Matangkan RUU Ciptaker, DPR Jangan Sekadar Jadi Tukang Stempel
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah bersama dengan DPR terus mematangkan omnibus law Rancangan Undang Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Di sisi lain, suara penolakan juga terus digaungkan berbagai kalangan, yang menilai hanya menguntungkan kalangan pengusaha saja dan kurang memperhatikan kepentingan masyarakat luas.
Berbagai aksi unjuk rasa terus dilakukan sejumlah elemen masyarakat sipil. Buruh, mahasiswa, dan berbagai organisasi masyarakat dengan lantang menyuarakan penolakan mereka. RUU Ciptaker setidaknya memuat 11 kluster pembahasan. Di antaranya penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, hingga pengadaan lahan.
Dari berbagai kluster tersebut muncul berbagai pasal controversial seperti perubahan mekanisme upah dari kluster ketenagakerjaan, besarnya kewenangan pemerintah pusat dari kluster penyederhanaan perizinanan, hingga minimnya ruang negoisasi bagi masyarakat sipil dalam proses pengadaan lahan. Berbagai kejanggalan substansi RUU Ciptaker ini sebenarnya diketahui masing-masing fraksi DPR. Hanya saja ikatan koalisi membuat mereka terkesan kurang berani untuk bersikap berbeda dengan suara pemerintah. (Baca: RUU Cipta Kerja Harus Jadi Solusi Kepentingan Buruh dan Pengusaha)
Pengamat politik Universitas Al Azhar Jakarta Ujang Komarudin mengatakan, dari awal omnibus law RUU Ciptaker ini menjadi agenda besar pemerintah dan DPR yang diduga ditunggangui kepentingan pengusaha dan merugikan kaum buruh. "Dalam peta politik di parlemen, mau tidak mau, suka tidak suka, itu memang menguntungkan pemerintah karena seluruh kekuatan parpol yang ada, 85 persen itu bagian dari pemerintah," tuturnya.
Akibatnya, apapun yang akan dilakukan parpol oposisi atau elemen masyarakat yang menolak maka akan menjadi mentah kalau berkaitan dengan partai-partai pendukung pemerintah. "Cuma persoalannya katanya pemerintah dan DPR ingin aspiratif, menjaga demokrasi. Kalau sepakat dengan demokrasi maka yang namanya kadaulatan rakyat itu harus diutamakan. Jadi bukan agenda sendiri yang berjalan, jadi bukan agendanya pemerintah, bukan agenda DPR, bukan agenda pengusaha, tapi agenda rakyat," tuturnya.
Sebab, menurut Ujang, RUU ini nantinya jika disahkan menjadi undang-undang maka akan mengikat rakyat, mengikat buruh. "Yang paling merasakan dampaknya itu buruh maka jangan lagi memaksakan kehendak seperti yang lalu-lalu, seperti revisi UU KPK, revisi UU Minerba," katanya.
Ujang mengatakan, hal yang menjadi persoalan saat ini adalah bagaimana hari ini kekuatan itu dimiliki oleh pemerintah dan DPR, justru berselingkuh membelakangi rakyat. "Ini bukan fenomena demokrasi yang sehat, bukan fenomena demokrasi yang menjunjung nilai-nilai hak rakyat. Ketika rakyat ada masalah, ketika rakyat menderita, ketika rakyat menolak, ya jangan paksakan untuk disahkan," tuturnya. (Baca: Rusia Optimis Rencana Pembelian Sukhoi Indonesia akan Berlanjut)
Ditegaskan Ujang, bagaimanapun inti dari demokrasi dan inti dari bernegara adalah bagaimana mengikuti kehendak rakyat, bukan kehendak penguasa ataupun pengusaha. "Hal yang harus didahulukan adalah kepentingan rakyat, harus diutamakan daripada kepentingan lain. Ini harus menjadi perhatian elite di parlemen," urainya.
Disinggung mengenai dilema parpol yang sudah menjalin kesepakatan koalisi dengan pemerintah, Ujang mengatakan bahwa membangun sebuah koalisi bukan berarti harus melanggar hak-hak rakyat. "Koalisi tidak untuk menolak aspirasi publik, tidak untuk membelakangi keinginan rakyat. Mereka hadir justru untuk menggolkan aspirasi dan kehendak rakyat itu. Bagaimana nanti solusinya dengan pemerintah, ini kan bisa dikompromikan," katanya.
