Merespons Krisis Ulama
loading...
A
A
A
Lima, Pondok pesantren perlu mempersiapkan keilmuan yang bersifat inovatif dan proaktif. Bukan keilmuan yang bersembunyi di balik titel akademis yang banyak. Tapi keilmuan yang produktif dan inovatif, yang dapat merespons kepada kebutuhan dunia.
Hal ini tentunya akan banyak ditentukan oleh “mindset” yang terbangun dalam memahami keilmuan, termasuk keilmuan Islam. Bahwa ilmu bukan sekedar tahu. Tapi yang terpenting adalah bahwa pengetahuan itu melahirkan kemanfaatan luas bagi manusia. Inilah yang dikenal dengan “ilmun naafi’” sebagai dalam doa yang dipinta.
Sebagai contoh saja. Bagaimana seharusnya ulama memahami ayat Al-Qur'an: “sesungguhnya pada kesulitan itu ada kemudahan”?
Baca juga: Jokowi: Selamat Ulang Tahun Nahdlatul Ulama
Pemahaman yang inovatif dan proaktif dari ayat ini adalah bahwa orang-orang Islam itu harus mampu menghadirkan kemudahan di saat manusia menghadapi kesulitan. Bukan sekadar percaya bahwa setelah kesulitan akan ada kemudahan.
Dengan Covid 19 misalnya, apa kemudahan yang orang Islam hadirkan? Atau justeru orang-orang menunggu kemudahan dari orang lain? Menunggu vaksin dari Amerika atau China misalnya? Lalu di mana makna yang kita pahami dari “inna ma’al ‘usri yusra?”.
Enam, Pondok pesantren harus membangun lingkungan yang mampu mengembangkan pemikiran yang berkemajuan. Pemikiran yang berkemajuan itu akan terlihat pada kemampuan dan keberanian untuk berijtihad, termasuk dalam keilmuan Islam.
Ada masa-masa di mana Umat ini menjadikan ijtihad sebagai sesuatu yang tabu, bahkan dianggap membawa dosa. Biasanya dengan mamakai dalil: “siapa yang berdusta terhadapku maka disiapkan tempatnya di neraka” (hadits).
Baca juga: Menuju 1 Abad Nahdlatul Ulama, Perkuat Harmoni Islam-Nasionalisme
Padaha hadits ini lebih sebagai peringatan dan ancaman kepada mereka yang mencipta-cipta hadits dan mengaitkannya dengan Rasulullah SAW. Tapi kalau berusaha memahami ayat atau hadits dengan akal dan Ilmu alat yang cukup (termasuk bahasa) maka itu adalah ijtihad. Dan ijtihad akan selalu diapresiasi. Jika benar dapat dua pahala. Dan jika salah juga masih dapat satu pahala.
Tujuh, Pondok Pesantren harus membangun suasan di mana santri-santriyah mampu membangun “self confidence” (rasa percaya diri) yang tinggi.
Self confidence itu bukan keangkuhan. Self confidence itu berarti ada potensi sekaligus keberanian untuk mendaya gunakannya untuk kemaslahatan umum. Angkuh itu merasa lebih dari orang lain, justru terkadang realitanya tidak ada potensi.
Hal ini tentunya akan banyak ditentukan oleh “mindset” yang terbangun dalam memahami keilmuan, termasuk keilmuan Islam. Bahwa ilmu bukan sekedar tahu. Tapi yang terpenting adalah bahwa pengetahuan itu melahirkan kemanfaatan luas bagi manusia. Inilah yang dikenal dengan “ilmun naafi’” sebagai dalam doa yang dipinta.
Sebagai contoh saja. Bagaimana seharusnya ulama memahami ayat Al-Qur'an: “sesungguhnya pada kesulitan itu ada kemudahan”?
Baca juga: Jokowi: Selamat Ulang Tahun Nahdlatul Ulama
Pemahaman yang inovatif dan proaktif dari ayat ini adalah bahwa orang-orang Islam itu harus mampu menghadirkan kemudahan di saat manusia menghadapi kesulitan. Bukan sekadar percaya bahwa setelah kesulitan akan ada kemudahan.
Dengan Covid 19 misalnya, apa kemudahan yang orang Islam hadirkan? Atau justeru orang-orang menunggu kemudahan dari orang lain? Menunggu vaksin dari Amerika atau China misalnya? Lalu di mana makna yang kita pahami dari “inna ma’al ‘usri yusra?”.
Enam, Pondok pesantren harus membangun lingkungan yang mampu mengembangkan pemikiran yang berkemajuan. Pemikiran yang berkemajuan itu akan terlihat pada kemampuan dan keberanian untuk berijtihad, termasuk dalam keilmuan Islam.
Ada masa-masa di mana Umat ini menjadikan ijtihad sebagai sesuatu yang tabu, bahkan dianggap membawa dosa. Biasanya dengan mamakai dalil: “siapa yang berdusta terhadapku maka disiapkan tempatnya di neraka” (hadits).
Baca juga: Menuju 1 Abad Nahdlatul Ulama, Perkuat Harmoni Islam-Nasionalisme
Padaha hadits ini lebih sebagai peringatan dan ancaman kepada mereka yang mencipta-cipta hadits dan mengaitkannya dengan Rasulullah SAW. Tapi kalau berusaha memahami ayat atau hadits dengan akal dan Ilmu alat yang cukup (termasuk bahasa) maka itu adalah ijtihad. Dan ijtihad akan selalu diapresiasi. Jika benar dapat dua pahala. Dan jika salah juga masih dapat satu pahala.
Tujuh, Pondok Pesantren harus membangun suasan di mana santri-santriyah mampu membangun “self confidence” (rasa percaya diri) yang tinggi.
Self confidence itu bukan keangkuhan. Self confidence itu berarti ada potensi sekaligus keberanian untuk mendaya gunakannya untuk kemaslahatan umum. Angkuh itu merasa lebih dari orang lain, justru terkadang realitanya tidak ada potensi.