RUU Ciptaker Dinilai Mampu Benahi Birokrasi dan Perbaikan di Tengah Pandemi

Rabu, 26 Agustus 2020 - 09:42 WIB
loading...
RUU Ciptaker Dinilai...
Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) dinilai sebagai upaya pemerintah menjawab perbaikan kondisi di tengah krisis pandemi virus Corona. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) dinilai sebagai upaya pemerintah menjawab perbaikan kondisi di tengah krisis pandemi virus Corona (Covid-19).

(Baca juga: Anis Kritisi RUU Cipta Kerja yang Mereduksi Kewenangan BPK)

Hal ini dikatakan Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Fitra Faisal. Menurutnya adanya RUU Ciptaker dapat menyelesaikan masalah dan tantangan dari sisi supply seperti lemahnya produktivitas dan rumitnya birokrasi.

(Baca juga: Sembilan Alasan Buruh Menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja)

"Kita lebih bermasalah di sisi supply yakni masalah produktivitas dan administrasi. Untuk membenahi itu memang butuh pendekatan yang jauh lebih institusional, tidak lagi menggunakan pendekatan yang sifatnya profesional. Maka dari sisi ini RUU Ciptaker itu memang harus ada," kata Fitra di Jakarta, Rabu (26/8/2020).

Fitra menjelaskan, salah satu yang dilakukan melalui pendekatan institusional yaitu memangkas birokrasi menjadi ringkas. Hal itu sangat diperlukan gua meningkatkan produktivitas dan tenaga kerja di Indonesia.

"Permasalahan kita dari sisi hulu. Bagaimana kemudian tenaga kerja kita, pertumbuhan produktivitasnya mandek," ujar dia.

Fitra menyebutkan, akibat rendah dan rumitnya birokrasi, Indonesia menjadi negara terendah kedua tingkat produktivitasnya di Asean. "Produktivitas kita nomor dua di Asean terendah, ini masalah yang harus di selesaikan secara institusional," tuturnya.

Dia menuturkan, adanya kebijakan RUU Cipta Kerja ini sudah tepat. Sehingga kata dia, upaya terbaik adalah memperbaiki isinya bukan menolak RUU tersebut seluruhnya.

"Berarti kalau sudah begitu kita harus melihat bahwa omnibuslaw ini lebih ke arah gimana memperbaikinya, bukan menolak seluruhnya. RUU Ciptaker memang tujuannya adalah untuk menciptakan lapangan kerja. memperluas lapangan kerja dengan mendatangkan investasi," ucapnya.

Dia mencontohkan, salah salah negara yang berhasil dengan mereformasi kebijakan ketenagakerjaannya seperti di Jerman melalui Harz Reform pada tahun 2000. Kata dia, Jerman berhasil menurunkan tingkat penganggurannya melalui aturan tersebut.

"Tapi ingat, kalau kita lihat dari Jerman, dia melakukan reformasi kenetanagakerjaan yang cukup signifikan, Jadi sejak awal tahun 2000-an, dia buat namanya Harz Reform," jelasnya.

Fitra menuturkan, melihat adanya RUU Ciptaker di Indonesia sama halnya dengan melihat Harz Reform di Jerman. "Belajar dari situ, kita juga butuh melihat omnibus itu atau ciptaker itu seperti itu juga," ungkapnya.

"Tentang reformasi ketenagakerjaan, kalau kita bicara soal reformasi ketenagakerjaan berarti sebenarnya itu juga lintas sektor, berarti kita bicara namanya pendidikan, profesional shcool, itu juga dibenerin, termasuk sistem unemployment juga diberdayakan," tambahnya.

Lebih jauh, Fitra mengatakan bahwa dampak dari kebijakan RUU Ciptaker ini memang butuh waktu. kata dia, sama halnya seperti Harz Reform, dampaknya akan terasa sekitar 4-5 tahun mendatang. "Yang jelas ini win win situation, untuk tidak hanya para pengusaha tapi juga para pekerja," lanjutnya.

Selain itu, RUU Ciptaker Kerja juga menjadi momentum dalam memanfaatkan bonus demografi di Indonesia yang akan berakhir hingga tahun 2030 mendatang.

"Kita kan dihadiahi adanya bonus demografi nih, dan akan habis secara teknis itu tahun 2030, dan sebelum habis maka harus di genjot momentumnya, kalau kita kalah momentumnya, jadi kita akan tua sebelum kaya," ucapnya.

Menurut Fitra banyaknya penolakan dari berbagai kalangan terkait adanya RUU Ciptaker ini lebih dikarenakan dibuatnya aturan ini tidak banyak melibatkan banyak orang.

Padahal, kata dia, aturan ini membahas banyak kebijakan di lintas sektor. Hal itu yang membedakan antara RUU ciptaker dan Harz Reform di Jerman.

"Jadi kita lihat sekarang kenapa ciptaker ini banyak penolakan itu lebih karena banyak yang tidak terlibat, seperti top down, dan para pekerja dan akademisi juga sangat sedikit yang dilibatkan, nah ini yang menyebabkan banyaknya penolakan2 terhadap RUU Cipta kerja dan omnibus law pada umumnya," katanya.

"Padahal kita sebenarnya membutuhkan itu, jadi saya lebih melihat tidak menolak dan tidak menerima, kita memperbaiki apanyang ada sekarang, karena gimanapun kita butuh omnibus kita butuh RUU Cipta kerja, untuk meningkatkan produktivitas kita, yang kalau produktivitas meningkat, artinya kita bisa meningkatkan produktivitas ekonomi, itu pada akhirnya kira bisa menangkap momentum untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah," ujarnya.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1263 seconds (0.1#10.140)