Ujang menegaskan bahwa persoalan yang terjadi saat ini adalah adanya sebuah agenda besar yang memang didesain bukan untuk kepentingan rakyat dan buruh, tapi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
Berbagai aksi unjuk rasa terus dilakukan sejumlah elemen masyarakat sipil. Buruh, mahasiswa, dan berbagai organisasi masyarakat dengan lantang menyuarakan penolakan mereka. RUU Ciptaker setidaknya memuat 11 kluster pembahasan. Di antaranya penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, hingga pengadaan lahan.
Dari berbagai kluster tersebut muncul berbagai pasal controversial seperti perubahan mekanisme upah dari kluster ketenagakerjaan, besarnya kewenangan pemerintah pusat dari kluster penyederhanaan perizinanan, hingga minimnya ruang negoisasi bagi masyarakat sipil dalam proses pengadaan lahan. Berbagai kejanggalan substansi RUU Ciptaker ini sebenarnya diketahui masing-masing fraksi DPR. Hanya saja ikatan koalisi membuat mereka terkesan kurang berani untuk bersikap berbeda dengan suara pemerintah. (Baca: RUU Cipta Kerja Harus Jadi Solusi Kepentingan Buruh dan Pengusaha)
Pengamat politik Universitas Al Azhar Jakarta Ujang Komarudin mengatakan, dari awal omnibus law RUU Ciptaker ini menjadi agenda besar pemerintah dan DPR yang diduga ditunggangui kepentingan pengusaha dan merugikan kaum buruh. "Dalam peta politik di parlemen, mau tidak mau, suka tidak suka, itu memang menguntungkan pemerintah karena seluruh kekuatan parpol yang ada, 85 persen itu bagian dari pemerintah," tuturnya.
Akibatnya, apapun yang akan dilakukan parpol oposisi atau elemen masyarakat yang menolak maka akan menjadi mentah kalau berkaitan dengan partai-partai pendukung pemerintah. "Cuma persoalannya katanya pemerintah dan DPR ingin aspiratif, menjaga demokrasi. Kalau sepakat dengan demokrasi maka yang namanya kadaulatan rakyat itu harus diutamakan. Jadi bukan agenda sendiri yang berjalan, jadi bukan agendanya pemerintah, bukan agenda DPR, bukan agenda pengusaha, tapi agenda rakyat," tuturnya.
Sebab, menurut Ujang, RUU ini nantinya jika disahkan menjadi undang-undang maka akan mengikat rakyat, mengikat buruh. "Yang paling merasakan dampaknya itu buruh maka jangan lagi memaksakan kehendak seperti yang lalu-lalu, seperti revisi UU KPK, revisi UU Minerba," katanya.
Ujang mengatakan, hal yang menjadi persoalan saat ini adalah bagaimana hari ini kekuatan itu dimiliki oleh pemerintah dan DPR, justru berselingkuh membelakangi rakyat. "Ini bukan fenomena demokrasi yang sehat, bukan fenomena demokrasi yang menjunjung nilai-nilai hak rakyat. Ketika rakyat ada masalah, ketika rakyat menderita, ketika rakyat menolak, ya jangan paksakan untuk disahkan," tuturnya. (Baca: Rusia Optimis Rencana Pembelian Sukhoi Indonesia akan Berlanjut)
Ditegaskan Ujang, bagaimanapun inti dari demokrasi dan inti dari bernegara adalah bagaimana mengikuti kehendak rakyat, bukan kehendak penguasa ataupun pengusaha. "Hal yang harus didahulukan adalah kepentingan rakyat, harus diutamakan daripada kepentingan lain. Ini harus menjadi perhatian elite di parlemen," urainya.
Disinggung mengenai dilema parpol yang sudah menjalin kesepakatan koalisi dengan pemerintah, Ujang mengatakan bahwa membangun sebuah koalisi bukan berarti harus melanggar hak-hak rakyat. "Koalisi tidak untuk menolak aspirasi publik, tidak untuk membelakangi keinginan rakyat. Mereka hadir justru untuk menggolkan aspirasi dan kehendak rakyat itu. Bagaimana nanti solusinya dengan pemerintah, ini kan bisa dikompromikan," katanya.
Ujang menegaskan bahwa persoalan yang terjadi saat ini adalah adanya sebuah agenda besar yang memang didesain bukan untuk kepentingan rakyat dan buruh, tapi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.