SPS Harap Perpres No 32 Wujudkan Kesetaraan Perusahaan Pers dengan Platform Digital
loading...
A
A
A
BANDUNG - Serikat Perusahaan Pers (SPS) menyelenggarakan dialog nasional tentang media. Dialog yang dihadiri SPS Provinsi se-Indonesia terdiri dari 569 anggota media arus utama ini diselenggarakan di Hotel Savoy Homann, Bandung, Jawa Barat, Kamis, 19 September 2024.
Mengangkat tema “Refleksi 25 Tahun UU Pers & Masa Depan Industri Pers Pasca Perpres Publisher Rights”, dialog ini menghadirkan lima pembicara yakni, Yusuf Widjanarko, Media Manager Planner Pikiran Rakyat Media Network (PRMN); Ilona Juwita, Sekjen Indonesia Digital Association (IDA);
Selain itu, Janoe Arijanto, Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI); Suhendro Boroma, CEO Jawa Pos Jaringan Media Nusantara/Jawa Pos Group; Sasmito, Anggota Komite Pelaksana Perpres No.32/2024; serta Muhammad Hasbi, Wakil Sekjen SPS sekaligus CEO Be Magazine bertindak sebagai moderator.
Dialog ini menjadi pembuka rangkaian acara peringatan HUT ke-78 SPS dan perayaan 25 tahun UU Pers yang diselenggarakan di Bandung, Jawa Barat selama dua hari. Dalam kegiatan tersebut, tema yang diusung adalah “Mewujudkan Pers Sehat, Pers Berkualitas”.
Tema tersebut diangkat untuk mengurai apa saja sebenarnya tantangan yang tengah dihadapi industri pers nasional dan bagaimana seharusnya pers bersikap atas tantangan tersebut. Tema tersebut juga sebagai refleksi seperempat abad kelahiran UU Pers yang kerap dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers.
Sudahkah pers Indonesia merdeka dalam arti yang sebenar-benarnya merdeka, yakni pers yang sehat secara bisnis, menghasilkan produk yang independen dan berkualitas bagi audiensnya.
Ketua Umum SPS Januar P. Ruswita saat membuka acara dialog nasional ini mengatakan, industri pers saat ini sedang terdisrupsi. Banyak perusahaan pers media konvensional yang tidak mampu menjawab perubahan zaman yang selaras dengan perkembangan teknologi.
”Ada juga media yang berhasil berdaptasi melakukan transformasi ke platform media digital. Hanya saja dalam perjalanannya, industri pers menjadi tergantung pada keberadaan platform digital yang mendominasi model bisnis dan model distribusi kontennya,” katanya dikutip Sabtu (21/9/2024).
Mengangkat tema “Refleksi 25 Tahun UU Pers & Masa Depan Industri Pers Pasca Perpres Publisher Rights” SPS berharap, keberadaan Perpres tersebut dengan 11 anggota komite pelaksananya bisa mewujudkan ekosistem pers yang sehat dan memastikan kesetaraan antara perusahaan pers dengan perusahaan platform digital.
“Menjadikan jurnalisme berkualitas dapat terjaga dan terlindungi. Begitu juga hak-hak jurnalis dan perusahaan persnya juga dapat dihargai," katanya.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, menjawab tantangan keberlanjutan media setelah lahirnya Perpres 32 Tahun 2024 dan terbentuknya Komite, dua tujuan penting dalam Perpres bisa diimplementasikan sebaik-baiknya.
Pertama, agar ada keadilan bagi perusahaan pers atas perusahaan platform pada pembagian pendapatan. Kedua, memastikan perusahaan platform memberikan dukungan penuh terhadap upaya melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas, memberikan pelatihan, seperti mendesain algoritmanya mematuhi peraturan yang ada.
