Matangkan RUU Ciptaker, DPR Jangan Sekadar Jadi Tukang Stempel

Kamis, 27 Agustus 2020 - 07:26 WIB
loading...
A A A
Hal yang terjadi kemudian adalah DPR hari inni sudah menjadi stempel bagi pemerintah. "Saya jadi ingat Orde Baru, ini hanya zamannya saja yang berubah. Sekarang ini tidak ada keinginan pemerintah yang tidak diiyakan oleh DPR. Ini kan lucu, kan bahaya. Justeru DPR menjadi alat legitimasi atau alat stempel bagi pemerintah, hari ini faktanya seperti itu," katanya.

Kondisi yang terjadi saat ini, menurut Ujang, menjadi persoalan yang mengulang lagi sejarah dengan dimensi dan zaman yang berbeda. "Harusnya DPR hadir sebagai representasi rakyat dan negara hadir untuk mensejahteraan rakyat, tapi ini tidak. Ini problem kebangsaan kita sekarang ini, dimana kekuatan legislatif dan eksekutif sama-sama membelakangi rakyat. Ini kejadian dengan revisi UU KPK, UU Minerba dan sebagainya. Ini yang menjadi keprihatian dan persoalan bangsa yang harus kita selesaikan," tuturnya. (Baca juga: BLT Rp600.000 Ditunggu Karyawan, Sri Mulyani: Pasti Ditransfer Minggu Ini)

Mengenai argumen yang disampaikan pemerintah dan DPR bahwa dalam membahas omnibus law RUU Ciptaker, mereka telah melibatkan berbagai kalangan, termasuk kalangan buruh, Ujang mengatakan bahwa selama ini kehadiran mereka hanya sebagai asesoris saja. "Sebenarnya mereka (Pemerintah-DPR) sudah mengondisikan mana-mana yang setuju. Biasanya mereka menerima yang setuju, bahkan sampai menerima influencer sedangkan pihak-pihak yang menolak, mereka hanya diajak sebagai syarat saja, yang penting sudah ketemu padahal keputusannya berbeda. Iini pola-pola lama yang berlaku lagi," katanya.

Diketahui, serikat buruh dan pekerja yang tergabung dalam tim perumus klaster ketenagakerjaan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menyampaikan sembilan poin keberatan.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, sembilan isu ini merupakan perlindungan minimal bagi buruh. Karena itu, KSPI mendesak pemerintah mengeluarkan klaster ketenagakerjaan dari RUU Cipta Kerja. Said menginginkan agar pemerintah bisa memastikan sembilan isu tak berubah dari yang sudah diatur di Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sembilan isu krusial yang menjadi keberatan serikat buruh dapat dikelompokkan menjadi tiga poin utama. Yakni kepastian kerja, kepastian pendapatan, dan kepastian jaminan sosial. (Baca juga: Santri Ditangkap, Warga Kepung Polisi di Pondok Pesantren)

Sementara dalam catatan KSPI berjudul 'Catatan Kritis Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Klaster Ketenagakerjaan)', ada 9 poin. Pertama, potensi hilangnya upah minimum, potensi hilangnya pesangon, karyawan kontrak tanpa batasan waktu, outsourcing bisa di semua jenis pekerjaan. Selanjutnya, TKA buruh kasar berpotensi bebas masuk ke Indonesia, hilangnya Jaminan Sosial, mudahnya PHK, dan hilangnya sanksi pidana bagi pengusaha. "Saat ini saja yang masih ada sanksi masih banyak pelanggaran terjadi. Bagaimana kalau tidak ada sanksi?" kata Said Iqbal di Jakarta, Jumat (21/8/2020).

Sementara itu, Anggota Panja RUU Cipta Kerja DPR, Lamhot Sinaga, menyebut sudah ada titik temu antara DPR dan serikat pekerja terkait poin-poin krusial dalam RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) ini mengatakan, dirinya sepakat bahwa harus ada investasi yang masuk ke Indonesia sebagai solusi mengatasi pengangguran. Perlindungan terhadap buruh dan pekerja dalam pembentukan RUU Cipta Kerja harus diutamakan.

Hal itu kata Lamhot, merupakan penekanan poin dari Panja. "Kita pro investasi, tapi tidak ingin merugikan teman-teman buruh," kata Lamhot, Selasa (25/8/2020).
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1199 seconds (0.1#10.140)