Pilkada Rasa Covid-19

Senin, 19 Oktober 2020 - 06:28 WIB
loading...
Pilkada Rasa Covid-19
Achmad Fachrudin
A A A
Achmad Fachrudin
Direktur Eksekutif Literasi Demokrasi Indonesia


KURANG dua bulan dari sekarang, atau tepatnya pada 9 Desember 2020, puncak perhelatan pilkada serentak akan digelar di 270 daerah, meliputi 224 wilayah kabupaten, 37 kota, dan 9 provinsi. Pilkada ini melibatkan lebih dari 106 juta pemilih dan menggunakan anggaran hingga Rp9,9 triliun.

Pilkada 2020 didominasi isu seputar virus korona (Covid-19) dengan segala kompleksitasnya. Hal ini karena tantangan dan problem yang dihadapi sulit tercermati secara kasatmata atau tidak bisa diraba (intangible).

Secara empirik korban yang jatuh karena Covid-19 sudah cukup besar. Berdasarkan data dari situs Covid19.go.id, jumlah kasus positif Covid-19 per Senin, 19 Oktober 2020 mencapai 365.240 orang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Minggu (6/9) mencatat, 280 dari 309 daerah kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 telah terpapar Covid-19. Korban terinfeksi Covid-19 juga tidak pilih kasih. Tercatat sebanyak 63 orang calon kepala daerah terinfeksi positif Covid-19 yang tersebar di 21 provinsi dari 32 provinsi. Bahkan, tiga di antaranya meninggal dunia.

Seiring dengan dinamika tahapan pilkada yang makin tinggi dan biasanya dibarengi dengan interaksi antara para pihak terkait, khususnya pada masa kampanye terbuka dan puncaknya pada kegiatan pemungutan suara pada 9 Desember 2020, banyak pihak mengkhawatirkan pilkada akan menjadi klaster potensial Covid-19. Kekhawatiran tersebut bukan mengada-ada terlebih setelah mencermati data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mencatat terdapat 243 dugaan pelanggaran protokol kesehatan (prokes) Covid-19 dalam proses pendaftaran bakal pasangan calon pada awal September lalu. Pelanggaran prokes terus berlanjut di masa kampanye. Temuan Bawaslu menunjukkan, pelanggaran prokes pada 10 hari kedua kampanye, yaitu 6-15 Oktober sebanyak 375 kasus. Angka tersebut bertambah 138 dibandingkan pada 10 hari pertama kampanye, yaitu pada 26 September-5 Oktober lalu dengan jumlah pelanggaran prokes 237 kasus.

Dampak Negatif
Secara kategoris, dampak Pilkada 2020 rasa Covid-19 bukan hanya dalam bentuk fisik/empirik, melainkan juga berdampak nonfisik/abstrak. Bahkan, sebagian besarnya merupakan kombinasi atau perkawinan antara dampak fisik dengan nonfisik. Berbagai dampak negatif tersebut antara lain: pertama, Pilkada 2020 di era Covid-19 memperbesar kemungkinan melahirkan berbagai penyakit kejiwaan yang dialami oleh hampir semua pihak atau aktor yang terlibat di pilkada, termasuk pemilih.

Hal ini selaras dengan hasil analisis sejumlah pakar kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyebutkan, pandemi Covid-19 menyebabkan krisis kesehatan mental, stres, anxiety (kecemasan), curiga berlebihan, dan sebagainya. Menurut analisis Direktur Departemen Kesehatan Mental WHO Devora Kestel, hal ini sebagai dampak dari isolasi yang berkepanjangan. Hal ini akan membuat manusia mengalami kesepian atau perasaan terisolasi. Hal ini dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan demensia kepada orang dewasa.

Survei daring Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selama April-Mei 2020 terhadap lebih 20.000 keluarga di Indonesia menunjukkan, 95% keluarga mengalami stres akibat pandemi dan pembatasan sosial yang dilakukan guna mencegah penyebaran Covid-19. Dapat dibayangkan, apa jadinya manakala Pilkada 2020 dilakukan dalam suasana kebatinan dan kejiwaan masyarakat yang mengalami kecemasan dan depresi.

Kedua, dalam situasi dan suasana kebatinan para pihak terkait pilkada khususnya pemilih mengalami gangguan kejiwaan demikian hebat, tentu rasionalitas bisa mengalami penumpulan. Hal yang lebih menonjol adalah aspek emosionalitas. Ditambah lagi jika perut sebagian pemilih “keroncongan” akibat dari krisis ekonomi berkepanjangan, itu berpeluang melahirkan pemilih permisif dan pragmatis.

Ketiga, kontestasi di antara pasangan calon yang bertarung di pilkada sulit menggambarkan peta kekuatan kandidat dan konfigurasi dukungan partai politik atau basis konstituen pemilih riil dan sesungguhnya. Hal ini juga sangat mungkin berimbas pada persaingan pada Pilkada 2020 yang sangat sulit berwujud menjadi pertarungan terbuka, kompetitif, dan fairness. Pada Pilkada rasa Covid-19 ini potensi pelanggarannya bukan hanya terhadap prokes Covid-19, melainkan juga pelanggaran dalam bentuk maraknya modus politik uang yang dilakukan secara senyap (operasi senyap), malpraktik, dan kecurangan.

