Perilaku dan Pengelolaan Manusia sebagai Konsumen di Era Pandemi

Rabu, 10 Februari 2021 - 05:05 WIB
loading...
Perilaku dan Pengelolaan...
Muhamad Ali (Foto: Istimewa)
A A A
Muhamad Ali
Pemerhati Human Capital

"ANIMAL spirits sangat memengaruhi naik turunnya gerak perekonomian,” kata John Maynard Keynes, ekonom besar dan hebat. Keynes yang pemikirannya mewarnai wajah ekonomi dunia sampai hari ini menempatkan sifat-sifat binatang yang tak memiliki akal budi sebagai pendorong atau penghambat gerak perekonomian modern.

Kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, juga keinginan atau kebutuhan adalah sifat-sifat nonrasional yang tidak hanya melekat pada manusia, tetapi juga pada binatang. Tidak perlu nalar, tidak butuh analisis, manusia atau binatang akan bereaksi spontan atas segala hal yang membuat mereka cemas, takut, khawatir, menginginkan atau membutuhkan sesuatu. Sifatnya naluriah dan alamiah, nonrasional.

Dalam konteks pasar ekonomi, menurut Keynes, animal spirits akan sangat berpengaruh dalam menentukan arah pasar. Menjadi lesu, bergairah, atau penuh gejolak ditentukan oleh hal-hal emosional dan bukan hal rasional.

Pandemi yang diakibatkan oleh virus korona (Covid-19) dengan segala peristiwa dan dampak-dampak yang ditimbulkannya sepanjang 2020 sudah pasti sangat kental dengan unsur emosional sekalipun upaya dan tindakan rasional tetap menjadi pilihan utama bagi manusia. Namun ia bukanlah respons yang pertama-tama muncul. Yang muncul pertama dan spontan selalu bersifat nonrasional. Jalan rasional memerlukan waktu pemrosesan.

Animal spirits tentu juga dapat diletakkan dalam kerangka aktivitas manusia sebagai makhluk ekonomi. Apa ciri-ciri yang paling dominan di dalam konteks ekonomi? Yang paling menonjol adalah manusia sebagai manusia pengonsumsi atau konsumen.

Manusia sebagai Konsumen
Satu Kahkonen, Country Director World Bank untuk Indonesia dan Timor Leste, dalam seminar tentang outlook ekonomi Indonesia 2021, Senin, 8 Februari lalu, menggambarkan bahwa tidak ada satu pun negara yang memprediksi bahwa dunia mengalami pandemi yang sedemikian luas dan berlangsung dalam skala yang panjang. Ia menggambarkan bahwa pada awal abad ke-20 dunia juga mengalami pandemi influenza yang disebut Spain Influenza, tetapi dampak kesehatan dan ekonominya sangat jauh berbeda karena infrastrukturnya sudah sangat jauh berbeda. Yang menarik dari pandangan Kahkonen, keberhasilan atau kegagalan upaya pemulihan ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi ini ditentukan oleh kemampuan untuk memulihkan aktivitas konsumsi, baik pada level individu, bangsa maupun antarbangsa.

Pertanyaannya, bagaimana kita melihat masyarakat Indonesia hari ini dari sudut pandang konsumen di tengah pandemi seperti sekarang? Banyak pengamat mengatakan bahwa kerusakan ekonomi yang diakibatkan pandemi memerlukan waktu 2–5 tahun untuk pulih seperti sedia kala.

Dengan rentang waktu yang sedemikian lama, bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menghadapi hari-hari dalam perjalanan kita menuju normal?

Manusia Indonesia jika dilihat dari sudut pandang konsumsi memiliki ukuran yang luar biasa mengingat jumlahnya yang sedemikian besar, yakni sekitar 270 juta jiwa, dan dalam dua atau tiga tahun mendatang akan segera menembus angka 300 juta orang. Bagaimana negara harus mengelola konsumen yang sedemikian banyaknya dan bagaimana konsumen seharusnya memosisikan diri dalam transisi menuju kondisi normal pascapandemi?

Catatan statistik menyatakan bahwa selama pandemi ini sektor yang tetap tumbuh positif dan bahkan melebihi pertumbuhan pada kondisi normal adalah pertanian, perikanan, makanan-minuman, dan kesehatan. Artinya, mau ada pandemi atau tidak, konsumen butuh tercukupi makanan dan minumannya. Laporan BPS terbaru tentang perekonomian Indonesia pada kuartal keempat 2020 memperlihatkan sektor pertanian dan perikanan mampu tumbuh di atas 15%, yang mengindikasikan bahwa sektor ini dapat menjadi benteng untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.

Yang juga menarik adalah laporan lembaga konsultan terkemuka McKinsey yang memperlihatkan bahwa konsumen China, India, dan Indonesia adalah konsumen yang paling optimistik bila dibandingkan dengan konsumen di negara-negara lain, terutama di kawasan Eropa dan Amerika. Bahkan dari tiga negara yang disebut optimistik, konsumen Indonesia adalah yang optimismenya tertinggi bahwa pandemi akan segera berakhir dan situasi akan kembali normal.

Temuan tersebut tentu menarik sekaligus menantang mengingat tingkat perbedaan konsumen Indonesia, baik dari sisi kemampuan daya beli, demografi maupun psikografi, relatif paling kompleks di antara negara-negara lain mengingat kondisi geografis Indonesia yang bersifat kepulauan. Variasi tingkat pendidikan misalnya memiliki spektrum yang amat luas. Variasi tingkat literasi terhadap informasi sebagai contoh yang lain juga demikian. Rentangnya sangat lebar.

Hal ini membawa konsekuensi perlunya turn around dalam pengelolaan manusia atau SDM yang lebih efisien, adaptif, dan customized, sesuai dengan preferensi konsumsi setiap kelompok konsumen. Pengelolaan tersebut memerlukan tidak hanya perencanaan yang mendetail, tetapi juga dukungan teknologi yang sudah tersedia hari ini. Platform digital yang berkembang sedemikian masif setelah terjadinya pandemi menjadi bukti bahwa Indonesia menjadi negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi digital yang paling pesat di seluruh dunia.

Oleh karena itu sektor konsumsi seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih serius dalam pemulihan ekonomi pascapandemi mengingat kita memiliki modal yang relatif besar sebagai bangsa, yaitu karakter optimistik. Salah satu jalan untuk menunjukkan keseriusan itu adalah mengonversi setiap aktivitas di sektor-sektor unggulan––salah satunya pertanian dan perikanan—menjadi layanan digital yang dapat mengatasi kendala mobilitas, ketidakakuratan, dan kelambatan.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0947 seconds (0.1#10.140)