Matinya Etika Politik di Era Post Democracy
loading...
A
A
A
Praktik politik kita hari-hari ini menunjukkan gejala matinya politik yang mewujud pada penerapan etika politik Machiavelian. Di antaranya melalui praktik kandidasi kepala daerah yang elitis, klientalisme, fenomena calon tunggal dan kotak kosong, dan maraknya praktik politik uang.
Proses pencalonan kepala daerah di pilkada yang tidak transparan mengindikasikan praktik oligarki dan elitis. Publik tidak terlibat dalam proses pencalonan dan tidak memiliki akses untuk menentukan calon kepala daerah (Nurhasim, 2020). Pada akhirnya politik mengarah pada praktik klientalisme, di mana pilkada menjadi arena pertarungan para ”penguasa lokal” yang memiliki kelompok di masyarakat dan mewakilkan suaranya kepada para kandidat dalam pilkada (Pahlevi, 2020).
Fenomena calon tunggal disebabkan oleh faktor candidate oriented, parpol yang elitis dan besarnya peluang kemenangan (Ratna Dewi Pettalolo, 2020). Pelaksanaan pilkada cenderung berorientasi pada ketokohan seseorang (candidate oriented), bukan pada gagasan-gagasan yang diusung oleh calon atau partai politik pengusung.
Riil politik ini semakin rusak dengan politik uang. Muncul politik transaksional dengan sistem NPWP (nomor piro, wani piro) pada setiap proses tahapan pemilu. Politik uang antara calon dengan partai terjadi dengan banyak cara. Mulai dari penggunaan istilah mahar politik, uang sewa perahu, uang operasional, hingga uang saksi. Tahapan kampanye sampai pencoblosan juga diwarnai politik uang, baik dalam bentuk pembagian sembako maupun pemberian uang kepada calon pemilih pada hari pencoblosan yang dikenal dengan istilah “serangan fajar.”
Bencana Matinya Etika Politik
Sebagai anak bangsa, kita perlu mengingatkan para politikus yang berkuasa bahwa kekuasaan yang berdasarkan pada kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya akan rapuh. Selain itu, kemampuan seseorang berkuasa bergantung pada legitimasi dari cara mendapatkan kekuasaan (Franz Magnis Suseno, 2001).
Praktik-praktik politik tanpa etika akan menghasilkan generasi yang akan meniru cara politik segala cara. Dan, kekuasaan yang direbut dengan segala cara, akan jatuh dengan segala cara. Bila hal ini diteruskan, akan menjadi kultur “politik segala cara” yang berbahaya bagi kehidupan berbangsa.
Bila di ibaratkan pertandingan tinju, satu petinju diperbolehkan menggunakan tangan dan kaki dalam pertandingan, sedangkan petinju yang lain hanya menggunakan tangan. Tentu saja, petinju yang mengikuti aturan dengan hanya menggunakan tangan akan dikalahkan oleh petinju yang menggunakan segala cara.
Pada akhirnya, karena menggunakan segala cara, tujuan meraih kekuasaan politik akhirnya tercapai. Hal ini akan terus ditiru oleh setiap politisi dari generasi ke generasi.
Sampai kapan politik tanpa etika ini akan kita teruskan?
Proses pencalonan kepala daerah di pilkada yang tidak transparan mengindikasikan praktik oligarki dan elitis. Publik tidak terlibat dalam proses pencalonan dan tidak memiliki akses untuk menentukan calon kepala daerah (Nurhasim, 2020). Pada akhirnya politik mengarah pada praktik klientalisme, di mana pilkada menjadi arena pertarungan para ”penguasa lokal” yang memiliki kelompok di masyarakat dan mewakilkan suaranya kepada para kandidat dalam pilkada (Pahlevi, 2020).
Fenomena calon tunggal disebabkan oleh faktor candidate oriented, parpol yang elitis dan besarnya peluang kemenangan (Ratna Dewi Pettalolo, 2020). Pelaksanaan pilkada cenderung berorientasi pada ketokohan seseorang (candidate oriented), bukan pada gagasan-gagasan yang diusung oleh calon atau partai politik pengusung.
Riil politik ini semakin rusak dengan politik uang. Muncul politik transaksional dengan sistem NPWP (nomor piro, wani piro) pada setiap proses tahapan pemilu. Politik uang antara calon dengan partai terjadi dengan banyak cara. Mulai dari penggunaan istilah mahar politik, uang sewa perahu, uang operasional, hingga uang saksi. Tahapan kampanye sampai pencoblosan juga diwarnai politik uang, baik dalam bentuk pembagian sembako maupun pemberian uang kepada calon pemilih pada hari pencoblosan yang dikenal dengan istilah “serangan fajar.”
Bencana Matinya Etika Politik
Sebagai anak bangsa, kita perlu mengingatkan para politikus yang berkuasa bahwa kekuasaan yang berdasarkan pada kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya akan rapuh. Selain itu, kemampuan seseorang berkuasa bergantung pada legitimasi dari cara mendapatkan kekuasaan (Franz Magnis Suseno, 2001).
Praktik-praktik politik tanpa etika akan menghasilkan generasi yang akan meniru cara politik segala cara. Dan, kekuasaan yang direbut dengan segala cara, akan jatuh dengan segala cara. Bila hal ini diteruskan, akan menjadi kultur “politik segala cara” yang berbahaya bagi kehidupan berbangsa.
Bila di ibaratkan pertandingan tinju, satu petinju diperbolehkan menggunakan tangan dan kaki dalam pertandingan, sedangkan petinju yang lain hanya menggunakan tangan. Tentu saja, petinju yang mengikuti aturan dengan hanya menggunakan tangan akan dikalahkan oleh petinju yang menggunakan segala cara.
Pada akhirnya, karena menggunakan segala cara, tujuan meraih kekuasaan politik akhirnya tercapai. Hal ini akan terus ditiru oleh setiap politisi dari generasi ke generasi.
Sampai kapan politik tanpa etika ini akan kita teruskan?
(bmm)