Pemerintah Jelaskan 7 Substansi Perubahan UU Ketenagakerjaan di RUU Ciptaker
loading...
A
A
A
JAKARTA - Setelah dalam rapat semalam (25/9/2020) pemerintah mendapatkan penolakan dan kritik dari mayoritas fraksi terhadap klaster ketenagakerjaan di Rancangan Undang-Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja (RUU Ciptaker), pemerintah kembali menjelaskan secara komprehensif mengenai klaster ketenagakerjaan yang diusulkan.
Hal ini disampaikan oleh Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum dan Ketahanan Ekonomi Kemenko Perekonomian Elen Setiadi dalam rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Ciptaker di Badan Legislasi ( Baleg ) DPR yang digelar di salah satu hotel bintang 5 di Jakarta, Sabtu (26/9/2020). (Golkar-PKB Minta Pembahasan Klaster Tenaga Kerja RUU Cipta Kerja Berlanjut)
Elen menjelaskan, ada 7 substansi perubahan UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dalam RUU Ciptaker. Pertama, waktu kerja, yang mana dalam UU sebelumnya diatur waktu kerja rigid 7 jam/hari dan 40 jam untuk 6 hari serta 8 jam/hari dan 40 jam untuk 5 hari kerja. (RUU Cipta Kerja Memuat 10 Materi Klaster Ketenagakerjaan)
“Perubahan dalam RUU ini, selain waktu kerja yang umum paling lama 8 jam/hari dan 40 jam/minggu, diatur juga waktu kerja untuk pekerjaan yang khusus yang waktunya dapat kurang dari 8 jam/hari untuk pekerja paruh waktu dan ekonomi digital. Dan yang melebihi 8 jam/hari untuk pertambangan, perkebunan, pertanian dan perikanan,” kata Elen dalam rapat.
Kedua, mengenai Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), kemudahan RPTKA hanya untuk TKA ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu seperti untuk maintenance (darurat), vokasi, peneliti, serta investor atau buyer. Pihaknya tidak ingin semua dibuka, sehingga yang betul-betul diperlukan dan punya keahlian saja. (Paling Terdampak COVID-19, UMKM Desak RUU Cipta Kerja Segera Disahkan)
“Bapak mungkin ingat beberapa waktu yang lalu, kita sepakati untuk imigrasi pak sudah melakukan manajemen, bisa mengakomodasi, tidak perlu ada jaminan di dalam negeri tapi taruh senilai uang sehingga dia bisa masuk, ini fleksibilitas. Kalau dia sudah menanamkan investasi di dalam negeri tentu sudah pasti dia ada jaminan investasi ini salah satu yang ingin sampaikan,” paparnya.
Ketiga, persoalan pekerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Pihaknya melihat bahwa pekerja kontrak belum diberikan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap. Ke depan, pemerintah ingin melakukan perubahan perkembangan teknologi digital, industri 4.0 yang menimbulkan jenis pekerjaan baru yang bersifat tidak tetap dan membutuhkan pekerja dalam waktu tertentu.
“Kami sudah sampai kan contohnya pekerja kontrak diberikan hak dan perlindungan sama dengan pekerja tetap pak. Antara lain upah, jaminan sosial, perlindungan K3, termasuk kompensasi hubungan kerja, kami ingin ada kepastian di situ,” papar Elen.
Keempat, mengenai ahli daya outsourcing. UU 13/2003 mengatur adanya limitasi tertentu untuk ahli daya outsourcing dan untuk kegiatan tertentu, walau dalam penjelasan disebutkan belum ada ketegasan atau kesamaan jaminan hak dan perlindungan bagi pekerja alih waktu.
“Ke depan pak, kita ingin mendudukkan persoalan ini, alih daya adalah persoalan B to B sebesar bisnis to bisnis, yang kita perlukan adalah jaminan pekerja yang bekerja di dalam alih daya tersebut. Diberikan perlindungan sama dengan pekerja tetap,” ujarnya.
Kelima, masalah upah minimum. Elen mengatakan, di awal sudah digambarkan secara ringkas bahwa dalam UU Ketenagakerjaan, upah minimum dapat ditangguhkan sehingga banyak pekerja buruh dapat menerima upah di bawah upah minimum dan ini fakta. Lalu peraturan upah minimum tidak diterapkan pada usaha mikro dan kecil menengah (UMKM). Kenaikan upah minimum menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional
“Kesenjangan upah minimum pada beberapa kabupaten/kota sudah sangat tinggi. Kita ke depan ingin ada perubahan, upah minimum kita tidak dapat ditangguhkan, jadi ini adalah safety net pak, kita ingin itu dibayarkan,” terangnya.
