Mengembalikan Persahabatan Indonesia-Rusia

Rabu, 04 September 2024 - 05:05 WIB
loading...
A A A
Wakil Duta Besar Rusia di Jakarta, Oleg V Kopylov dalam jumpa pers di kantornya (18/12/2019) mengungkapkan, Indonesia sebenarnya tetap berkeinginan melanjutkan kontrak pembelian Sukhoi SU-35, meski beberapa negara mencoba mengancam Indonesia. Pihak Kementerian Pertahanan Indonesia pun telah menegaskan Indonesia tidak bisa diintervensi negara manapun dalam mengambil keputusan, termasuk soal pembelian alutsista.

Namun realitasnya, transaksi tersebut masih berhenti hingga 2024 ini. Perang Rusia vs Ukraina yang pecah sejak 24 Februari 2022 semakin menenggelamkan agenda strategis tersebut. Setelah 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Rusia yang jatuh pada 2020 lalu, kerja sama yang semestinya kian berkembang justru macet karena faktor eksternal.

Mendayung Antara Dua Karang

Momen pertemuan Prabowo dengan Presiden Rusia kala kunjungan ke Kremlin pada 31 Juli 2024 lalu bisa menjadi batu pijakan untuk mengembalikan kemesraan hubungan Indonesia-Rusia. Berbagai dinamika internasional semestinya tidak boleh menjadi halangan kerja sama, termasuk dalam bidang pertahanan

Pengamat Kebijakan Hubungan Internasional dari Fisipol UGM, Dr Dafri Agus Salim, MA dalam keterangannya kepada wartawan (07/08/2024) melihat kunjungan Prabowo memberi sinyal kemungkinan pergeseran orientasi politik luar negeri Indonesia. Pergeseran dimaksud yakni dari kebijakan berorientasi agak ke barat berganti menoleh ke agak timur. Selain berkunjung ke Rusia, indikatornya bisa dilihat dari kunjungan Prabowo ke Turki dan China. Kondisi demikian tentu serta merta berpengaruh pada hubungan politik luar negeri Indonesia dengan AS.

Dalam pandangannya, kunjungan itu juga mengindikasikan bahwa Prabowo ingin Indonesia tampil di dunia internasional sebagai negara yang mampu menghimpun kekuatan Timur, dan menemukan ruang baru bagi kerja sama ekonomi perdagangan Indonesia, di luar negara-negara Barat. Tak kalah strategis, langkah itu meningkatkan posisi tawar terhadap negara-negara Barat yang selama ini dianggap menekan dan mengabaikan kepentingan Indonesia.

Dafri Agus Salim lalu menggariskan, pergeseran orientasi politik luar negeri yang terjadi pada setiap pergantian kepemimpinan nasional menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat menjalankan politik bebas aktif murni. Menurut dia, berbagai langkah yang dilakukan lebih cenderung bersifat pragmatis.

Apa yang disampaikan Dafri Agus Salim mengingatkan pada pidato Proklamator Bung Hatta dalam sidang Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) di Yogyakarta, 2 September 1948, yang kemudian dijadikan buku berjudul ‘’Mendajung Antara Dua Karang’’. Pesan pidatonya, Bung Hatta menggariskan dasar kebijakan politik luar negeri bebas aktif tetap relevan sampai sekarang (konteks saat itu tatanan dunia terpolarisasi ke dalam dua blok yang saling berebut pengaruh, blok barat dan blok timur). Menghadapi kondisi ini, Indonesia tidak boleh pasif dalam kancah politik di dunia.

baca juga: Pengaruh Putin, Tetangga Indonesia Ingin Merdeka dari Dolar AS

Apakah itu murni implementasi politik bebas aktif atau pragmatis, langkah yang dilakukan Prabowo berkunjung ke Rusia menemui Putin bisa mengubah pendulum kebijakan pertahanan Indonesia yang menjauhi Rusia karena faktor tekanan AS. Memahami pemikiran Bung Hatta yang mencerminkan kebijakan Indonesia saat itu, Prabowo bisa mempraktikkan politik ‘’mendayung antara dua karang’’, sehingga kebijakan yang diambil tidak menegasikan satu sama lain, dalam hal ini AS versus Rusia.
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1214 seconds (0.1#10.140)