Matinya Etika Politik di Era Post Democracy

Selasa, 22 Desember 2020 - 05:00 WIB
loading...
Matinya Etika Politik di Era Post Democracy
Dody Wijaya (Foto: Istimewa)
A A A
Dody Wijaya
Alumnus Sekolah Demokrasi LP3ES dan Taplai Lemhannas

PERISTIWA unik terjadi pada pilkada serentak pada 9 Desember lalu. Di linimasa media sosial beredar foto surat suara yang di corat-coret oleh pemilih. Beragam kata atau kalimat tertulis, misalnya, “KORUPTOR”, “Stop dinasti”, hingga yang unik “Saya Pilih Naruto”. Ada pula yang menempel wajah bintang K-Pop. Ekspresi masyarakat melalui pesan yang ditulis di surat suara tersebut adalah tanda bahwa ada problem pada demokrasi kita.

Saat ini kita berada dalam situasi post-democracy seperti yang dirumuskan oleh Colin Crouch (2004). Institusi dan prosedur demokrasi memang berjalan, antara lain, ditandai penyelenggaraan pemilu dan pemilihan yang berlangsung reguler, namun partisipasi publik dalam politik terbatas dan didominasi oleh elite. Era ini juga beriringan dengan matinya etika politik. Absennya etika akan berdampak besar dalam kehidupan politik berbangsa ke depan.

Post Democracy
Demokrasi Indonesia saat ini mengalami stagnasi–tidak ke arah otoritarianisme, tidak pula penguatan (konsolidasi) demokrasi. Fase ini lebih tepat disebut post-democracy. Konsolidasi oligarki menggeser partisipasi masyarakat kelas menengah dalam politik. Kaum oligarki membajak demokrasi untuk kepentingan ekonomi mereka. Situasi ini diperkuat apatisme masyarakat terhadap politik dan semakin jauhnya relasi antara partai politik dengan rakyat.

Post-democracy, menurut Crouch, yang dikutip Firman Noor (2020) ditandai beberapa hal. Pertama, partisipasi publik bersifat terbatas, misalnya, hanya dalam pemilu, itu pun lebih banyak karena dimobilisasi dengan politik uang. Kedua, partai politik cenderung menjadi alat kepentingan pemilik partai daripada sebagai sarana penyalur kepentingan rakyat. Akibatnya, partai lebih mengakomodasi kepentingan elite ketimbang kepentingan rakyat.

Ketiga, kecenderungan digunakannya cara-cara populisme. Politik pencitraan lebih dikedepankan dan mendapatkan sentimen pemilih di era post-truth. Itu dilakukan melalui politik identitas maupun penggunaan buzzer di media sosial. Keempat, terdapat kecenderungan penurunan antusiasme dan partisipasi politik masyarakat. Pada akhirnya, merosotnya penghargaan terhadap institusi dan proses serta nilai-nilai demokrasi. Fenomena dicorat-coretnya surat suara pada pilkada 9 Desember lalu adalah salah satu indikasinya.

Matinya Etika Politik
Problem post-democracy ini beriringan dengan matinya etika politik. Politik sejatinya adalah jalan luhur mewujudkan kebaikan bersama melalui kekuasaan. Etika memberi panduan tentang nilai-nilai baik dan buruk dalam relasi antarmanusia. Untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, para politikus masing-masing punya kecenderungan berbeda. Ada yang menekankan etika politik, ada pula melakukan segala cara.

Sejarah mencatat, pada awalnya pemikiran politik dibangun atas dasar etika politik. Seperti Plato dan Aristoteles yang menekankan etika dalam gambaran negara ideal. Dilanjutkan oleh Thomas Aquinas yang mengintegrasikan agama dan kekuasaan di mana etika politik bersumber dari nilai-nilai Ketuhanan. Namun, sejak abad ke-16 di Barat mulai terjadi pemisahan etika dengan politik yang dipelopori oleh Machiaveli. Menurutnya, etika tidak diperlukan dalam kekuasaan. Etika baru dibutuhkan bila ia mendatangkan keuntungan secara pragmatis.

Problem utama politik nir etika seperti yang dirumuskan oleh Machiaveli adalah munculnya sekulerisasi politik. Pemisahan antara etika (moral) dan politik memberikan jarak bagi agama (Ketuhanan) dalam politik. Bagi Machiaveli, urusan politik adalah urusan akal pikiran manusia, bukan perkara Ketuhanan (Honohan, 2002).

Atas dasar sekulerisasi itulah, politik Machiavelian memandang manusia pada dasarnya memiliki sifat keburukan, ingkar janji, tamak kekuasaan, pembohong, munafik, dan lain sebagainya. Karena itu menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan bukanlah perkara keburukan. Seseorang yang ingin berkuasa harus memakai muslihat singa dan rubah. Machiavelian modern diterapkan oleh Deng Xioping dengan semboyannya “tak peduli kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus.”
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2220 seconds (0.1#10.140)