Kemudian, kenaikan upah minimum menggunakan formulasi pertumbuhan ekonomi daerah dan produktivitas pemerintah. Sehingga, pihaknya ingin sekarang upah dikaitkan dengan produktivitas. Dengan demikian akan tergambar berapa besarnya porsi di dalam efektivitas pembayaran upah dalam pekerjaannya.
“Upah minimum di tingkat provinsi dapat diterapkan upah minimum pada kabupaten/kota dengan syarat tertentu. Upah untuk UMKM tersendiri dan tidak bisa mengikuti yang sudah diatur di dalam upah yang untuk di atas UMKM,” paparnya.
Keenam, persoalan pesangon PHK sebanyak 32 kali upah dinilai sangat memberatkan pelaku usaha. Hal ini juga mengurangi minat investor untuk berinvestasi.
Berdasarkan data sensitivitas pemerintah, 66% perusahaan tidak patuh mengikuti UU, 27% patuh secara parsial dan karyawan menerima nilai lebih kecil dari pada haknya. Dan 7% patuh.
“Jadi, dengan pengaturan seperti ini implementasinya tidak sama. Karena itu, kami anggap masih terdapat ketidakpastian dalam pesangon ini, ini harus kita selesaikan,” tegasnya.
Terakhir, subtansi pokok yang diusulkan adalah hal-hal yang baru yang tidak diatur di dalam UU Ketenagakerjaan dan ini diperlukan saat pandemi. Pemerintah mengusulkan adanya program baru yaitu program jaminan kehilangan pekerjaan. Program ini akan memberikan benefit pada pekeja yang terkena PHK.
Ada tiga manfaat yakni, pemberian gaji dan upah setiap bulan yang tergantung kesepakatan ini yang ditanggung melalui program ini. Kemudian, training peningkatan kapasitas sesuai kebutuhan pasar kerja, informasi ke tenaga kerja dan mendapatkan jaminan sosial lain seperti kecelakaan kerja hari tua dan pensiun jaminan kematian.
“Jadi ada beberapa usulan lain, termasuk masukan Mahkamah Konstitusi (MK), kami setuju putus MK, kami akan ikuti dan hal-hal yang tidak sesuai dengan keputusan MK akan kami kembalikan ke putusan MK. Sanksi pidana kita sepakat untuk kembali pada UU existing. Sehingga kami usulkan tidak perlu dibahas, karena sudah diputuskan untuk kembali ke UU existing,” jelasnya.
Hal ini disampaikan oleh Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum dan Ketahanan Ekonomi Kemenko Perekonomian Elen Setiadi dalam rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Ciptaker di Badan Legislasi ( Baleg ) DPR yang digelar di salah satu hotel bintang 5 di Jakarta, Sabtu (26/9/2020). (Golkar-PKB Minta Pembahasan Klaster Tenaga Kerja RUU Cipta Kerja Berlanjut)
Elen menjelaskan, ada 7 substansi perubahan UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dalam RUU Ciptaker. Pertama, waktu kerja, yang mana dalam UU sebelumnya diatur waktu kerja rigid 7 jam/hari dan 40 jam untuk 6 hari serta 8 jam/hari dan 40 jam untuk 5 hari kerja. (RUU Cipta Kerja Memuat 10 Materi Klaster Ketenagakerjaan)
“Perubahan dalam RUU ini, selain waktu kerja yang umum paling lama 8 jam/hari dan 40 jam/minggu, diatur juga waktu kerja untuk pekerjaan yang khusus yang waktunya dapat kurang dari 8 jam/hari untuk pekerja paruh waktu dan ekonomi digital. Dan yang melebihi 8 jam/hari untuk pertambangan, perkebunan, pertanian dan perikanan,” kata Elen dalam rapat.
Kedua, mengenai Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), kemudahan RPTKA hanya untuk TKA ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu seperti untuk maintenance (darurat), vokasi, peneliti, serta investor atau buyer. Pihaknya tidak ingin semua dibuka, sehingga yang betul-betul diperlukan dan punya keahlian saja. (Paling Terdampak COVID-19, UMKM Desak RUU Cipta Kerja Segera Disahkan)
“Bapak mungkin ingat beberapa waktu yang lalu, kita sepakati untuk imigrasi pak sudah melakukan manajemen, bisa mengakomodasi, tidak perlu ada jaminan di dalam negeri tapi taruh senilai uang sehingga dia bisa masuk, ini fleksibilitas. Kalau dia sudah menanamkan investasi di dalam negeri tentu sudah pasti dia ada jaminan investasi ini salah satu yang ingin sampaikan,” paparnya.
