Siaran Berbasis Internet Perlu Dikontrol, Kebebasan Ekspresi Itu Bukan Bebas Mutlak

Jum'at, 28 Agustus 2020 - 08:15 WIB
loading...
Siaran Berbasis Internet Perlu Dikontrol, Kebebasan Ekspresi Itu Bukan Bebas Mutlak
Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari menilai siaran melalui layanan over the top (OTT) atau layanan di atas internet perlu dikontrol. Tujuannya, agar ada aturan yang adil bagi para pelaku siaran.

"Pengontrolan terhadap media OTT over the top itu menurut saya perlu. Dalam pengertian begini, agar ada aturan yang fair terhadap pelaku-pelaku siaran," ujar Abdul Kharis Almasyhari kepada SINDOnews, Kamis (27/8/2020).

Selain itu, kata dia, pengendalian layanan berbasis internet itu untuk pemasukan negara. "Yang kedua, juga agar potensi pemasukan negara kita perhatikan, jangan sampai yang satu kena pajak, yang satu bayar, tapi yang satunya bebas. Perlu ada aturan yang mengatur itu semuanya," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

( ).

Dia mengatakan, Komisi I DPR sedang menyusun revisi Undang-Undang Penyiaran . "Nah Insya Allah ke depan Undang-undang Penyiaran itu akan menjadi payung hukum atau aturan yang bisa dipakai untuk mengatur hal yang sekarang ini terjadi diskriminasi," kata legislator asal Daerah Pemilihan Jawa Tengah V ini.

Dia pun mengkritik pendapat pengamat media sosial Enda Nasution yang menilai jika penyiaran yang dilakukan dengan koneksi internet diatur dalam undang-undang bisa menghambat kebebasan berekspresi. Dirinya tidak sepakat dengan pendapat tersebut.
"Kebebasan berekspresi itu kan bukan bebas mutlak, kebebasan yang kemudian juga itu memperhatikan kaidah-kaidah aturan yang ada," katanya.

Kharis pun kemudian memberikan contoh dampak negatif jika layanan over the top (OTT) atau layanan yang di atas internet itu tidak dikontrol. "Sekarang begini, misalnya nih yang ekstrem nih, kalau di TV tayangan pornografi enggak boleh, objeknya sama, masyarakat Indonesia, jangan sampai kemudian yang satu enggak boleh, yang satu dibebaskan. Karena dampak perusakannya itu yang akan jadi rusak kan, karena pengaruh-pengaruh negatifnya adalah rakyat Indonesia juga, ya kita enggak bisa membebaskan sebebas-bebasnya kalau kemudian taruhannya adalah mental generasi muda ke depan," tuturnya.

( ).

Sehingga, kata dia, teknologi tidak bisa sebebas-bebasnya. Dia pun mengingatkan bahwa teknologi itu buatan manusia.
"Kita harus kendalikan agar ada aturan yang sama. Ketika ada seseorang menyiarkan, misalnya nih saya meng-upload menyiarkan sesuatu di over the top, ya harus mengikuti kaidah-kaidah sebagaimana kalau ada broadcast lembaga penyiaran yang menyiarkan sesuatu tadi. Objeknya sama, masyarakat Indonesia, ya kita atur masyarakat Indonesia ini agar tidak menjadi objek hal-hal yang negatif," pungkasnya.

Seperti diketahui, menciptakan landasan hukum bagi tayangan video berbasis Internet, tanpa terkecuali baik lokal maupun asing, adalah tujuan dari stasiun televisi RCTI dan iNews dalam mengajukan permohonan uji materi (judicial review/JR) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi .

"Jika JR dikabulkan, diharapkan kualitas isi siaran video berbasis Internet dapat dihindarkan dari pornografi, kekerasan serta kebohongan, kebencian, termasuk fitnah (hoax) dan sejenisnya, yang tidak sesuai dengan kultur bangsa Indonesia yang sesungguhnya dan bahkan berbahaya bagi kesatuan NKRI. Ini tanpa terkecuali, untuk penyiaran berbasis Internet lokal maupun asing," kata Corporate Legal Director MNC Group Christoporus Taufik.

Bila judicial review tersebut dikabulkan, Chris berharap isi tayangan video berbasis internet dapat lebih berkualitas, tersaring dari konten kekerasan, pornografi, maupun SARA, sehingga setiap konten yang disiarkan dapat dipertanggungjawabkan.

Putusan dari JR tersebut, lanjutnya, akan ikut ambil bagian menjadikan NKRI kembali kepada muruahnya sesuai dengan tujuan berbangsa dan bernegara, yang tidak hanya merdeka, tetapi juga bersatu, adil, dan makmur sebagaimana jelas tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Dari sisi landasan hukum, Chris mengatakan UU Penyiaran No.32 Tahun 2002, Pasal 1 ayat 2, menyebutkan Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.

"Dengan tegas disebutkan bahwa penyiaran adalah yang menggunakan spektrum frekuensi radio, sedangkan tayangan video berbasis internet seperti OTT, media sosial, dan lainnya, juga menggunakan spektrum frekuensi radio," jelasnya.

Chris menjelaskan tayangan lewat mobile juga menggunakan spektrum frekuensi radio, di mana tayangan lewat Wi-Fi juga menggunakan spektrum frekuensi radio di 2,4GHz.

"UU No.32/2002 dapat dipergunakan sebagai pijakan untuk mengatur tayangan video berbasis internet. Tanpa ada spektrum frekuensi radio, semua tayangan video berbasis internet tidak dapat ditransmisikan, sehingga tidak dapat ditonton," tegasnya.

Dalam penjelasan UU Penyiaran No. 32/2002, maksud dan tujuannya mencakup pengaturan teknologi digital dan Internet sebagaimana dengan tegas ditulis di butir 4 yaitu: Mengantisipasi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, khususnya di bidang penyiaran, seperti teknologi digital, kompresi, komputerisasi, televisi kabel, satelit, Internet, dan bentuk-bentuk khusus lain dalam penyelenggaraan siaran.

Sebagai informasi, isi siaran yang dilarang adalah:
- Bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
- Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau
- Mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
- Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3277 seconds (0.1#10.140)