Menakar Pandemi, Satu Juta Kasus Terlampaui

Rabu, 27 Januari 2021 - 06:10 WIB
loading...
Menakar Pandemi, Satu Juta Kasus Terlampaui
Kamaluddin Latief (Foto; Istimewa)
A A A
Kamaluddin Latief
Peneliti Senior, Epidemiolog UI

HAMPIR setahun Indonesia diterpa pandemi Covid-19, selama itu pula kita berada dalam ketidakpastian. Kenaikan kasus positif belum terkendali bahkan cenderung melonjak. Indonesia menjadi salah satu negara yang kesulitan mengendalikan pandemi. Ini tentu saja bukan pandemi pertama di Tanah Air dan mungkin tidak akan menjadi yang terakhir. Namun, dari setiap kejadian, selalu muncul pertanyaan yang sama. Apa yang telah diajarkan Spanish Flu pada 1918 saat menghantam Hindia Belanda kala itu, dan dari 11 bulan masa pandemi Covid-19 di Tanah Air? Apa yang harus kita perbaiki dan lakukan dalam menghadapi ancaman besar yang menghadang? Pada hakikatnya, selalu ada hal penting dan pembelajaran yang bisa diambil saat peristiwa berlalu.

Pemerintah telah melakukan banyak upaya penanganan setelah gerak yang lambat di awal penyebaran virus. Telah dilakukan penambahan jumlah rumah sakit rujukan, laboratorium, promosi kesehatan, pengujian mikrobiologi, hingga yang terakhir vaksinasi untuk mencapai herd immunity. Namun, upaya ini belum berhasil menahan laju kasus dan kematian. Jalan menuju terciptanya kekebalan kelompok masih panjang membentang.

Sebelas Bulan Berlalu
Sejak kasus pertama Covid-19 di Indonesia diumumkan pada 2 Maret 2020, hingga hari ini gelombang pertama belum terlewati. Angka kasus sudah melampaui 1 juta dengan 28.000 lebih kematian dan tersebar di semua provinsi. Rekor demi rekor terjadi pada jumlah harian kasus maupun kematian. Kita menyumbang setengah dari total kasus ASEAN. Kekhawatiran lonjakan kasus disampaikan pemerintah lewat Menko Kemaritiman dan Satuan Tugas Covid-19. Tim Pakar Satgas sempat memperingatkan, jika tidak ada perubahan cara pandang dan perilaku, sesungguhnya masyarakat sedang menggali kuburnya sendiri. Angka kematian tidak bisa dilihat hanya statistik atau cukup dikonversi dalam bentuk moneter karena nyawa manusia pada dasarnya tidak bisa tergantikan.

Sengkarut Data
Data kasus dan kematian akibat pagebluk di lapangan jauh lebih besar dari yang dilaporkan. Carut-marut data terjadi di banyak tempat, termasuk Pulau Jawa yang menyumbang kasus paling banyak. Beberapa kepala daerah pernah meminta agar discrepancy data daerah dan pusat diakhiri dan fenomena gunung es bisa diminimalisasi. Masalah data terutama kependudukan dan kesehatan adalah soal klasik di negeri ini. Bahkan, Menteri Kesehatan sendiri menolak penggunaan data kementerian yang dipimpinnya dalam program vaksinasi Covid-19 dan memilih menggunakan data Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Di saat cakupan tes kita salah satu yang paling rendah dan belum secara konsisten memenuhi syarat Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 1.000 tes/1 juta penduduk per minggu, angka positivity rate kita terus bertahan di atas 25%. Angka positivity rate ini masuk lima besar dunia dan jauh di atas ambang batas WHO yang mempersyaratkan maksimal 5%. Keterbatasan tes ini turut memengaruhi under estimate-nya data Covid-19.

Robohnya Faskes dan Tumbangnya Nakes
Saat ini tingkat hunian di rumah sakit rujukan di Jawa dan Bali sudah >80% dan ICU di atas 90%. Ini mengerikan karena jauh di atas Bed Occupancy Rate (BOR) ideal. Seleksi alam terjadi dalam perebutan ICU dan ventilator. Hanya tinggal menunggu waktu, maka fasilitas kesehatan (faskes) kita, terutama rumah sakit rujukan sekunder, akan kolaps. Over capacity sangat membahayakan, bukan saja soal ketersediaan jumlah layanan yang sangat terbatas, tatapi buruknya mutu yang berujung pada tingkat kematian yang semakin dahsyat akan terus naik melebihi Case Fatality Rate (CFR) dunia. Kesulitan mendapatkan pelayanan ruang rawat inap, terutama ICU dan ventilator memicu tingginya kematian. Saat ini rekor harian nasional berjumlah 346 kematian.