Tantangan keberlanjutan media pada arus transformasi digital membuat media harus beradaptasi dengan inovasi menggunakan teknologi dengan tetap menempatkan manusia sebagai penentu efektivitas penggunaan media digital, menjaga karya jurnalistik berkualitas di tengah desakan pengelolaan bisnis yang tepat, agar perusahaan pers bisa bertahan.
“Saya mendukung penuh berbagai upaya diversifikasi revenue agar tidak bergantung pada platform digital saja atau pembiayaan daerah saja,” paparnya.
Anggota Komite Pelaksana Perpres No.32/2024 Sasmito, mengatakan, selama 25 tahun UU Pers, media massa lebih fokus pada kualitas jurnalismenya bukan pada industrinya dan sistem keberlanjutannya. Ketika pandemi Covid-19, berbarengan disrupsi digital, jumlah pembaca meningkat, tetapi di sisi lain pendapatan menurun.
Dibuatlah gugus tugas untuk keberlanjutan media yang memunculkan insiatif Publisher Rights, yang akhirnya terbitlah Perpres No.32/2024 dan dibentuk Komite yang terdiri dari 11 orang mulai bekerja merumuskan peraturan teknis yang akan menjadi pedoman Komite.
”Ada beberapa catatan dari platform digital Google dan Meta yang saat ini masih dievaluasi. Dengan adanya Komite ini, kami berharap hubungan platform digital dan perusahaan pers yang belum setara, bisa lebih adil dan berdiri sejajar melalui Publisher Rights," ujarnya.
Sekjen Indonesia Digital Association (IDA) Ilona Juwita menilai, belanja iklan digital di Indonesia tumbuh 5,77% yang didominasi mesin pencari, video ads, dan display ads. Penguasanya adalah Google dan Meta.
Dari sekitar 185 juta pengguna internet, rata-rata mereka menghabiskan 7,5 jam di internet setiap harinya, dan hanya 1,5 jam untuk membaca berita melalui media pers.
“Maka dari itu kita harus memunculkan peluang baru, seperti yang sudah dimulai oleh konglomerat media, yakni subscription. Tidak hanya konten, pengelolaan data pelanggan juga penting untuk memastikan pengalaman berkunjung yang tepat dan peluang baru dalam monetisasi iklan,” ucapnya
Ilona menambahkan, setidaknya ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk membuat pembaca menjadi pelanggan. Bisa pakai artikel rekomendasi, kirim email newsletter yang lebih personal, banner pengingat konten yang belum dibaca, dan setelah itu memberikan formulir berlangganan.
”Agar lebih fun, gamification juga perlu, ketika pembaca berkunjung, kita bisa gunakan spin the wheel atau gim lainnya. Ketika semua segmentasi audiens sudah terkumpul, maka kita bisa monetisasi iklan," ucapnya.
Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) Janoe Arijanto mengungkapkan, dalam dua bulan ini, pencarian di platform utama menurun. Bukan di Google Search, pengguna lebih memilih mencari di social search.
”Sekarang kita sedang mencari jalan keluar proporsional yang membuat transaksi itu lebih adil. Kita bisa mengembangkan satu website yang tidak bergantung ke raksasa digital (engagement besar, konten niche, iklan direct, tidak pakai programmatic buying, deal bisnis langsung ke korporasi), tapi tidak lama bertahan,” katanya.
Solusi yang menihilkan peran raksasa digital mungkin saja, tetapi tidak gampang. Ada beberapa solusi yang bisa dikembangkan, mulai dari Data Audiens, Multiplatform form, dan Customization. “Kalau kita bisa melakukannya, maka kita bisa pelan-pelan melepaskan ketergantngan pada platform raksasa tadi," katanya.
Media Manager Planner Pikiran Rakyat Media Network (PRMN) Yusuf Widjanarko mengatakan, membangun kesadaran pola konsumsi informasi di Indonesia adalah tantangan yang luar biasa besar. Mengikuti apa yang dicontohkan industri lain, ada pilihan model bisnis subscription dan crowdfunding bagi industri media.
