Setelah Mahathir Minta Mundur

Rabu, 26 Februari 2020 - 07:29 WIB
Setelah Mahathir Minta Mundur
Setelah Mahathir Minta Mundur
A A A
Dinna Wisnu PhD
Praktisi dan Pengajar Hubungan Internasional

Ada apa dengan Malaysia? Pertanyaan tersebut muncul menyusul pengajuan Tun Dr Mahathir Mohamad, perdana menteri Malaysia, kepada Yang Dipertuan Agong Sultan Abdullah Sultan Ahmad Shah. Mahathir Mohamad bahkan menyatakan mundur dari partai yang dibentuknya untuk memecah suara dari partai UMNO, Partai Pribumi Bersatu Malaysia.

Tak lama Raja kemudian meminta Mahathir untuk tetap berkuasa sebagai pemimpin sementara sampai waktu yang ditentukan bagi Raja menentukan perdana menteri baru. Artinya, Wan Azizah Wan Ismail yang menjabat deputi perdana menteri tidak otomatis menggantikan Mahathir yang mundur.Sesuai Pasal 43 ayat 2a Konstitusi Federal Malaysia, Raja berwenang menunjuk perdana menteri dari anggota Dewan Rakyat yang menurutnya mampu memimpin kepercayaan mayoritas. Rangkaian wawancara 221 anggota Dewan Rakyat selama masing-masing 2-3 menit sedang dilakukan sejak kemarin hingga Rabu untuk menentukan siapa yang dianggap mampu.

Pengunduran diri Mahathir dapat dikatakan sebagai sebuah bom waktu yang memang sudah diramalkan akan meledak. Secara usia dan janji kampanye ia memang harus mengundurkan diri. Usianya sudah 96 tahun dan ia telah berjanji akan mengundurkan diri, bahkan dengan tegas, setelah konferensi APEC berlangsung akhir tahun ini.

Umumnya dalam sistem politik parlementarian, gonta-ganti perdana menteri adalah kejadian yang biasa saja. Namun, memang sistem politik parlementarian yang berlangsung di Asia cenderung berbeda dengan yang terjadi di Eropa. Partai politik dalam politik parlementarian di Asia lebih cenderung berbasiskan kharismatik tokoh, faktor etnik, agama, suku, dan faktor-faktor identitas lain. Sementara partai politik di Eropa lebih cenderung berbasiskan politik kelas.

Dengan kata lain, faktor homogen atau heterogennya sebuah masyarakat di sebuah negara juga dapat memengaruhi dinamika pertarungan politik di sebuah negara. Jepang yang homogen, seperti di negara-negara Eropa lain, sistem politik parlemennya tidak banyak menggunakan politik identitas dan lebih cenderung memainkan politik yang berideologi kelas karena lebih homogen dibandingkan dengan India atau Malaysia. Sebab itu, struktur politik di Malaysia, seperti Indonesia, masih membuka peluang elite politik untuk memainkan isu politik identitas. Politik identitas di Malaysia sangat kuat karena catatan sensus 2017 menyebut etnis Melayu sebesar 61,97%, Tionghoa 20,8%, Indian 6,2%, dan etnik lain 11,3%.

Masalah etnik ini yang disebut-sebut menjadi alasan Mahathir mundur sebagai PM pada 2002. Ia dalam sebuah kongres UMNO pada tahun tersebut menyampaikan perubahan pandangan politiknya. Ia yang dari awalnya sejak 1070-an mengutamakan dan melindungi etnik Melayu dari persaingan ekonomi-politik dengan etnik lainnya menjadi berbalik mengkritik etnik Melayu yang menjadi tidak kompetitif dan kreatif karena perlindungan tersebut. Hal ini menyebabkan ketegangan di dalam partai UMNO karena sejak 1999 partai tersebut kehilangan dukungan dari etnik Melayu yang lebih cenderung memilih ke Partai Islam se-Malaysia (PAS) dan National Justice Party yang dipimpin oleh Anwar Ibrahim. Mahathir tidak dapat mengubah pandangan politik tokoh-tokoh politik di UMNO dan tidak dapat menyatukan etnik-etnik di Malaysia sehingga akhirnya ia memilih untuk mengundurkan diri.

Gerakan Reformasi Bersih 4.0 yang dimulai sejak 2014 dan berhasil kemudian menggulingkan Najib Tun Razak melalui Pemilu 2018 tidak serta-merta meruntuhkan struktur tersebut. Akibatnya, politik di Malaysia masih sangat tergantung dengan ketokohan seseorang yang dianggap bisa mewakili dan menyatukan kelompok-kelompok identitas tersebut. Langkah politik Mahathir menunjukkan bahwa kepemimpinan politik di Malaysia ditentukan oleh segelintir orang saja. Mahathir yang sudah demikian senior dalam politik Malaysia menjadi penentu arah koalisi, bahkan penentu kelompok orang yang nantinya akan berkuasa.

