Sembilan Alasan Buruh Menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja
loading...
A
A
A
JAKARTA - Puluhan ribu buruh kembali berunjuk rasa menolak omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ( RUU Cipta Kerja ) di depan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian dan gedung DPR RI, Selasa (25/8/2020). Aksi tersebut juga serentak digelar di beberapa daerah lainnya yaitu Bandung, Serang, Semarang, Surabaya, Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Riau, Batam, Lampung, Banjarmasin, Samarinda, Gorontalo, Makassar, Manado, Kendari, Mataram, Maluku, Ambon, Papua, dan sebagainya.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menjelaskan ada sembilan alasan kaum buruh menolak draf omnibus law pemerintah. Mereka menyoalkan hilangnya upah minimum, berkurangnya nilai pesangon, waktu kerja eksploitatif, karyawan kontrak seumur hidup, outsourcing seumur hidup, PHK dipermudah, hak cuti dan upah atas cuti dihapus, TKA buruh kasar dipermudah masuk, sanksi pidana dihapus, serta potensi hilangnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun bagi pekerja kontrak dan outsourcing seumur hidup.
(Baca: Serbu Gedung DPR, 32 Kelompok Buruh Menolak RUU Cipta Kerja)
“Dalam omnibus law, upah akan semakin murah. Karena selain menghilangkan UMK dan UMSK, juga diberlakukan upah minimum industri pada karya. Selain itu, kenaikan upah hanya didasarkan pada pertumbuhan ekonomi. Padahal, dalam PP No 78/2005, kenaikan upah minimum didasarkan pada inflansi plus pertumbuhan ekonomi,” jelas Said Iqbal dalam keterangannya, Selasa (25/8/2020).
Selain itu, pekerja kontrak dan outsourcing diperbolehkan untuk seluruh jenis pekerjaan dan berlaku seumur hidup tanpa batas kontrak. Akibatnya, buruh tidak lagi diangkat menjadi karyawan tetap. Karena bukan karyawan tetap, dengan sendirinya hak pesangon pekerja kontrak dan outsourcing tidak akan pernah mendapatkan pesangon seumur hidupnya selayaknya karyawan tetap.
“Kalaupun ada program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari pemerintah, tapi berlaku untuk pekerja dengan masa kerja 1 tahun keatas. Jadi pengusaha buat saja kontrak kerja per 11 bulan saja diputus terus dikontrak lagi dan seterusnya, maka tidak perlu bayar JKP,” terang dia.
(Baca: RUU Cipta Kerja, Pemerintah Harus Jamin Perlindungan Hak Buruh)
Berikutnya, di dalam omnibus law, pesangon dihapus dan dikurangi nilainya. Padahal, dalam UU No 13/2003 disebutkan ada tiga komponen dalam pesangon, yaitu uang pesangon itu sendiri, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebesar 15 persen.
“Dalam omnibus law, uang penggantian hak dihapus dan bukan lagi kewajiban. Nilai dari uang penghargaan masa kerja dikurangi,” celetuknya.
RUU Cipta Kerja juga membuat waktu kerja eksploitatif karena hanya diatur waktu kerja maksimal 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. Menurut dia, pengusaha bisa saja buruh dipekerjakan 7 hari dalam seminggu tanpa libur, dengan cara 6 jam kerja sehari Senin sampai Sabtu dan Minggu 4 jam kerja sehari. Hal itu berpotensi mengarah pada perbudakan modern.
Persoalan lainnya adalah tenaga kerja asing (TKA) buruh kasar yang mudah masuk ke Indonesia. Mereka tidak lagi memerlukan surat izin tertulis dari menteri. Sementara, dalam UU No 13/2003, RPTKA mensyaratkan harus dilaporkan bahwa TKA wajib didampingi tenaga kerja lokal sebagai pendamping agar keluar surat izin tertulis menteri.
