Merespons Krisis Ulama
loading...
A
A
A
Intinya di pesantren itu harus terbentuk Iman yang kuat dan sehat, yang dapat dirasakan oleh orang banyak. Bahkan Iman tersebut pada akhirnya menjadi fondasi terbentuknya peradaban manusia.
Tiga, di Pondok itu terbangun “aqliyah” (akal, pemikiran, logika, rasionalitas”) yang tajam dan luas.
Dunia kita adalah dunia yang rasional. Dunia yang semakin menjadikan Ilmu dan rasionalitas sebagai bahan pertimbangan dalam menjalani kehidupan. Dan Islam sendiri adalah agama yang sangat menjunjung tinggi rasionalitas itu.
Tentu dengan catatan bahwa rasionalitas itu adalah pertimbangan akal yang tidak liar (wild thinking). Rasionalitas liar itu maksudnya adalah pemikiran yang terlepas kendali, sehingga melanglang buana tanpa arah. Dan itu akan terjadi ketika pemikiran manusia tidak dikendalikan oleh wahyu Samawi.
Selama pemikiran itu terkait dan terikat oleh wahyu Samawi, Al-Qur'an dan as-Sunnah, maka apa pun bentuknya akan diapresiasi oleh Islam. Inilah bentuk rasionalitas yang harus dibangun dan dikembangkan di pondok pesantren.
Pendekatan-pendekatan dogmatis yang seolah dipaksakan telah usang. Kaum Muslim milenial, apalagi di dunia Barat akan semakin terpental dengan pendekatan keagamaan yang bersifat dogmatis yang serasa dipaksakan.
Empat, pesantren harus mampu melahirkan ulama yang memiliki kemampuan komunikasi yang handal. Selain komunikasi dalam arti luas, termasuk “cultural adjustment” (penyesuaian budaya) yang kadang berbeda, juga kemampuan bahasa yang handal.
Diakui atau tidak, salah satu kekurangan (handicap) Ulama Indonesia adalah kemampuan komunikasi, khususnya penguasa bahasa asing, yang lemah. Bahkan mereka yang pernah belajar di luar negeri sekalipun, anggaplah Timur Tengah, bahasa Arabnya rata-rata bersifat bahasa pasif.
Dan karenanya dalam dunia global, peranan ulama Indonesia sangat terbatas. Hal itu terlihat ketika sebagian Ulama keluar negeri, rata-rata dimanfaatkan oleh warga Indonesia. Itupun terbatas para orang tua. Anak-anak remaja tidak tertarik dengan pendekatan dalam bahasa dan kultur yang kental dengan negara asal.
Padahal keperluan yang paling mendasar dihadirkannya guru ke sebuah negara, ambillah Amerika misalnya, salah satunya untuk membantu menjaga keilmuan dan keimanan generasi yang hampir hilang (lihat tulisan saya: American Muslim and the Lost Generation).
Tiga, di Pondok itu terbangun “aqliyah” (akal, pemikiran, logika, rasionalitas”) yang tajam dan luas.
Dunia kita adalah dunia yang rasional. Dunia yang semakin menjadikan Ilmu dan rasionalitas sebagai bahan pertimbangan dalam menjalani kehidupan. Dan Islam sendiri adalah agama yang sangat menjunjung tinggi rasionalitas itu.
Tentu dengan catatan bahwa rasionalitas itu adalah pertimbangan akal yang tidak liar (wild thinking). Rasionalitas liar itu maksudnya adalah pemikiran yang terlepas kendali, sehingga melanglang buana tanpa arah. Dan itu akan terjadi ketika pemikiran manusia tidak dikendalikan oleh wahyu Samawi.
Selama pemikiran itu terkait dan terikat oleh wahyu Samawi, Al-Qur'an dan as-Sunnah, maka apa pun bentuknya akan diapresiasi oleh Islam. Inilah bentuk rasionalitas yang harus dibangun dan dikembangkan di pondok pesantren.
Pendekatan-pendekatan dogmatis yang seolah dipaksakan telah usang. Kaum Muslim milenial, apalagi di dunia Barat akan semakin terpental dengan pendekatan keagamaan yang bersifat dogmatis yang serasa dipaksakan.
Empat, pesantren harus mampu melahirkan ulama yang memiliki kemampuan komunikasi yang handal. Selain komunikasi dalam arti luas, termasuk “cultural adjustment” (penyesuaian budaya) yang kadang berbeda, juga kemampuan bahasa yang handal.
Diakui atau tidak, salah satu kekurangan (handicap) Ulama Indonesia adalah kemampuan komunikasi, khususnya penguasa bahasa asing, yang lemah. Bahkan mereka yang pernah belajar di luar negeri sekalipun, anggaplah Timur Tengah, bahasa Arabnya rata-rata bersifat bahasa pasif.
Dan karenanya dalam dunia global, peranan ulama Indonesia sangat terbatas. Hal itu terlihat ketika sebagian Ulama keluar negeri, rata-rata dimanfaatkan oleh warga Indonesia. Itupun terbatas para orang tua. Anak-anak remaja tidak tertarik dengan pendekatan dalam bahasa dan kultur yang kental dengan negara asal.
Padahal keperluan yang paling mendasar dihadirkannya guru ke sebuah negara, ambillah Amerika misalnya, salah satunya untuk membantu menjaga keilmuan dan keimanan generasi yang hampir hilang (lihat tulisan saya: American Muslim and the Lost Generation).