Ke mana keputusan politik Mahathir akan dilabuhkan masih belum pasti. Beberapa kalangan berpendapat bahwa Mahathir tidak punya niat untuk berbagi kekuasaan dengan Anwar Ibrahim yang pernah dijanjikan akan diserahi kekuasaan dua tahun setelah Pemilu 2018.

Namun, Anwar mengatakan sebaliknya ketika bertemu dengan Mahathir. “No I think it is not him...his name was used by those within my party and outside. And he reiterated what he had said to me earlier, that he played no part in it. It is very clear that he will, in no way, ever work with those associated with the past regime,” he told reporters after returning to the party’s headquarters from meeting with the Agong at Istana Negara. Artinya, Anwar yakin bahwa Mahathir justru akan menjauh dari orang-orang UMNO yang mendekatinya.

Dinamika politik di Malaysia tentu juga tidak dapat diramalkan, tetapi dalam pengalaman sejarah politik negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia, kekuatan oligarki masih cukup kuat di Malaysia. Banyak politisi UMNO yang korup bergabung ke partai politik bentukan Mahathir, Anwar Ibrahim, dan partai-partai lain untuk menyelamatkan diri dan mendapatkan kekuasaan di kepengurusan partai.

Kelompok-kelompok ini yang diduga saat ini mencoba untuk mengarahkan dan saling berkonsolidasi untuk memutuskan ke arah mana politik Malaysia akan dibawa. Apakah dibawa kembali mendekat ke kekuasaan yang lama atau membangun sebuah kekuasaan baru yang terlepas dari kekuasaan lama? Karena itu, selain Mahathir, suara Anwar Ibrahim juga sangat penting sebagai perwakilan dari kelompok yang ingin melakukan pembaharuan total dalam sistem politik di Malaysia. Sejauh mana Anwar Ibrahim akan tunduk dengan tekanan-tekanan dari kekuasaan yang lama atau sejauh mana ia akan tetap lanjut dengan agenda reformasinya.

Apakah arti ini semua bagi Indonesia? Sebagai negara tetangga, Indonesia hanya bisa berharap bahwa keresahan masyarakat Malaysia dan ketidakpastian politik di negeri Jiran itu tidak akan berujung pada gesekan politik dan sosial. Tanpa gesekan politik pun kepercayaan pasar terhadap Malaysia sempat turun. Segera setelah pengunduran diri Mahathir, pasar modal kehilangan tak kurang dari 43 miliar ringgit.

Hal ini sangat mengkhawatirkan karena perekonomian Malaysia sudah melambat, bahkan sebelum meluasnya wabah corona virus disease (CoViD) 2019. Malaysia yang banyak ditopang oleh turisme dan perdagangan mengalami kesulitan untuk menggelontorkan dana publik untuk menggerakkan sektor-sektor jasa perhubungan, makanan dan minimum, perdagangan, hiburan, turisme yang selama ini bergantung pada aliran pembeli dan pendatang asing ke Malaysia.

Mengingat bahwa perekonomian Malaysia banyak dikendalikan oleh negara, ketidakpastian politik di negara itu akan menghambat pula laju perekonomian di sana. Sejak 2010 Malaysia termasuk negara dengan ekonomi paling terbuka di dunia dengan rasio perdagangan terhadap PDB rata-rata lebih dari 130%. Keterbukaan terhadap perdagangan dan investasi berperan menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan pendapatan. Sekitar 40% pekerjaan di Malaysia terkait dengan kegiatan ekspor. Negara tujuan ekspor terbesar bagi Malaysia adalah China, Singapura, Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Asia lainnya.

Investasi juga merupakan motor pertumbuhan ekonomi bagi Malaysia. Malaysia merupakan satu di antara negara penerima investasi asing tertinggi di Asia Tenggara, namun catatan ini bisa terganggu bila kepercayaan pasar modal terhadap Malaysia anjlok.

Hubungan perdagangan Indonesia dan Malaysia mengalami penurunan selama empat tahun terakhir sebesar -2,12%. Indonesia mencatatkan volume perdagangan sebesar USD20,58 miliar pada 2014 dan turun menjadi USD17,8 miliar pada 2018. Indonesia baru merasakan surplus sebesar USD668 juta pada 2018. Kecenderungan surplus ini diperkirakan akan terus terjadi kecuali jika perekonomian Malaysia memburuk. Ekspor utama Indonesia ke Malaysia terutama adalah batu bara (23,56%), gas minyak bumi dan hidrokarbon gas lainnya (15,14%), minyak mentah (4,55%), biji tembaga (4,53%), dan karet alam (3,78%).

Dengan ketidakpastian politik di Malaysia, tidak hanya kita terpaksa menunggu sampai perdana menteri terbaru bekerja, menunjuk anggota kabinetnya dan segenap aparat-aparatnya, hubungan kerja sama di tataran bilateral maupun regional di ASEAN juga akan perlu penyelarasan baru.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5231 seconds (0.1#10.140)