Menuntaskan Tambang Ilegal

Senin, 20 Januari 2020 - 07:02 WIB
Menuntaskan Tambang Ilegal
Menuntaskan Tambang Ilegal
A A A
Rio ChristiawanDosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Rencana pe­me­rin­tah menuntaskan persoalan tam­bang ilegal di lo­ka­si calon ibu kota negara baru di Ka­li­man­tan Timur ramai di­beritakan berbagai media be­berapa hari ini. Perlu di­pa­hami bahwa saat ini persoalan tambang ilegal tidak hanya ter­jadi pada lokasi calon ibu kota negara, melainkan juga di ham­pir semua pulau besar di Indonesia, seperti Jawa, Su­ma­tera, Kalimantan, Sulawesi, hing­ga Papua.

Tambang ilegal juga bukan hal baru di Tanah Air. Mengacu pada laporan Asian Deve­lop­ment Bank (ADB) 2019, per­soal­an ini telah terjadi sejak za­man kolonial Belanda dan kini tambang ilegal justru me­ram­bah industri yang menopang ekonomi Indonesia. Seperti con­tohnya di Jambi, kebera­da­an tambang ilegal justru me­rong­rong perkebunan kelapa sawit yang menjadi penyum­bang devisa utama bagi Indo­ne­sia.

Selain menimbulkan keru­gian ekonomi, keberadaan tam­bang ilegal juga me­nim­bulkan persoalan lingkungan, seperti contohnya bencana ta­nah longsor di Lebak-Banten. Persoalan lingkungan lainnya adalah punah maupun ter­gang­gunya ekosistem akibat bahan maupun cara yang di­per­gunakan pada tambang ile­gal. Hal ini terjadi karena tam­bang ilegal tidak memiliki ana­lisis mengenai dampak lin­g­kungan sehingga menyebab­kan kerusakan pada ling­kung­an maupun bencana alam.

Niat pemerintah menun­tas­kan persoalan tambang ile­gal mestinya tidak hanya di­la­ku­kan di lokasi sekitar ibu kota yang baru di Kalimantan Ti­mur. Akan jauh lebih baik jika pemerintah menggunakan mo­mentum ini untuk me­nun­taskan seluruh area tambang ilegal di seluruh wilayah Tanah Air.

Menurut Whitehead (2010), tambang ilegal bukan saja kejahatan terhadap ling­kungan, tetapi merupakan ke­jahatan terhadap seluruh po­pu­lasi yang ada di bumi. Se­jalan dengan pendapat ter­se­but, tambang ilegal merupa­kan kejahatan yang menim­bul­kan kerugian sangat besar jika dihitung secara ekonomis.

Fritjof Capra (2002) me­nye­­butkan, menuntaskan per­soalan lingkungan jika tidak dibarengi dengan keseriusan pemerintah, maka tidak akan menghasilkan titik balik (tur­ning point) untuk ekosistem ling­kungan dan kehidupan ma­nusia yang lebih baik. Arti­nya, persoalan menuntaskan tambang ilegal ini terletak pada kemauan dan keseriusan pemerintah saja, karena da­lam konteks ini negara me­miliki kedaulatan untuk meng­atur seluruh wilayahnya.

Faktor dan Solusi

Tiga faktor menyebabkan ter­jadinya tambang ilegal. Per­ta­ma, persoalan regulasi di bi­dang pertambangan. Kedua, per­soalan pengawasan terha­dap keberadaan tambang ile­gal. Ketiga, persoalan le­mah­nya pe­negakan hu­kum terha­dap tambang ile­gal. Dari aspek re­gu­la­si, tampaknya per­tam­­­bangan me­mang sektor yang juga perlu men­dapat per­ha­ti­an peme­rin­tah terkait pe­nye­der­ha­na­an per­izinan. Sudah tepat ren­ca­na pemerintah mem­bentuk om­nibus law pada beberapa sek­­tor strategis, sa­lah satunya terkait sumber daya alam.

Pada konteks ini penger­ti­an ilegal dapat dimaknai se­ba­gai tambang yang tidak me­mi­liki perizinan secara resmi se­ba­gaimana diatur oleh peme­rin­tah melalui peraturan per­un­dang-undangan. Per­soal­an­nya sekarang investor yang hendak melakukan investasi di bidang tambang memer­lu­kan waktu lama dan investasi biaya yang besar (di samping po­tensi adanya pungutan liar) dalam mengurus perizinan. Bia­ya yang besar tersebut ti­dak disertai dengan adanya ke­pastian pada investor.