Jumlah kematian tenaga kesehatan (nakes) yang menjadi benteng pertahanan juga semakin memprihatinkan. Saat ini kita adalah salah satu negara dengan kematian nakes tertinggi di dunia. Sudah lebih dari 500 nakes dilaporkan gugur selama pandemi.

Tantangan dan Potensi Penyelesaian
Beberapa celah perlu diperbaiki agar semua upaya bisa optimal. Selain pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)/Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan rendahnya kepatuhan pada protokol kesehatan masyarakat, evaluasi kebijakan dan pelaksanaan program pemerintah juga harus terus dikaji.

Perbaikan Test, Tracing, dan Treatment (3T) sudah lama dikumandangkan, tetapi implementasinya masih jauh panggang dari api. Jika data kasus kita under estimate, isu 3T cenderung over estimate. Duplikat data menyebabkan angka tes seolah besar.

Beberapa kasus terlaporkan di rumah sakit, tetapi tanpa diikuti tracing kepada keluarga sama sekali. Minimnya tracing bukan hanya menghambat penemuan orang yang suspek, melainkan juga berpotensi membesarkan penularan. Pembenahan surveillance adalah isu lama yang tidak kunjung selesai. Ketika kasus atau kematian terjadi, siapa yang harus aktif melakukan penyelidikan epidemiologi? Apakah dinas kesehatan atau rumah sakit? Bagaimana implementasi dan evaluasinya? Birokrasi dan koordinasi harus menyepakati sampai hal teknis agar tetap berpedoman pada aturan, termasuk di antaranya agenda menyelesaikan isu pencatatan dan pelaporan. Kesalahan dalam manajemen surveillance inilah yang membuat Menteri Kesehatan menyampaikan bahwa tes korona di Indonesia sebetulnya salah sasaran.

Pembenahan seyogianya dilakukan ketika alarm ini sudah ada, bukan menunggu robohnya faskes dan tumbangnya nakes. Analisis data pasien dan hospital performance indicator diharapkan bisa melihat hubungan penumpukan pasien di IGD, lemahnya sistem rujukan, buruknya koordinasi, rendahnya mutu/manajemen kesehatan, beban nakes yang overload dengan tingginya mortalitas.

Kita perlu membuat sistem komunikasi, koordinasi antarwilayah, termasuk membuat sistem rujukan terintegrasi dan monitoring ketersediaan jumlah tempat tidur/alat/sumber daya manusia (SDM) yang lebih efektif. Sistem integrasi vertikal diperlukan untuk mengatur alur dan kecepatan layanan kesehatan dari faskes dasar seperti puskesmas/klinik ke faskes rujukan sekunder dan sebaliknya.

Tingginya standar layanan kesehatan di Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Vietnam membuat angka kematian Covid-19 tetap rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lain. Publikasi Lancet 2018 tentang Measuring Performance on the Healthcare Access and Quality Index yang dilihat dari 195 negara/teritori, layanan kesehatan kita berada di urutan 138, jauh di bawah negara-negara tersebut, bahkan di Filipina (124).

Langkah Kementerian Kesehatan dalam menambah kapasitas tempat tidur dan tenaga kesehatan, perlu diperkuat dengan peningkatan mutu, perhitungan beban, ketersediaan SDM/alat yang rasional serta penguatan sistem layanan kesehatan primer. Puskesmas dan klinik swasta yang selama ini menjadi andalan program kesehatan berbasis komunitas, perlu diperkuat perannya baik dalam surveilans, rujukan, maupun penopang layanan kesehatan.

Penutup
Menekan kasus dan CFR bisa dilakukan dengan belajar dari peristiwa yang lalu dan kekurangan kita dalam satu tahun terakhir. Saatnya untuk mengevaluasi data, sistem rujukan, akses, SDM, peralatan, sistem informasi kesehatan serta kualitas dan kecepatan layanan. Sejarah pandemi menunjukkan bahwa penanganan tidak bisa instan dan harus komprehensif. Menjadikan vaksin satu-satunya game changer dan sikap over confidence bisa membuat kita game over.

Di banyak negara, keberhasilan pencegahan penyakit selalu mengedepankan literasi kesehatan dari populasinya, termasuk perilaku dan kemampuan manajemen kesehatan pemerintahnya. Ini semua mesti berjalan beriringan.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1903 seconds (0.1#10.140)