Pilkada Rasa Covid-19
loading...
A
A
A
Achmad Fachrudin
Direktur Eksekutif Literasi Demokrasi Indonesia
KURANG dua bulan dari sekarang, atau tepatnya pada 9 Desember 2020, puncak perhelatan pilkada serentak akan digelar di 270 daerah, meliputi 224 wilayah kabupaten, 37 kota, dan 9 provinsi. Pilkada ini melibatkan lebih dari 106 juta pemilih dan menggunakan anggaran hingga Rp9,9 triliun.
Pilkada 2020 didominasi isu seputar virus korona (Covid-19) dengan segala kompleksitasnya. Hal ini karena tantangan dan problem yang dihadapi sulit tercermati secara kasatmata atau tidak bisa diraba (intangible).
Secara empirik korban yang jatuh karena Covid-19 sudah cukup besar. Berdasarkan data dari situs Covid19.go.id, jumlah kasus positif Covid-19 per Senin, 19 Oktober 2020 mencapai 365.240 orang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Minggu (6/9) mencatat, 280 dari 309 daerah kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 telah terpapar Covid-19. Korban terinfeksi Covid-19 juga tidak pilih kasih. Tercatat sebanyak 63 orang calon kepala daerah terinfeksi positif Covid-19 yang tersebar di 21 provinsi dari 32 provinsi. Bahkan, tiga di antaranya meninggal dunia.
Seiring dengan dinamika tahapan pilkada yang makin tinggi dan biasanya dibarengi dengan interaksi antara para pihak terkait, khususnya pada masa kampanye terbuka dan puncaknya pada kegiatan pemungutan suara pada 9 Desember 2020, banyak pihak mengkhawatirkan pilkada akan menjadi klaster potensial Covid-19. Kekhawatiran tersebut bukan mengada-ada terlebih setelah mencermati data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mencatat terdapat 243 dugaan pelanggaran protokol kesehatan (prokes) Covid-19 dalam proses pendaftaran bakal pasangan calon pada awal September lalu. Pelanggaran prokes terus berlanjut di masa kampanye. Temuan Bawaslu menunjukkan, pelanggaran prokes pada 10 hari kedua kampanye, yaitu 6-15 Oktober sebanyak 375 kasus. Angka tersebut bertambah 138 dibandingkan pada 10 hari pertama kampanye, yaitu pada 26 September-5 Oktober lalu dengan jumlah pelanggaran prokes 237 kasus.
Dampak Negatif
Secara kategoris, dampak Pilkada 2020 rasa Covid-19 bukan hanya dalam bentuk fisik/empirik, melainkan juga berdampak nonfisik/abstrak. Bahkan, sebagian besarnya merupakan kombinasi atau perkawinan antara dampak fisik dengan nonfisik. Berbagai dampak negatif tersebut antara lain: pertama, Pilkada 2020 di era Covid-19 memperbesar kemungkinan melahirkan berbagai penyakit kejiwaan yang dialami oleh hampir semua pihak atau aktor yang terlibat di pilkada, termasuk pemilih.
Hal ini selaras dengan hasil analisis sejumlah pakar kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyebutkan, pandemi Covid-19 menyebabkan krisis kesehatan mental, stres, anxiety (kecemasan), curiga berlebihan, dan sebagainya. Menurut analisis Direktur Departemen Kesehatan Mental WHO Devora Kestel, hal ini sebagai dampak dari isolasi yang berkepanjangan. Hal ini akan membuat manusia mengalami kesepian atau perasaan terisolasi. Hal ini dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan demensia kepada orang dewasa.
Survei daring Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selama April-Mei 2020 terhadap lebih 20.000 keluarga di Indonesia menunjukkan, 95% keluarga mengalami stres akibat pandemi dan pembatasan sosial yang dilakukan guna mencegah penyebaran Covid-19. Dapat dibayangkan, apa jadinya manakala Pilkada 2020 dilakukan dalam suasana kebatinan dan kejiwaan masyarakat yang mengalami kecemasan dan depresi.
Kedua, dalam situasi dan suasana kebatinan para pihak terkait pilkada khususnya pemilih mengalami gangguan kejiwaan demikian hebat, tentu rasionalitas bisa mengalami penumpulan. Hal yang lebih menonjol adalah aspek emosionalitas. Ditambah lagi jika perut sebagian pemilih “keroncongan” akibat dari krisis ekonomi berkepanjangan, itu berpeluang melahirkan pemilih permisif dan pragmatis.
Ketiga, kontestasi di antara pasangan calon yang bertarung di pilkada sulit menggambarkan peta kekuatan kandidat dan konfigurasi dukungan partai politik atau basis konstituen pemilih riil dan sesungguhnya. Hal ini juga sangat mungkin berimbas pada persaingan pada Pilkada 2020 yang sangat sulit berwujud menjadi pertarungan terbuka, kompetitif, dan fairness. Pada Pilkada rasa Covid-19 ini potensi pelanggarannya bukan hanya terhadap prokes Covid-19, melainkan juga pelanggaran dalam bentuk maraknya modus politik uang yang dilakukan secara senyap (operasi senyap), malpraktik, dan kecurangan.