Ketiga, persoalan pekerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Pihaknya melihat bahwa pekerja kontrak belum diberikan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap. Ke depan, pemerintah ingin melakukan perubahan perkembangan teknologi digital, industri 4.0 yang menimbulkan jenis pekerjaan baru yang bersifat tidak tetap dan membutuhkan pekerja dalam waktu tertentu.
“Kami sudah sampai kan contohnya pekerja kontrak diberikan hak dan perlindungan sama dengan pekerja tetap pak. Antara lain upah, jaminan sosial, perlindungan K3, termasuk kompensasi hubungan kerja, kami ingin ada kepastian di situ,” papar Elen.
Keempat, mengenai ahli daya outsourcing. UU 13/2003 mengatur adanya limitasi tertentu untuk ahli daya outsourcing dan untuk kegiatan tertentu, walau dalam penjelasan disebutkan belum ada ketegasan atau kesamaan jaminan hak dan perlindungan bagi pekerja alih waktu.
“Ke depan pak, kita ingin mendudukkan persoalan ini, alih daya adalah persoalan B to B sebesar bisnis to bisnis, yang kita perlukan adalah jaminan pekerja yang bekerja di dalam alih daya tersebut. Diberikan perlindungan sama dengan pekerja tetap,” ujarnya.
Kelima, masalah upah minimum. Elen mengatakan, di awal sudah digambarkan secara ringkas bahwa dalam UU Ketenagakerjaan, upah minimum dapat ditangguhkan sehingga banyak pekerja buruh dapat menerima upah di bawah upah minimum dan ini fakta. Lalu peraturan upah minimum tidak diterapkan pada usaha mikro dan kecil menengah (UMKM). Kenaikan upah minimum menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional
“Kesenjangan upah minimum pada beberapa kabupaten/kota sudah sangat tinggi. Kita ke depan ingin ada perubahan, upah minimum kita tidak dapat ditangguhkan, jadi ini adalah safety net pak, kita ingin itu dibayarkan,” terangnya.
Kemudian, kenaikan upah minimum menggunakan formulasi pertumbuhan ekonomi daerah dan produktivitas pemerintah. Sehingga, pihaknya ingin sekarang upah dikaitkan dengan produktivitas. Dengan demikian akan tergambar berapa besarnya porsi di dalam efektivitas pembayaran upah dalam pekerjaannya.
“Upah minimum di tingkat provinsi dapat diterapkan upah minimum pada kabupaten/kota dengan syarat tertentu. Upah untuk UMKM tersendiri dan tidak bisa mengikuti yang sudah diatur di dalam upah yang untuk di atas UMKM,” paparnya.
Keenam, persoalan pesangon PHK sebanyak 32 kali upah dinilai sangat memberatkan pelaku usaha. Hal ini juga mengurangi minat investor untuk berinvestasi.
Berdasarkan data sensitivitas pemerintah, 66% perusahaan tidak patuh mengikuti UU, 27% patuh secara parsial dan karyawan menerima nilai lebih kecil dari pada haknya. Dan 7% patuh.
“Jadi, dengan pengaturan seperti ini implementasinya tidak sama. Karena itu, kami anggap masih terdapat ketidakpastian dalam pesangon ini, ini harus kita selesaikan,” tegasnya.
Terakhir, subtansi pokok yang diusulkan adalah hal-hal yang baru yang tidak diatur di dalam UU Ketenagakerjaan dan ini diperlukan saat pandemi. Pemerintah mengusulkan adanya program baru yaitu program jaminan kehilangan pekerjaan. Program ini akan memberikan benefit pada pekeja yang terkena PHK.
Ada tiga manfaat yakni, pemberian gaji dan upah setiap bulan yang tergantung kesepakatan ini yang ditanggung melalui program ini. Kemudian, training peningkatan kapasitas sesuai kebutuhan pasar kerja, informasi ke tenaga kerja dan mendapatkan jaminan sosial lain seperti kecelakaan kerja hari tua dan pensiun jaminan kematian.
“Jadi ada beberapa usulan lain, termasuk masukan Mahkamah Konstitusi (MK), kami setuju putus MK, kami akan ikuti dan hal-hal yang tidak sesuai dengan keputusan MK akan kami kembalikan ke putusan MK. Sanksi pidana kita sepakat untuk kembali pada UU existing. Sehingga kami usulkan tidak perlu dibahas, karena sudah diputuskan untuk kembali ke UU existing,” jelasnya.
(nbs)