Pilkada yang Tak Dirindukan

Kamis, 01 Oktober 2020 - 22:10 WIB
loading...
Pilkada yang Tak Dirindukan
Adi Prayitno
A A A
JAKARTA - Adi Prayitno

Direktur Eksekutif Parameter Politik

Pilkadayang Tak Dirindukan. Demikian kira-kira judul yang pas untuk menarasikan "drama" pilkada serentak andai ia dibuat kisah film atau sinetron. Disebut drama karena pilkada telah melalui berbagai tahapan yang cukup pelik dan rumit. Sempat diundur, banjir protes publik, berbagai pihak meminta pilkada ditunda, tetapi pemerintah, anggota Dewan, dan penyelenggara pilkada bersikeras akan tetap melaksanakan pilkada pada 9 Desember mendatang. Alasannya cuma satu, yakni menyelamatkan estafet kepemimpinan daerah.

Hakikat pilkada itu pesta akbar. Ritus lima tahunan yang dinanti jutaan insan pemirsa politik Tanah Air. Ada hiruk-pikuk, gemuruh kampanye, serta saling negasi antarkandidat. Bahkan kerap terjadi dinamika politik yang menghentak batin. Itulah sejatinya pilkada yang penuh dengan kerasnya aroma persaingan.

Kali ini, sulit mendapati suasana pilkada yang dirayakan riang gembira, semarak, dan gegap-gempita. Justru yang terjadi sebaliknya, banyak protes karena potensial memperluas kluster Covid-19. Dua ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, lantang bersuara agar pilkada ditunda. Alasannya, lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Berbagai organisasi civil society juga silih berganti meminta pilkada tak dilanjutkan. Tak kondusif serta menyeramkan.

Pilkada terlihat lemah lesu. Semua itu karena Covid-19. Model kampanye dimodifikasi. Dianjurkan lebih banyak melalui daring ketimbang rapat terbuka. Pemaparan visi-misi tatap muka dibatasi. Kerumunan tak boleh lebih dari 50 orang. Klausul dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No 13 Tahun 2020 jelas mengatur ini semua. Bagi pihak yang melanggar, sanksinya dibubarkan, dikurangi hari kampanye, dan sejenis sanksi lumayan ringan lainnya.

Argumen Fundamental

Lalu apa yang membuat pilkada kali ini tak dirindukan? Pertama , tentu karena angka yang terpapar wabah korona kian meroket tajam. Penularan belum juga terkendali. Di Jakarta saja yang menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketat tak mampu membendung korona. Angka positivity rate masih sangat tinggi. Apalagi daerah lain yang peraturannya longgar, pasti potensial menambah kluster baru. Pilkada bisa dilanjut jika sebaran virus mulai melandai. Mungkin setelah Desember ada harapan jumlah yang terpapar berkurang. Namanya juga ikhtiar, apa pun perlu dilakukan.

Dulu, pernah ada pemilu di zaman Orde Baru yang sempat ditunda karena masyarakat dan negara belum siap. Di fase awal transisi reformasi, pemilu juga ditunda. Pemilu baru diselenggarakan pada 1999, padahal Habibie sudah menjadi presiden pada 1998 waktu itu. Penundaan pemilu perkara lumrah terutama di saat situasi genting.

Kedua, ancaman golput yang tinggi. Covid-19 memaksa semua orang takut datang ke TPS. Tak lain karena takut terjangkit virus. Apalagi banyak anggapan pilkada tak berguna bagi perbaikan hidup. Ini yang bisa membuat partisipasi makin terjun bebas. Suksesi reguler kepemimpinan daerah tak membuat kehidupan ekonomi membaik. Tetap saja rakyat harus berkelahi dengan hidupnya yang makin ruwet.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1874 seconds (0.1#10.140)