Direktur Eksekutif Literasi Demokrasi Indonesia
KURANG dua bulan dari sekarang, atau tepatnya pada 9 Desember 2020, puncak perhelatan pilkada serentak akan digelar di 270 daerah, meliputi 224 wilayah kabupaten, 37 kota, dan 9 provinsi. Pilkada ini melibatkan lebih dari 106 juta pemilih dan menggunakan anggaran hingga Rp9,9 triliun.
Pilkada 2020 didominasi isu seputar virus korona (Covid-19) dengan segala kompleksitasnya. Hal ini karena tantangan dan problem yang dihadapi sulit tercermati secara kasatmata atau tidak bisa diraba (intangible).
Secara empirik korban yang jatuh karena Covid-19 sudah cukup besar. Berdasarkan data dari situs Covid19.go.id, jumlah kasus positif Covid-19 per Senin, 19 Oktober 2020 mencapai 365.240 orang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Minggu (6/9) mencatat, 280 dari 309 daerah kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 telah terpapar Covid-19. Korban terinfeksi Covid-19 juga tidak pilih kasih. Tercatat sebanyak 63 orang calon kepala daerah terinfeksi positif Covid-19 yang tersebar di 21 provinsi dari 32 provinsi. Bahkan, tiga di antaranya meninggal dunia.
Seiring dengan dinamika tahapan pilkada yang makin tinggi dan biasanya dibarengi dengan interaksi antara para pihak terkait, khususnya pada masa kampanye terbuka dan puncaknya pada kegiatan pemungutan suara pada 9 Desember 2020, banyak pihak mengkhawatirkan pilkada akan menjadi klaster potensial Covid-19. Kekhawatiran tersebut bukan mengada-ada terlebih setelah mencermati data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mencatat terdapat 243 dugaan pelanggaran protokol kesehatan (prokes) Covid-19 dalam proses pendaftaran bakal pasangan calon pada awal September lalu. Pelanggaran prokes terus berlanjut di masa kampanye. Temuan Bawaslu menunjukkan, pelanggaran prokes pada 10 hari kedua kampanye, yaitu 6-15 Oktober sebanyak 375 kasus. Angka tersebut bertambah 138 dibandingkan pada 10 hari pertama kampanye, yaitu pada 26 September-5 Oktober lalu dengan jumlah pelanggaran prokes 237 kasus.
Dampak Negatif
Secara kategoris, dampak Pilkada 2020 rasa Covid-19 bukan hanya dalam bentuk fisik/empirik, melainkan juga berdampak nonfisik/abstrak. Bahkan, sebagian besarnya merupakan kombinasi atau perkawinan antara dampak fisik dengan nonfisik. Berbagai dampak negatif tersebut antara lain: pertama, Pilkada 2020 di era Covid-19 memperbesar kemungkinan melahirkan berbagai penyakit kejiwaan yang dialami oleh hampir semua pihak atau aktor yang terlibat di pilkada, termasuk pemilih.
Hal ini selaras dengan hasil analisis sejumlah pakar kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyebutkan, pandemi Covid-19 menyebabkan krisis kesehatan mental, stres, anxiety (kecemasan), curiga berlebihan, dan sebagainya. Menurut analisis Direktur Departemen Kesehatan Mental WHO Devora Kestel, hal ini sebagai dampak dari isolasi yang berkepanjangan. Hal ini akan membuat manusia mengalami kesepian atau perasaan terisolasi. Hal ini dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan demensia kepada orang dewasa.
Survei daring Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selama April-Mei 2020 terhadap lebih 20.000 keluarga di Indonesia menunjukkan, 95% keluarga mengalami stres akibat pandemi dan pembatasan sosial yang dilakukan guna mencegah penyebaran Covid-19. Dapat dibayangkan, apa jadinya manakala Pilkada 2020 dilakukan dalam suasana kebatinan dan kejiwaan masyarakat yang mengalami kecemasan dan depresi.
Kedua, dalam situasi dan suasana kebatinan para pihak terkait pilkada khususnya pemilih mengalami gangguan kejiwaan demikian hebat, tentu rasionalitas bisa mengalami penumpulan. Hal yang lebih menonjol adalah aspek emosionalitas. Ditambah lagi jika perut sebagian pemilih “keroncongan” akibat dari krisis ekonomi berkepanjangan, itu berpeluang melahirkan pemilih permisif dan pragmatis.
Ketiga, kontestasi di antara pasangan calon yang bertarung di pilkada sulit menggambarkan peta kekuatan kandidat dan konfigurasi dukungan partai politik atau basis konstituen pemilih riil dan sesungguhnya. Hal ini juga sangat mungkin berimbas pada persaingan pada Pilkada 2020 yang sangat sulit berwujud menjadi pertarungan terbuka, kompetitif, dan fairness. Pada Pilkada rasa Covid-19 ini potensi pelanggarannya bukan hanya terhadap prokes Covid-19, melainkan juga pelanggaran dalam bentuk maraknya modus politik uang yang dilakukan secara senyap (operasi senyap), malpraktik, dan kecurangan.