Mengembalikan Persahabatan Indonesia-Rusia
loading...
A
A
A
Rencana latihan bersama Orruda 2024 yang melibatkan TNI AL dan Angkatan Laut Rusia (Russian Navy) bisa menjadi simbolisasi pengembalian hubungan baik Indonesia-Rusia yang sudah terjalin lama. Program tersebut sudah digodok perwira Angkatan Laut Indonesia-Rusia dalam Final Planning Conference (FPC) yang digelar di Surabaya bulan Juni 2024. Latihan yang kali pertama digelar kedua negara bersahabat semenjak kemerdekaan Indonesia 79 tahun silam bisa menjadi milestone baru kerja sama ke depan.
Langkah lebih kongkret bisa dilakukan dengan mengaktivasi kontrak akuisisi alutista TNI yang terhenti, baik Sukhoi SU-35, BMP-3F, ataupun BT-3F. Belajar dari kasus India, negeri tersebut tidak takut dengan ancaman CAATSA dengan tetap memborong rudal strategis S-400 dari Rusia senilai Rp79 Triliun. Menhan India Nirmala Sittharaman sejak awal sudah menegaskan bahwa CAATSA bukan hukum PBB dan tidak bisa diterapkan di negara.
Dia juga menegaskan bahwa kebijakan yang diambil negaranya bukanlah tentang India harus memilih AS atau Rusia, tetapi tentang kerja sama yang telah dibangun India dan Rusia selama puluhan tahun. Sikap ini telah dia sampaikan kepada pejabat AS yang berkunjung ke India, dengan menegaskan bahwa hubungan India- Rusia tidak akan lekang oleh waktu.
Sikap tegas India bisa menjadi inspirasi Indonesia, dalam hal ini pemerintahan Prabowo nanti, dengan meneruskan program akuisisi alutsista tanpa terpengaruh tekanan eksternal. Jika masih mengkhawatirkan ancaman CAATSA, Indonesia bisa mengurangi target akuisisi dengan menunda pembelian Sukhoi SU-35, tetapi tetap memenuhi kebutuhan Korps Marinir TNI AL yang memang sudah terbiasa dengan alutsista Rusia, dalam hal ini mendapatkan BMP-3F dan BT-3F.
Opsi kompromi bisa diambil mengingat Indonesia sudah mengakuisi pesawat Dassault Rafale dari Prancis yang bisa menjadi subtitusi Sukhoi SU-35. Di sisi lain, keputusan memborong 24 pesawat F-15-EX dan 24 uni Sikorsky S-70M Black Hawk bisa dimanfaatkan sabagai alat tawar Indonesia untuk meneruskan rencana akuisisi alutsista Rusia yang tertunda.
baca juga: Putin Tawarkan Kerja Sama Proyek Nuklir di Indonesia, Layak Dipertimbangkan?
Namun yang paling berpengaruh terhadap sukses atau tidaknya Indonesia meneruskan rencana akuisisi alutista made in Rusia adalah sejauh mana Prabowo dan jajarannya nanti mampu mendayung di antara dua karang, Rusia dan AS, atau melakukan pendekatan diplomasi. Tak kalah pentingnya adalah bagaimana Prabowo berani memainkan bargaining position-nya sehingga AS tidak semaunya mendiktekan agendanya kepada kebijakan luar negeri atau pertahanan Indonesia dan mengganggu kerja sama Indonesia dengan negara sahabat.
Targetnya jangan berhenti pada kerja sama alutsista, tapi juga program-program kerja sama strategis Indonesia-Rusia seperti bantuan keamanan informasi di Ibu Kota Nusantara (IKN), pembelian minyak mentah murah dari Rusia, pembangunan pembangkit tenaga nuklir, dan lainnya. Muaranya adalah Indonesia kokoh sebagai negara non-blok yang bebas bergaul dengan negara manapun demi mewujudkan kepentingan nasional. (*)
Langkah lebih kongkret bisa dilakukan dengan mengaktivasi kontrak akuisisi alutista TNI yang terhenti, baik Sukhoi SU-35, BMP-3F, ataupun BT-3F. Belajar dari kasus India, negeri tersebut tidak takut dengan ancaman CAATSA dengan tetap memborong rudal strategis S-400 dari Rusia senilai Rp79 Triliun. Menhan India Nirmala Sittharaman sejak awal sudah menegaskan bahwa CAATSA bukan hukum PBB dan tidak bisa diterapkan di negara.
Dia juga menegaskan bahwa kebijakan yang diambil negaranya bukanlah tentang India harus memilih AS atau Rusia, tetapi tentang kerja sama yang telah dibangun India dan Rusia selama puluhan tahun. Sikap ini telah dia sampaikan kepada pejabat AS yang berkunjung ke India, dengan menegaskan bahwa hubungan India- Rusia tidak akan lekang oleh waktu.
Sikap tegas India bisa menjadi inspirasi Indonesia, dalam hal ini pemerintahan Prabowo nanti, dengan meneruskan program akuisisi alutsista tanpa terpengaruh tekanan eksternal. Jika masih mengkhawatirkan ancaman CAATSA, Indonesia bisa mengurangi target akuisisi dengan menunda pembelian Sukhoi SU-35, tetapi tetap memenuhi kebutuhan Korps Marinir TNI AL yang memang sudah terbiasa dengan alutsista Rusia, dalam hal ini mendapatkan BMP-3F dan BT-3F.
Opsi kompromi bisa diambil mengingat Indonesia sudah mengakuisi pesawat Dassault Rafale dari Prancis yang bisa menjadi subtitusi Sukhoi SU-35. Di sisi lain, keputusan memborong 24 pesawat F-15-EX dan 24 uni Sikorsky S-70M Black Hawk bisa dimanfaatkan sabagai alat tawar Indonesia untuk meneruskan rencana akuisisi alutsista Rusia yang tertunda.
baca juga: Putin Tawarkan Kerja Sama Proyek Nuklir di Indonesia, Layak Dipertimbangkan?
Namun yang paling berpengaruh terhadap sukses atau tidaknya Indonesia meneruskan rencana akuisisi alutista made in Rusia adalah sejauh mana Prabowo dan jajarannya nanti mampu mendayung di antara dua karang, Rusia dan AS, atau melakukan pendekatan diplomasi. Tak kalah pentingnya adalah bagaimana Prabowo berani memainkan bargaining position-nya sehingga AS tidak semaunya mendiktekan agendanya kepada kebijakan luar negeri atau pertahanan Indonesia dan mengganggu kerja sama Indonesia dengan negara sahabat.
Targetnya jangan berhenti pada kerja sama alutsista, tapi juga program-program kerja sama strategis Indonesia-Rusia seperti bantuan keamanan informasi di Ibu Kota Nusantara (IKN), pembelian minyak mentah murah dari Rusia, pembangunan pembangkit tenaga nuklir, dan lainnya. Muaranya adalah Indonesia kokoh sebagai negara non-blok yang bebas bergaul dengan negara manapun demi mewujudkan kepentingan nasional. (*)
(hdr)