Penjelasan PKS Mulai dari Komunisme, Piagam Jakarta hingga RUU HIP

Rabu, 30 September 2020 - 15:27 WIB
loading...
Penjelasan PKS Mulai dari Komunisme, Piagam Jakarta hingga RUU HIP
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, Mulyanto, mengajak masyarakat untuk lebih menghayati hikmah dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Mulyanto, mengajak masyarakat lebih menghayati hikmah dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila . Adapun ajakan itu menyambut Hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober.

(Baca juga: Fahri Hamzah Dorong Fadli Zon Ungkap Sejarah Komunis dan PKI)

"Pancasila yang saat ini menjadi dasar negara Indonesia merupakan rumusan paling tepat yang telah dihasilkan para pendahulu bangsa. Sehingga sudah sepatutnya dilaksanakan secara murni dan konsekuen," kata Mulyanto dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Rabu (30/9/2020).

(Baca juga: Pilkada Tetap Dilanjutkan, Komnas HAM Ingatkan Ratusan KPPS Meninggal di 2019)

Dia mengatakan, salah satu wujud penghayatan nilai-nilai Pancasila adalah menolak ideologi komunisme, marxisme dan leninisme. Pancasila mengajarkan Ketuhanan yang Maha Esa, sehingga sangat tidak cocok disandingkan dengan ideologi-ideologi yang tidak mengakui Tuhan.

"Pancasila itu antitesis dari komunisme, marxisme dan leninisme. Sehingga siapa saja yang meyakini Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia harus berani menyatakan secara tegas Pancasila Yes, Komunisme No!," jelasnya.

Mulyanto melanjutkan, Pancasila merupakan hasil perenungan dan pemikiran mendalam para pendiri bangsa (founding fathers), yang digali dari praktek nyata kehidupan leluhur bangsa Indonesia. Pemikiran itu selanjutnya dikristalisasi dalam rumusan yang disepakati bersama.

Karena itu sudah sepatutnya kalau Pancasila menjadi landasan moral kehidupan berbangsa dan bernegara yang diterima dengan tulus. Mulyanto prihatin jika akhir-akhir ini marak munculnya kelompok neo komunis yang bangga menampilkan logo dan lambang PKI. Logo palu arit itu terpasang di kaos, souvenir maupun dinding rumah.

Mulyanto menilai, aparat keamanan lamban menyikapi tuntutan rekonsiliasi anak-cucu PKI yang merasa orang tua-kakek-nenek mereka adalah korban. Bukan pelaku tindak kejahatan luar biasa. Bahkan sebaliknya, yang dituduh sebagai pelaku tindak kejahatan adalah para ulama dan tentara.

"Terkait soal ini pemerintah harus bersikap bijak dan tegas. Karena kerangka hukumnya sudah jelas, baik dalam TAP MPRS Nomor 25/1966 maupun dalam UU KUHP, bahwa komunisme adalah ajaran yang dilarang," imbuhnya.

"Ketimbang pemerintah berwacana bahwa faham komunis sudah tidak ada lagi di Indonesia atau PKI tidak akan tumbuh lagi di Indonesia, bahkan di dunia, masyarakat lebih butuh tindakan konkret pemerintah dengan menertibkan lambang dan logo PKI yang beredar," tambah Mulyanto.

Menurut dia, ketegasan seperti itu akan menimbulkan rasa aman di tengah-tengah masyarakat. "Tidak perlu juga kita mengedepankan Pancasila 1 Juni 1945; trisila; ekasila; atau ketuhanan yang berkebudayaan. Justru yang harus kita sosialisasikan adalah Pancasila 18 Agustus 1945, sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945," imbuh Mulyanto.

Dia mengatakan, Bung Karno sendiri dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan Pancasila dengan sila kelima, "Ketuhanan Yang Berkebudayaan". Namun oleh Panitia Sembilan yang diketuai oleh beliau sendiri, yang menghimpun kaum kebangsaan dan para ulama, berhasil memantapkan rumusan Pancasila pada tanggal 22 Juni 1945 menjadi Pancasila sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta dimana Sila Pertama berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Bung Karno, sambil menangis meminta kepada peserta sidang BPUPKI, agar ikhlas menerima Pancasila 22 Juni 1945 hasil rumusan Tim Sembilan, yang merupakan kompromi antara kaum nasionalis dengan kaum Islam nasionalis. Karena Bung Karno sendiri telah ikhlas melepas Pancasila 1 Juni 1945. Menurut dia, hal tersebut kebesaran jiwa Bung Karno.

"Tapi karena ada elemen bangsa yang keberatan dengan rumusan Pancasila Piagam Jakarta tersebut, khususnya Sila Pertama dan karena kebesaran hati para ulama, maka di sidang PPKI, 7 kata dalam Sila Pertama yaitu 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya' diubah. Barulah pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan Pancasila sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD tahun 1945, seperti yang ada sekarang ini," ungkap Mulyanto.

Karena itu menurut Mulyanto, RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) segera dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas tahun 2020 dan tidak perlu lagi dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas tahun-tahun berikutnya. "Kita tidak perlu lagi memboroskan energi untuk membahas RUU yang jelas-jelas sudah ditolak oleh sebagian besar elemen bangsa ini," ungkapnya.

Bagi PKS lanjut dia, Pancasila sebagai kalimatun sawa' (common platform) atau sebagai philosofische grondslag sudah bersifat final. "Tidak perlu dibicarakan lagi. Yang utama bagi kita adalah bagaimana mengamalkannya secara murni dan konsekuen, agar kita segera secara bersama-sama dapat keluar dari pandemi Covid-19 dan menyongsong kehidupan baru berbangsa dan bernegara yang lebih baik," pungkas Mulyanto.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1619 seconds (0.1#10.140)