Mengembalikan Persahabatan Indonesia-Rusia
loading...
A
A
A
Nasution dalam buku ‘’Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama’’ mengaku berhasil membawa alutsista senilai USD450 juta dengan mekanisme pembayaran dilakukan secara kredit berjangka 20 tahun, dengan bunga 2,5 persen. Alutsista yang berhasil diboyong ke Tanah Air meliputi 12 kapal selam, tank, kapal roket cepat, pesawat tempur, helikopter, peralatan amfibi, dan berbagai persenjataan berat.
Tepat pada 28 Desember 1960, Indonesia menandatangani kontrak pengadaan peralatan militer, dan pada awal tahun 1962 berbagai jenis alutsista mulai dikirim secara berkesinambungan ke Indonesia. Dalam kurun waktu singkat, Indonesia menjadi didgaya di belahan bumi bagian selatan, dan berhasil memaksa Belanda meninggalkan Irian Barat, dan secara total mengakhiri sejarah kolonialisme di Nusantara.
Kemesraan Indonesia-Uni Sovyet luruh begitu saja sejak meletusnya G-30 S PKI pada 1965. Peristiwa yang diikuti dengan pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru, serta merta menggeser kiblat Indonesia ke Barat. Perubahan ini lambat laun menenggelamkan sepak terjang hubungan Indonesia-Uni Sovyet.
Baru pada 1989 momentum normalisasi terjadi saat Presiden Soeharto pada 7-12 September berkunjung ke Uni Sovyet dan menandatangani ‘’Pernyataan mengenai Dasar-dasar Hubungan Persahabatan dan Kerja Sama antara Indonesia dengan Uni Republik-Republik Soviet Sosialis’’. Dokumen tersebut mempunyai arti penting yang menggariskan dasar-dasar hubungan persahabatan dan kerja sama guna mengembangkan lagi kerja sama di berbagai bidang.
Tren demokratisasi pada 1990 yang ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin sekaligus mengakhiri perang dingin (cold war) antara Blok Barat vs Blok Timur menjadikan Uni Sovyet sebagai salah satu pesakitan. Negara adidaya yang dibentuk 30 Desember 1922 dinyatakan bubar pada 25 Desember 1991. Selanjutnya, pada 28 Desember 1991 melalui surat Menlu Republik Indonesia Ali Alatas yang ditujukan kepada Menlu Andrei Vladimirovich Kozyrev, Indonesia resmi mengakui Federasi Rusia sebagai pengganti sah atau legal successor Uni Soviet.
Pada pemerintahan pasca-Soeharto, hubungan bilateral Indonesia-Rusia terus mengalami perkembangan, terutama setelah penandatanganan ‘’Deklarasi Kerangka Kerjasama Hubungan Persahabatan dan Kemitraan antara Republik Indonesia dan Federasi Rusia dalam Abad ke-21’’ (Declaration of the Republic of Indonesia and the Russian Federation on the Framework of Friendly and Partnership Relations in the 21st Century) yang dilakukan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Putin di Rusia (21/04/2003). Dokumen inilah yang membentuk landasan baru kerja sama strategis pada level bilateral, regional, hingga global antara Indonesia-Rusia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Rusia pada 1 Desember 2006 mengukuhkan kerja sama kedua negara. Begitupun kunjungan Putin ke Indonesia pada 6 September 2007, yang merupakan kali pertama pemimpin Federasi Rusia berkunjung ke Indonesia. Dalam kunjungan bersejarah tersebut, salah satu kesepakatan bilateral yang disepakati adalah state loan Rusia senilai USD1miliar untuk pengadaan alutsista made in Rusia.
