Pilkada yang Tak Dirindukan

Kamis, 01 Oktober 2020 - 22:10 WIB
loading...
A A A
Dalam perspektif perilaku pemilih, golput bagian dari sikap politik rasional (rational choice ) sebagai bentuk protes atas situasi yang berkembang. Pilihan tak memilih didasarkan atas pertimbangan rasionalitas. Dulu di zaman Orde Baru lahirnya gerakan golput bertujuan melawan sistem politik korup. Kini ada suara golput karena kondisi darurat korona. Motifnya serupa, wujud protes karena pilkada dalam ancaman wabah pagebluk.

Ketiga, penyampaian visi-misi kandidat tak maksimal. Harus diakui pilkada kali ini cenderung sebatas menggugurkan kewajiban regulatif. Dari aspek demokrasi prosedural mungkin tak ada persoalan, tetapi dari segi substansi jelas bermasalah. Bagaimana mungkin paparan visi-misi calon hanya dilakukan dalam kurun waktu 71 hari dalam kondisi terbatas.

Tak boleh berkerumun, dilarang memobilisasi massa, dan sebagainya. Jelas sangat tak ideal. Anjuran kampanye daring tak terlampau berfaedah. Sebab tak semua orang punya fasilitas smartphone dan kuota internet memadai. Bahkan di sejumlah wilayah terpencil masih banyak yang tak punya alat komunikasi pintar. Semua serbamanual alamiah apa adanya.

Rekayasa Politik

Tak ada solusi cerdas selain menunda pelaksanaan pilkada. Opsi ini memang ekstrem sebagai upaya menyelamatkan kemanusiaan. Hak eksklusif individu yang bergairah hidup di dunia. Ya, hak hidup yang seutuhnya perlu dilindungi negara. Jangan hanya urusan pilkada lalu keselamatan jiwa dipertaruhkan. Secara tak langsung pilkada memaksa orang ke luar rumah menyabung nyawa datang ke TPS demi sesuatu yang tak terlampau berdampak bagi kehidupan mereka.

Jika pilkada tetap diselenggarakan awal Desember, tentunya butuh rekayasa politik (political engeenering) guna mengamputasi sebaran virus. Misalnya dengan voting virtual. Pemilih bisa memilih dari mana saja agar terhindar dari kerumunan. Problemnya, opsi ini tak diatur dalam regulasi pilkada. Termasuk pula soal public distrust dengan sistem virtual yang mudah diretas serta anggaran yang pastinya membengkak. Tawaran ini paling rasional untuk meminimalkan penularan wabah. Ribet dan ongkosnya mahal memang. Tapi harus dicoba.

Solusi cerdas lain misalnya dengan mencoblos via petugas pos keliling. Setiap orang yang selesai mencoblos langsung menitipkan kertas suara melalui jasa pos yang diantar ke TPS setempat. Ada petugas pos yang dipercaya menjemput suara pemilih. Opsi ini terlihat mudah meski praktiknya rumit. Banyak hal yang bisa diupayakan untuk menekan risiko bahaya sebaran virus. Tinggal political will penyelenggara dan pemerintah melakukan upaya alternatif selain model pencoblosan konvensional.

Sekali lagi, rekayasa politik perlu dilakukan sebagai upaya mengurangi penularan virus serta menekan laju golput. Perlu diingat, persoalan memilih (voter turnout) di Indonesia perkara sunah, bukan kewajiban. Pemilih tak wajib datang ke TPS. Berbeda dengan Australia yang memberikan sanksi bagi warga yang tak menggunakan hak pilihnya.

Apalagi, banyak orang yang masih menganggap pilkada sebagai "barang umum" yang bisa dinikmati siapa pun. Jadi, produk pilkada seperti kepala daerah dan kebijakan politiknya, bukan hanya dinikmati mereka yang datang mencoblos, melainkan juga berlaku bagi mereka yang golput tak mencoblos. Aspek psikologis ini bisa memengaruhi rendahnya partisipasi pemilih.

Pilkada tinggal menghitung hari. Kurang lebih menyisakan waktu dua bulan. Butuh ikhtiar serius untuk mengubah pilkada yang tak dirindukan menjadi pilkada mengesankan yang bakal dikenang sejarah, yakni pilkada sukses di tengah pandemi. Atau tetap menjadi pilkada yang paling banyak dikutuk sepanjang masa. Semuanya itu tergantung pemerintah, DPR, dan penyelenggara pilkada.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1675 seconds (0.1#10.140)