Pengamat Sebut Aksi Penolakan UU Ciptaker Saling Menunggangi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Demontrasi penolakan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja baru-baru ini meninggalkan bekas kerusuhan di mana-mana. Berbagai pihak mempertanyakan, apakah hal ini murni aksi penyampaian aspirasi , atau ada yang menungganginya?
(Baca juga: DPR Luruskan 12 Fakta tentang Omnibus Law Cipta Kerja)
Pengamat politik Emrus Sihombing menilai, demonstrasi penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja beberapa hari yang lalu kentara akan aksi menunggangi satu sama lain. Pasalnya, tidak semua aksi demonstrasi murni untuk menyampaikan aspirasi atau tuntutan belaka.
(Baca juga: KSP Sesalkan Aksi Demo Tolak UU Ciptaker Rusak Fasilitas Umum)
"Karena prinsipnya manusia itu saling menunggangi. Kalau saya mengatakan, di situ saling menunggangi antara satu pihak dengan pihak yang lain," kata Emrus, Senin (12/10/2020).
Menurutnya, dalam fenomena politik, termasuk demonstrasi, merupakan suatu rangkaian peristiwa yang tidak muncul secara tiba-tiba. Karena, tidak ada satupun perilaku manusia tanpa derencanakan sebelumnya.
Kendati demikian, ia tidak bisa memastikan siapa aktor dominan yang menunggangi demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja. Namun secara teoritis dan hipotesis, Emrus mengatakan, aktor politik yang berada di luar lapangan terlihat lebih dominan.
Menurut saya perlu dilakukan kajian mendalam ihwal hal tersebut (siapa aktor dominan demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja)," ujarnya.
Di sisi lain, menurut pandangan Emrus, tidak ada pilihan bagi rezim saat ini untuk mengajak dialog, berkomunikasi, dan menampung aspirasi aktor di balik demonstrasi kemarin. Tentu, tidak semua aspirasi harus diakomodasi atau diterima. Semua harus dikompromikan.
Sementara itu, rakyat jangan mau terpolarisasi daripada perilaku politikus yang ada di balik aktor demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja. Masyarakat harus kritis dalam memberikan dukungan dan pilihan tanpa harus memihak salah satu kubu.
"Biasa saja jika para politikus berbeda pendapat. Tapi pada akhirnya masuk meja perundingan juga dan ada kompromi.
(Baca juga: DPR Luruskan 12 Fakta tentang Omnibus Law Cipta Kerja)
Pengamat politik Emrus Sihombing menilai, demonstrasi penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja beberapa hari yang lalu kentara akan aksi menunggangi satu sama lain. Pasalnya, tidak semua aksi demonstrasi murni untuk menyampaikan aspirasi atau tuntutan belaka.
(Baca juga: KSP Sesalkan Aksi Demo Tolak UU Ciptaker Rusak Fasilitas Umum)
"Karena prinsipnya manusia itu saling menunggangi. Kalau saya mengatakan, di situ saling menunggangi antara satu pihak dengan pihak yang lain," kata Emrus, Senin (12/10/2020).
Menurutnya, dalam fenomena politik, termasuk demonstrasi, merupakan suatu rangkaian peristiwa yang tidak muncul secara tiba-tiba. Karena, tidak ada satupun perilaku manusia tanpa derencanakan sebelumnya.
Kendati demikian, ia tidak bisa memastikan siapa aktor dominan yang menunggangi demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja. Namun secara teoritis dan hipotesis, Emrus mengatakan, aktor politik yang berada di luar lapangan terlihat lebih dominan.
Menurut saya perlu dilakukan kajian mendalam ihwal hal tersebut (siapa aktor dominan demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja)," ujarnya.
Di sisi lain, menurut pandangan Emrus, tidak ada pilihan bagi rezim saat ini untuk mengajak dialog, berkomunikasi, dan menampung aspirasi aktor di balik demonstrasi kemarin. Tentu, tidak semua aspirasi harus diakomodasi atau diterima. Semua harus dikompromikan.
Sementara itu, rakyat jangan mau terpolarisasi daripada perilaku politikus yang ada di balik aktor demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja. Masyarakat harus kritis dalam memberikan dukungan dan pilihan tanpa harus memihak salah satu kubu.
"Biasa saja jika para politikus berbeda pendapat. Tapi pada akhirnya masuk meja perundingan juga dan ada kompromi.
(maf)