Dari Sukhoi Terbentur CAATSA
Keputusan Indonesia memborong pesawat tempur dan sejumlah alutsista buatan Rusia pada medio 2017 seolah mengulang cerita masa lalu di era Orde Lama. Embargo militer yang dijatuhkan AS dan blok Barat, terutama Inggris, kepada Indonesia pasca-insiden Santa Crus pada 12 November 1991, menjadikan kekuatan militer Indonesia pada titik nadir terlemah karena minimnya modernisasi, dan di sisi lain alutsista yang dimiliki kian menua.
baca juga: Putin, Kampanye Multipolar, dan Indonesia
Tepat pada 28 Desember 1960, Indonesia menandatangani kontrak pengadaan peralatan militer, dan pada awal tahun 1962 berbagai jenis alutsista mulai dikirim secara berkesinambungan ke Indonesia. Dalam kurun waktu singkat, Indonesia menjadi didgaya di belahan bumi bagian selatan, dan berhasil memaksa Belanda meninggalkan Irian Barat, dan secara total mengakhiri sejarah kolonialisme di Nusantara.
Kemesraan Indonesia-Uni Sovyet luruh begitu saja sejak meletusnya G-30 S PKI pada 1965. Peristiwa yang diikuti dengan pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru, serta merta menggeser kiblat Indonesia ke Barat. Perubahan ini lambat laun menenggelamkan sepak terjang hubungan Indonesia-Uni Sovyet.
Baru pada 1989 momentum normalisasi terjadi saat Presiden Soeharto pada 7-12 September berkunjung ke Uni Sovyet dan menandatangani ‘’Pernyataan mengenai Dasar-dasar Hubungan Persahabatan dan Kerja Sama antara Indonesia dengan Uni Republik-Republik Soviet Sosialis’’. Dokumen tersebut mempunyai arti penting yang menggariskan dasar-dasar hubungan persahabatan dan kerja sama guna mengembangkan lagi kerja sama di berbagai bidang.
Tren demokratisasi pada 1990 yang ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin sekaligus mengakhiri perang dingin (cold war) antara Blok Barat vs Blok Timur menjadikan Uni Sovyet sebagai salah satu pesakitan. Negara adidaya yang dibentuk 30 Desember 1922 dinyatakan bubar pada 25 Desember 1991. Selanjutnya, pada 28 Desember 1991 melalui surat Menlu Republik Indonesia Ali Alatas yang ditujukan kepada Menlu Andrei Vladimirovich Kozyrev, Indonesia resmi mengakui Federasi Rusia sebagai pengganti sah atau legal successor Uni Soviet.
Pada pemerintahan pasca-Soeharto, hubungan bilateral Indonesia-Rusia terus mengalami perkembangan, terutama setelah penandatanganan ‘’Deklarasi Kerangka Kerjasama Hubungan Persahabatan dan Kemitraan antara Republik Indonesia dan Federasi Rusia dalam Abad ke-21’’ (Declaration of the Republic of Indonesia and the Russian Federation on the Framework of Friendly and Partnership Relations in the 21st Century) yang dilakukan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Putin di Rusia (21/04/2003). Dokumen inilah yang membentuk landasan baru kerja sama strategis pada level bilateral, regional, hingga global antara Indonesia-Rusia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Rusia pada 1 Desember 2006 mengukuhkan kerja sama kedua negara. Begitupun kunjungan Putin ke Indonesia pada 6 September 2007, yang merupakan kali pertama pemimpin Federasi Rusia berkunjung ke Indonesia. Dalam kunjungan bersejarah tersebut, salah satu kesepakatan bilateral yang disepakati adalah state loan Rusia senilai USD1miliar untuk pengadaan alutsista made in Rusia.
Dari Sukhoi Terbentur CAATSA
Keputusan Indonesia memborong pesawat tempur dan sejumlah alutsista buatan Rusia pada medio 2017 seolah mengulang cerita masa lalu di era Orde Lama. Embargo militer yang dijatuhkan AS dan blok Barat, terutama Inggris, kepada Indonesia pasca-insiden Santa Crus pada 12 November 1991, menjadikan kekuatan militer Indonesia pada titik nadir terlemah karena minimnya modernisasi, dan di sisi lain alutsista yang dimiliki kian menua.
baca juga: Putin, Kampanye Multipolar, dan Indonesia