Misalnya, pengurusan izin eksplorasi berbeda dengan izin eksploitasi. Demikian hal­nya dengan izin pemurnian mau­pun pembangunan smel­ter. Semuanya merupakan hak subjektif pemerintah untuk memberikan izin. Pada per­soal­an ini pe­merintah ha­rus membenahi regulasi per­izinan pembukaan tam­bang secara legal, sebab de­ngan regulasi dan perizinan yang mudah dan murah, maka dibandingkan me­lakukan tam­bang ilegal de­ngan segala ri­sikonya, akti­vi­tas tambang secara legal akan menjadi pi­lih­an utama.

Sebaliknya, jika pengurus­an perizinan masih mahal dan sulit untuk dijangkau, ber­aki­bat pada pengurusan tambang legal yang transaksional. Pe­la­ku tambang ilegal juga akan le­bih memilih transaksi mes­ki­pun menghadapi risiko pe­lang­garan hukum. Hal ini akan berujung pada tindakan ko­rup­tif sehingga menye­der­ha­na­kan perizinan tambang le­gal menjadi sebuah keharusan guna menuntaskan persoalan tambang ilegal.

Persoalan kedua, terkait le­mahnya pengawasan ter­ha­dap tambang ilegal ini. Ini meru­pa­kan sebuah ironi ketika ada tam­bang ilegal yang diketahui pe­merintah dan dinas terkait na­mun selama bertahun-ta­hun tidak ada tin­da­kan untuk menun­tas­kannya.

Sebagai con­­toh nyata, per­soal­an tam­bang ile­gal di Kabupaten Te­bo, Provinsi Jambi, yang sudah ma­suk ta­hap sangat meng­kha­wa­tirkan, tapi pe­me­rintah se­tempat tidak melakukan ti­n­dakan apapun.

Pengawasan yang optimal, selain bisa menyelesaikan tam­bang ilegal, juga guna men­ce­gah munculnya pelaku tam­bang ilegal baru. Demikian ju­ga pengawasan dimak­sud­kan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat akan ba­haya tambang ilegal bagi eko­sistem lingkungan dan ke­hi­dupan manusia itu sendiri. De­ngan begitu, pada akhirnya se­luruh masyarakat akan ber­par­tisipasi mencegah dan me­merangi munculnya tambang ilegal.

Persoalan ketiga, pene­gakan hukum yang lemah ter­ha­dap pelaku tambang ilegal. Indikatornya sangat jelas. Be­ra­pa persen dari jumlah

la­por­an polisi terkait adanya tam­bang ilegal yang ditin­dak­lan­juti minimal hingga tahap pe­nyi­dikan? Demikian juga ter­kait pro­ses di pengadilan.

Pe­nye­le­saian persoalan ini harus di­ba­rengi dengan upaya refor­masi birokrasi. Pada beberapa dae­rah justru aparat penegak hu­kum menjadi bagian dari tam­bang ilegal tersebut, baik se­cara langsung menjadi pe­mi­lik mau­pun sekadar hanya men­jadi beking dan menerima setoran dari aktivitas tambang ilegal.

Penegakan hukum mak­si­mal dan aparat yang memiliki integritas akan menghasilkan penegakan hukum optimal bagi pelaku tambang ilegal se­hingga akan menghasilkan efek jera. Pada bagian ini tim gerakan nasional penye­la­mat­an sumber daya alam (GNP­SDA) yang dimiliki Komisi Pem­­berantasan Korupsi (KPK) bisa diaktifkan guna men­dukung sektor ini.

Se­ba­liknya, tanpa penegakan hu­kum yang memadai, tambang ilegal akan semakin meluas dan pelaku tambang ilegal akan memilih menempuh ja­lan koruptif transaksional ber­sama oknum aparat penegak hukum.

Niat pemerintah untuk se­gera menuntaskan per­ma­sa­lahan tambang ilegal meru­pa­kan momentum baik dan ha­rus dikawal bersama-sama agar bisa diwujudkan, tidak sa­ja di lokasi calon ibu kota ne­gara, tetapi di seluruh lokasi tam­bang ilegal di Indonesia.

Demikian juga penting bagi pemerintah untuk mere­ha­bi­li­tasi dan merestorasi lingkung­an serta ekosistem sumber da­ya alam perkampungan ma­sya­rakat terdampak tambang ilegal maupun bekas tambang ilegal. Dalam hal ini guna meng­hindari okupasi secara liar, maka pemerintah perlu mengembalikan lingkungan dan ekosistem sumber daya alam pada fungsi aslinya de­ngan melakukan rehabilitasi dan restorasi.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5339 seconds (0.1#10.140)