DPR Bantah Revisi UU MK Sebagai Barter Politik

Rabu, 09 September 2020 - 04:55 WIB
loading...
DPR Bantah Revisi UU...
Forum Legislasi bertema RUU Mahkamah Konstitusi: Bagaimana Memperkuat Kekuasaan Kehakiman? di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (8/9/2020). Foto: SINDOnews/Abdul Rochim
A A A
JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Taufik Basari menegaskan revisi Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dilakukan sebagai akibat dari keputusan MK itu sendiri dan sudah ada pada periode DPR sebelumnya. Dia menyesalkan adanya tuduhan bahwa revisi UU ini sebagai barter politik.

”Justru tuduhan itu merendahkan martabat sembilan hakim konstitusi itu sendiri,” ujar Taufik dalam Forum Legislasi bertema “RUU Mahkamah Konstitusi: Bagaimana Memperkuat Kekuasaan Kehakiman?” di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (8/9/2020). (Baca juga: Soal Polemik Wamen Rangkap Jabatan, Jubir Istana: MK Tak Beri Putusan)

Menurut politikus Partai NasDem ini, penghapusan periodesasi hakim konstitusi dalam UU tersebut agar mereka ini tidak berpikir lagi untuk mendapat posisi lainnya di luar MK. ”Melainkan mereka harus menjadi negarawan dan mengabdi sepenuhnya untuk rakyat, bangsa dan negara,” katanya.

RUU MK ini termasuk kategori RUU kumulatif dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2020, yakni RUU yang disusun sebagai akibat tindak lanjut dari putusan MK terhadap UU tertentu yang harus mengalami perubahan akibat putusan MK.

”Karena itu akibat adanya putusan-putusan MK terhadap UU MK maka perlu dilakukan perubahan terhadap UU MK yang mengacu pada putusan-putusan MK,” katanya.

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman mengatakan, revisi UU MK ini seperti UU ‘halilintar’ atau petir di siang bolong karena mengagetkan banyak pihak. ”Saya ibaratkan juga seperti Covid-19, datang tiba-tiba, diam-diam, tetapi mematikan,” ujarnya.

Menurut dia, saat itu Demokrat adalah salah satu fraksi yang menolak pembahasan RUU tersebut karena bersamaan dengan pandemi Covid-19. Namun sebagai partai oposisi, pihaknya kalah suara. Hingga akhirnya Komisi III dalam rapat kerja dengan pemerintah menyepakati untuk membahas lebih lanjut RUU ini.

”Tidak ada yang dibahas karena tak ada isinya. Ada yang tanya kok cepat sekali? Jangankan satu minggu, satu malam pun bisa. Jadi nggak usah ditanya itu kenapa cepat sekali. Memang ada yang bahas, yang dibahas dikit,” ungkapnya.

Benny mengatakan, substansi UU ini adalah masa jabatan hakim MK. Dalam draf RUU yang diajukan Dewan, usia minimum 60 tahun dan maksimum 70 tahun. Pemerintah kemudian mengubah minimum 55 tahun dan masa pensiun 70 tahun. ”Sampai tahun 2024 tidak akan ada hakim MK yang dipensiunkan dan tidak ada yang berhenti,” ucapnya. (Baca juga: Mahfud MD Sebut Praktik Industri Hukum Masih Ada di Indonesia)

Pakar Hukum Leopold Sudaryono mengatakan, pembahasan UU ini yang dilakukan secara kilat dan tertutup ada konsekuensi yang harus dihadapi. Pertama, hal ini akan berkontribusi ke semakin apatisme masyarakat terhadap proses pembentukan undang-undang.

”Kedua, harus saya katakan kualitas pembahasan yang hanya di dalam pagar DPR itu tentu tidak akan sebaik apabila mendapatkan masukan dari masyarakat,” tuturnya.

Dia khawatir ada preseden kurang baik terhadap proses legislasi, terutama di saat pandemi bahwa ada kecenderungan yang penting cepat supaya tidak banyak perdebatan.
(jon)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3544 seconds (0.1#10.140)