“Kenapa ini dianggap akan menjadi tren baru di tengah infodemik, karena ikatan yang lebih kuat dengan audiens, konten lebih berkualitas, dan pendapatan lebih stabil,” ujarnya.
Mengangkat tema “Refleksi 25 Tahun UU Pers & Masa Depan Industri Pers Pasca Perpres Publisher Rights”, dialog ini menghadirkan lima pembicara yakni, Yusuf Widjanarko, Media Manager Planner Pikiran Rakyat Media Network (PRMN); Ilona Juwita, Sekjen Indonesia Digital Association (IDA);
Selain itu, Janoe Arijanto, Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI); Suhendro Boroma, CEO Jawa Pos Jaringan Media Nusantara/Jawa Pos Group; Sasmito, Anggota Komite Pelaksana Perpres No.32/2024; serta Muhammad Hasbi, Wakil Sekjen SPS sekaligus CEO Be Magazine bertindak sebagai moderator.
Dialog ini menjadi pembuka rangkaian acara peringatan HUT ke-78 SPS dan perayaan 25 tahun UU Pers yang diselenggarakan di Bandung, Jawa Barat selama dua hari. Dalam kegiatan tersebut, tema yang diusung adalah “Mewujudkan Pers Sehat, Pers Berkualitas”.
Tema tersebut diangkat untuk mengurai apa saja sebenarnya tantangan yang tengah dihadapi industri pers nasional dan bagaimana seharusnya pers bersikap atas tantangan tersebut. Tema tersebut juga sebagai refleksi seperempat abad kelahiran UU Pers yang kerap dikaitkan dengan Kemerdekaan Pers.
Sudahkah pers Indonesia merdeka dalam arti yang sebenar-benarnya merdeka, yakni pers yang sehat secara bisnis, menghasilkan produk yang independen dan berkualitas bagi audiensnya.
Ketua Umum SPS Januar P. Ruswita saat membuka acara dialog nasional ini mengatakan, industri pers saat ini sedang terdisrupsi. Banyak perusahaan pers media konvensional yang tidak mampu menjawab perubahan zaman yang selaras dengan perkembangan teknologi.
”Ada juga media yang berhasil berdaptasi melakukan transformasi ke platform media digital. Hanya saja dalam perjalanannya, industri pers menjadi tergantung pada keberadaan platform digital yang mendominasi model bisnis dan model distribusi kontennya,” katanya dikutip Sabtu (21/9/2024).
Mengangkat tema “Refleksi 25 Tahun UU Pers & Masa Depan Industri Pers Pasca Perpres Publisher Rights” SPS berharap, keberadaan Perpres tersebut dengan 11 anggota komite pelaksananya bisa mewujudkan ekosistem pers yang sehat dan memastikan kesetaraan antara perusahaan pers dengan perusahaan platform digital.
“Menjadikan jurnalisme berkualitas dapat terjaga dan terlindungi. Begitu juga hak-hak jurnalis dan perusahaan persnya juga dapat dihargai," katanya.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, menjawab tantangan keberlanjutan media setelah lahirnya Perpres 32 Tahun 2024 dan terbentuknya Komite, dua tujuan penting dalam Perpres bisa diimplementasikan sebaik-baiknya.
Pertama, agar ada keadilan bagi perusahaan pers atas perusahaan platform pada pembagian pendapatan. Kedua, memastikan perusahaan platform memberikan dukungan penuh terhadap upaya melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas, memberikan pelatihan, seperti mendesain algoritmanya mematuhi peraturan yang ada.
Tantangan keberlanjutan media pada arus transformasi digital membuat media harus beradaptasi dengan inovasi menggunakan teknologi dengan tetap menempatkan manusia sebagai penentu efektivitas penggunaan media digital, menjaga karya jurnalistik berkualitas di tengah desakan pengelolaan bisnis yang tepat, agar perusahaan pers bisa bertahan.