Keempat, tingkat partisipasi pemilih di Pilkada 2020 diperkirakan mengalami penurunan cukup signifikan. Hal ini terkonfirmasi dari riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) (Sabtu 5/9/2020) yang menyebutkan, diperkirakan hanya 20% sampai 46% calon pemilih yang akan datang ke tempat-tempat pemungutan suara (TPS). Menurut LSI, penyebabnya adalah pandemi Covid-19. Hal ini berarti target partisipasi pemilih yang dipatok oleh Komisi Pemilihan Umum KPU sebanyak 77,5% bakal sulit tercapai. Rendahnya partisipasi pemilih akan menimbulkan krisis legitimasi terhadap proses dan hasil Pilkada 2020.

Kelima, dikhawatirkan dari Pilkada 2020 rasa Covid-19 adalah terjadinya demoralisasi dari seluruh pemangku kepentingan, khususnya dari penyelenggara pilkada. Wujud empirik dari demoralisasi tersebut adalah melaksanakan pilkada sekadarnya (mediocare) dan tidak lebih hanya menggugurkan kewajiban yang sudah diputuskan pemerintah dan DPR. Penyelenggara bisa saja tidak atau kurang memprioritaskan kualitas proses pilkada, pencegahan, dan penegakan hukum terhadap pelanggaran prokes Covid-19 dan peraturan perundangan pilkada. Sementara bagi pasangan calon atau tim kampanye lebih mementingkan meraih kemenangan dengan jalan menghalalkan segala cara dan lain sebagainya.

Secercah Solusi
Secara profesional, semua pemangku kepentingan harus mempersiapkan segala kemungkinan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada 2020 di masa Covid-19. Pertama, hal yang harus dilakukan dan dimiliki adalah pengetahuan dan pemahaman terhadap medan pilkada saat ini yang berhubungan dengan pandemi. Jadi, imbauan agar kandidat di pilkada menjadikan Covid-19 sebagai salah satu isu kampanye bukan saja penting, melainkan juga harus dilakukan demi terwujudnya pilkada demokratis dan sekaligus menyehatkan.

Kedua, pemangku kepentingan Pilkada 2020 harus memiliki perencanaan darurat atau (contingency planning). Hal ini harus dimiliki karena tren Covid-19 sangat sulit ditebak. Bahkan, tren atau kurvanya masih terus meningkat. Perencanaan darurat tersebut bisa saja diformulasikan dengan sejumlah skenario atau opsi, dari opsi penundaan pilkada secara total atau diterapkan pilkada secara simetris berbasis pada zonasi (misalnya hanya daerah yang zona hijau yang diperbolehkan menggelar pilkada). Perencanaan darurat tersebut harus dikaji secara komprehensif dengan mengalkulasi berbagai dampaknya bagi semua pihak.

Ketiga, Pilkada di masa Covid-19 sangat kompleks dan multidimensional. Oleh karena itu, penyelenggara pilkada dan kandidat harus disuntik kesiapan dan kekuatan spiritual, emosional, mentalitas, kejuangan, dan militansinya. Tujuannya guna menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi, khususnya manakala terjadi pandemi di suatu daerah pemilihan, selain pemberian pelatihan teknis dan medis. Idealnya, pemangku kepentingan, khususnya penyelenggara pilkada, didampingi tim spiritual dan medis yang siap setiap saat membantu dalam pelaksanaan Pilkada 2020.

Keempat, kiranya pemangku kepentingan Pilkada 2020 bisa belajar dari kasus calon presiden Amerika Serikat Donald Trump yang terpapar Covid-19. Lalu, dirawat di rumah sakit dan setelah pulih dapat kembali melanjutkan kampanye tanpa mengganggu tahapan Pilpres Amerika Serikat. Kasus yang dialami Trump dan berbagai kasus mirip dan pelik lainnya harus diidentifikasi, dikaji, dan dicarikan solusinya berbasis pada peraturan perundangan yang jelas. Hal ini penting dilakukan agar tidak menimbulkan kegaduhan dan konflik.

Kelima, sejak saat ini pemangku kepentingan terutama penyelenggara pemilu harus mempersiapkan diri atas problem yang timbul pasca-Pilkada 2020. Problem tersebut di antaranya kemungkinan terjadi unjuk rasa atas hasil pilkada hingga proses hukum di Mahkamah Konstitusi (sengketa hasil), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (pelanggaran etika penyelenggara pilkada), atau bahkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Karena pilkada kali ini digelar di masa Covid-19, tentu dari sisi administrasi, penanganan perkara, serta persidangannya memiliki karakteristik berbeda dibandingkan saat normal.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 2.3998 seconds (0.1#10.140)