia itu sendiri akan terganggu. Dalam kondisi seperti inilah kemudian kegabutan itu akan hadir menyapa manusia.
Selanjutnya dalam kondisi mengalami “tekanan” psikologis yang sama, apalagi manusia modern terhubung oleh teknologi yang ada dalam genggaman, maka narasi gabut dengan cepat menebar, menyebar, laksana virus itu sendiri. Awalnya dunia maya menjadi luapan segala keluh dan serapah. Pelaku merasa bahwa ruang maya memiliki kebebasan tanpa batas. Mereka mengapungkan segala yang dirasa, atau ingin dirasa, secara sporadis. Celakanya, algoritma teknologi media saat ini kemudian membaca narasi gabut tersebut dan kemudian pribadi-pribadi itu dipertatapkan secara virtual.
Dosen Sosiologi Perkotaan; Ketua Program S-2 KPI UIN Jakarta
PANDEMI Covid-19 yang melanda Tanah Air hampir satu tahun telah menghasilkan realitas lain: masyarakat kota yang gabut.
Apa itu masyarakat gabut? Gabut yang sekarang menjadi istilah trending belum menjadi bagian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sebelumnya memang ada istilah gabut yang merupakan kependekan dari “gaji buta”. Gabut dalam pengertian pertama merupakan interpretasi pada subjek yang tidak melakukan aktivitas produksi pada satu lembaga, namun dia mendapatkan keuntungan material. Maka, muncullah istilah gaji buta, yakni mendapatkan sejumlah upah tanpa kerja.
Akan tetapi, artikel ini tidak membahas gabut dalam arti yang pertama (gaji buta). Sebab, jika dilihat dari kebiasaan frasa ini dipergunakan, gabut mencerminkan satu keadaan yang dihadirkan atau melekat kepada seseorang yang mengalami kebingungan temporer sehingga tidak memiliki semangat atau minimal niat melakukan sesuatu. Seseorang yang sedang gabut seperti berada pada situasi disorientasi sesaat. Mengapa “sesaat”? Karena, biasanya orang yang terkena gabut berlangsungnya tidak pernah lama. Mungkin jika dipergunakan ukuran waktu, berlangsungnya beberapa jam atau seharian saja.
Meletakkan warga masyarakat yang gabut cukup penting. Karena, masyarakat disangga oleh individu, di mana setiap individu berelasi sehingga membentuk kelompok sosial. Jika pola relasinya berulang dan menguat, maka pola tersebut sudah menjadi sistem. Ketika sistem ini dipercayai dan memberikan keuntungan secara sosial dan budaya, ada pihak-pihak yang merasa mendapatkan mandat untuk menjaga dan merawatnya. Maka, sistem sosial itu pun semakin kuat karena biasanya disangga dan dilindungi oleh aturan.
Satu hal yang pasti, individu adalah bagian dari satu entitas yang besar, yakni masyarakat. Masyarakat membentuk peradaban. Salah satunya adalah peradaban kota. Keberlanjutan dan keberlangsungan suatu kota akan bertumpu kepada kualitas dari individu yang ada di dalamnya sehingga dinamika yang terjadi pada subjek individu tersebut akan memberikan pengaruh kepada ruang sosial-budaya kota secara keseluruhan.
Kota di masa pandemi seperti sekarang ini sangat rentan menghasilkan warga masyarakat yang didera oleh perasaan gabut. Bayangkan saja, aturan pembatasan aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah, meski tentu saja tujuannya baik karena untuk memutuskan rantai penyebaran virus korona, tetap saja memiliki dampak sosiologis, psikologis, dan budaya.
Relasi Sosial sebagai Basis
Manusia terbiasa untuk menjadi bagian dari kehidupan sosial yang lebih besar. Sudah jamak bahwa setiap individu yang “melata” di atas muka bumi merupakan bagian dari entitas sosial yang beragam. Di rumah, unit sosiologis terkecil, manusia adalah anggota keluarga. Di luar rumah, manusia adalah anggota dari beragam entitas yang menghimpun mereka karena berbagai identitas temporer seperti hobi (sesama penggemar bunga tulip, misalnya), kebiasaan (selalu telat pulang kantor, misalnya), pendapatan (sesama berpendapatan menengah, misalnya), atau ruang sosial-eksistensial lainnya.
Semua ruang berinteraksi dan ekspresi diri itu, sekarang harus dibatasi secara radikal. Memang kalau sehari atau seminggu, masyarakat masih bisa bertahan. Adanya teknologi, media sosial, televisi, dan ihwal lainnya bisa sedikit mengalihkan. Namun, jika kemudian harus melakukan itu berbulan-bulan, bahkan memasuki satu tahun, maka permasalahan kemanusiaan yang menjadi watak dasar manusia itu sendiri akan terganggu. Dalam kondisi seperti inilah kemudian kegabutan itu akan hadir menyapa manusia.
Selanjutnya dalam kondisi mengalami “tekanan” psikologis yang sama, apalagi manusia modern terhubung oleh teknologi yang ada dalam genggaman, maka narasi gabut dengan cepat menebar, menyebar, laksana virus itu sendiri. Awalnya dunia maya menjadi luapan segala keluh dan serapah. Pelaku merasa bahwa ruang maya memiliki kebebasan tanpa batas. Mereka mengapungkan segala yang dirasa, atau ingin dirasa, secara sporadis. Celakanya, algoritma teknologi media saat ini kemudian membaca narasi gabut tersebut dan kemudian pribadi-pribadi itu dipertatapkan secara virtual.