Novel Baswedan-Alexander Marwata Silang Pendapat dalam Sidang Uji UU KPK

Rabu, 23 September 2020 - 16:49 WIB
loading...
Novel Baswedan-Alexander...
Penyidik senior KPK Novel Baswedan silang pendapat dengan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam sidang uji UU baru KPK di MK, Rabu (23/9/2020). FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Silang pendapat antara penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dengan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam sidang lanjutan uji materiil dan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK ( UU baru KPK ) di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (23/9/2020).

Novel Baswedan menjadi sebagai saksi dari pihak pemohon dan Alexander Marwata menjadi saksi sebagai pihak terkait (KPK). Pemberian kesaksian berlangsung secara virtual. Pihak DPR yang juga diagendakan bersaksi malah tidak hadir.

Novel Baswedan menyatakan, revisi terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU lama KPK) kemudian menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK (UU baru KPK) sangat berdampak bagi KPK secara kelembagaan, personel KPK, dan pemberantasan korupsi. Bahkan, menurut Novel, revisi UU lama kemudian disahkan dan berlakunya UU baru telah melemahkan KPK. Musababnya, kata Novel, dengan UU baru maka KPK maupun tim KPK tidak bisa melak penegakan hukum di saat mendesak. ( )

"Dibanding dengan semua aparat penegak hukum lain, bahkan dibandingkan dengan PPNS (penyidik pegawai negeri sipil) sekalipun, KPK menjadi lebih tidak berdaya. Karena KPK tidak bisa melakukan tindakan dalam hal keadaan mendesak. Ini yang kemudian kita lihat ironi sebagai hal yang kemudian korupsi dipandang sebagai extra ordinary," kata Novel.

Ketua Tim Satuan Tugas (Satgas) Penyidik sejumlah kasus besar ini membeberkan, ada beberapa aspek yang mengakibatkan ekses bagi penegakan hukum pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK dengan UU baru. Pertama, pada aspek bidang penindakan. Dengan sejumlah perubahan dalam UU 19 Tahun 2019 maka penyadapan, penggeledahan, penyitaan, dan penghentian penyidikan memerlukan proses yang panjang.

"Dalam UU sebelumnya, KPK bisa menyita tanpa izin. Sedangkan dalam KUHP, diatur yang berlaku umum bisa dilakukan dengan izin pengadilan ataupun tanpa izin setelah itu minta persetujuan," katanya.

Berdasarkan UU lama, kata Novel, untuk penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan hanya memerlukan surat perintah yang diteken pimpinan KPK. Tapi dengan berlakunya UU baru maka tiga proses tersebut harus diajukan pimpinan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK untuk mendapatkan izin Dewas. Akibat rantai proses seperti itu, Novel mencontohkan, bukti-bukti untuk sebuah kasus tidak bisa diperoleh dengan cepat dan berpotensi pihak-pihak tertentu lebih dulu mengaburkan atau menghilangkan barang bukti. ( )

"Dengan adanya proses yang harus ada izin, tidak diberikan ruang untuk melakukan tindakan terlebih dahulu sekalipun untuk hal yang mendesak, contohnya setelah OTT atau tindakan-tindakan yang perlu mendesak ketika mencari tersangka yang melarikan diri. Ini menjadi hambatan," ungkapnya.

Novel membeberkan, proses yang sangat panjang terkait dengan penyadapan, penggeledahan, maupun penyitaan pun berpotensi memunculkan dugaan intervensi saat kasus sedang diproses KPK. Bahkan menurut dia, intervensi tersebut di antaranya bisa dalam bentuk penghentian sebuah kasus.

"Hal ini yang menjadi permasalahan dan menjadi peluang terjadinya intervensi atau terjadi masalah dalam proses yang dilakukan sehingga prosesnya tidak proporsional atau tidak objektif," ujarnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2051 seconds (0.1#10.140)