“Saya mendukung penuh berbagai upaya diversifikasi revenue agar tidak bergantung pada platform digital saja atau pembiayaan daerah saja,” paparnya.
Anggota Komite Pelaksana Perpres No.32/2024 Sasmito, mengatakan, selama 25 tahun UU Pers, media massa lebih fokus pada kualitas jurnalismenya bukan pada industrinya dan sistem keberlanjutannya. Ketika pandemi Covid-19, berbarengan disrupsi digital, jumlah pembaca meningkat, tetapi di sisi lain pendapatan menurun.
Dibuatlah gugus tugas untuk keberlanjutan media yang memunculkan insiatif Publisher Rights, yang akhirnya terbitlah Perpres No.32/2024 dan dibentuk Komite yang terdiri dari 11 orang mulai bekerja merumuskan peraturan teknis yang akan menjadi pedoman Komite.
”Ada beberapa catatan dari platform digital Google dan Meta yang saat ini masih dievaluasi. Dengan adanya Komite ini, kami berharap hubungan platform digital dan perusahaan pers yang belum setara, bisa lebih adil dan berdiri sejajar melalui Publisher Rights," ujarnya.
Sekjen Indonesia Digital Association (IDA) Ilona Juwita menilai, belanja iklan digital di Indonesia tumbuh 5,77% yang didominasi mesin pencari, video ads, dan display ads. Penguasanya adalah Google dan Meta.
Dari sekitar 185 juta pengguna internet, rata-rata mereka menghabiskan 7,5 jam di internet setiap harinya, dan hanya 1,5 jam untuk membaca berita melalui media pers.
“Maka dari itu kita harus memunculkan peluang baru, seperti yang sudah dimulai oleh konglomerat media, yakni subscription. Tidak hanya konten, pengelolaan data pelanggan juga penting untuk memastikan pengalaman berkunjung yang tepat dan peluang baru dalam monetisasi iklan,” ucapnya
Ilona menambahkan, setidaknya ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk membuat pembaca menjadi pelanggan. Bisa pakai artikel rekomendasi, kirim email newsletter yang lebih personal, banner pengingat konten yang belum dibaca, dan setelah itu memberikan formulir berlangganan.
”Agar lebih fun, gamification juga perlu, ketika pembaca berkunjung, kita bisa gunakan spin the wheel atau gim lainnya. Ketika semua segmentasi audiens sudah terkumpul, maka kita bisa monetisasi iklan," ucapnya.
Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) Janoe Arijanto mengungkapkan, dalam dua bulan ini, pencarian di platform utama menurun. Bukan di Google Search, pengguna lebih memilih mencari di social search.
”Sekarang kita sedang mencari jalan keluar proporsional yang membuat transaksi itu lebih adil. Kita bisa mengembangkan satu website yang tidak bergantung ke raksasa digital (engagement besar, konten niche, iklan direct, tidak pakai programmatic buying, deal bisnis langsung ke korporasi), tapi tidak lama bertahan,” katanya.
Solusi yang menihilkan peran raksasa digital mungkin saja, tetapi tidak gampang. Ada beberapa solusi yang bisa dikembangkan, mulai dari Data Audiens, Multiplatform form, dan Customization. “Kalau kita bisa melakukannya, maka kita bisa pelan-pelan melepaskan ketergantngan pada platform raksasa tadi," katanya.
Media Manager Planner Pikiran Rakyat Media Network (PRMN) Yusuf Widjanarko mengatakan, membangun kesadaran pola konsumsi informasi di Indonesia adalah tantangan yang luar biasa besar. Mengikuti apa yang dicontohkan industri lain, ada pilihan model bisnis subscription dan crowdfunding bagi industri media.
“Kenapa ini dianggap akan menjadi tren baru di tengah infodemik, karena ikatan yang lebih kuat dengan audiens, konten lebih berkualitas, dan pendapatan lebih stabil,” ujarnya.
(cip)