“Tapi dalam omnibus law, TKA bekerja dulu baru dilaporkan menyusul tenaga lokal pendamping tanpa harus ada surat izin menteri, jadi mudah sekali buruh kasar TKA bekerja di Indonesia,” tukasnya.
Lihat Juga: Ramai Unjuk Rasa di Istana Peringati Hari Tani Nasional, Jokowi Pilih Kunker ke Kalimantan
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menjelaskan ada sembilan alasan kaum buruh menolak draf omnibus law pemerintah. Mereka menyoalkan hilangnya upah minimum, berkurangnya nilai pesangon, waktu kerja eksploitatif, karyawan kontrak seumur hidup, outsourcing seumur hidup, PHK dipermudah, hak cuti dan upah atas cuti dihapus, TKA buruh kasar dipermudah masuk, sanksi pidana dihapus, serta potensi hilangnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun bagi pekerja kontrak dan outsourcing seumur hidup.
(Baca: Serbu Gedung DPR, 32 Kelompok Buruh Menolak RUU Cipta Kerja)
“Dalam omnibus law, upah akan semakin murah. Karena selain menghilangkan UMK dan UMSK, juga diberlakukan upah minimum industri pada karya. Selain itu, kenaikan upah hanya didasarkan pada pertumbuhan ekonomi. Padahal, dalam PP No 78/2005, kenaikan upah minimum didasarkan pada inflansi plus pertumbuhan ekonomi,” jelas Said Iqbal dalam keterangannya, Selasa (25/8/2020).
Selain itu, pekerja kontrak dan outsourcing diperbolehkan untuk seluruh jenis pekerjaan dan berlaku seumur hidup tanpa batas kontrak. Akibatnya, buruh tidak lagi diangkat menjadi karyawan tetap. Karena bukan karyawan tetap, dengan sendirinya hak pesangon pekerja kontrak dan outsourcing tidak akan pernah mendapatkan pesangon seumur hidupnya selayaknya karyawan tetap.
“Kalaupun ada program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari pemerintah, tapi berlaku untuk pekerja dengan masa kerja 1 tahun keatas. Jadi pengusaha buat saja kontrak kerja per 11 bulan saja diputus terus dikontrak lagi dan seterusnya, maka tidak perlu bayar JKP,” terang dia.
(Baca: RUU Cipta Kerja, Pemerintah Harus Jamin Perlindungan Hak Buruh)
Berikutnya, di dalam omnibus law, pesangon dihapus dan dikurangi nilainya. Padahal, dalam UU No 13/2003 disebutkan ada tiga komponen dalam pesangon, yaitu uang pesangon itu sendiri, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebesar 15 persen.
“Dalam omnibus law, uang penggantian hak dihapus dan bukan lagi kewajiban. Nilai dari uang penghargaan masa kerja dikurangi,” celetuknya.
RUU Cipta Kerja juga membuat waktu kerja eksploitatif karena hanya diatur waktu kerja maksimal 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. Menurut dia, pengusaha bisa saja buruh dipekerjakan 7 hari dalam seminggu tanpa libur, dengan cara 6 jam kerja sehari Senin sampai Sabtu dan Minggu 4 jam kerja sehari. Hal itu berpotensi mengarah pada perbudakan modern.
Persoalan lainnya adalah tenaga kerja asing (TKA) buruh kasar yang mudah masuk ke Indonesia. Mereka tidak lagi memerlukan surat izin tertulis dari menteri. Sementara, dalam UU No 13/2003, RPTKA mensyaratkan harus dilaporkan bahwa TKA wajib didampingi tenaga kerja lokal sebagai pendamping agar keluar surat izin tertulis menteri.
“Tapi dalam omnibus law, TKA bekerja dulu baru dilaporkan menyusul tenaga lokal pendamping tanpa harus ada surat izin menteri, jadi mudah sekali buruh kasar TKA bekerja di Indonesia,” tukasnya.
Lihat Juga: Ramai Unjuk Rasa di Istana Peringati Hari Tani Nasional, Jokowi Pilih Kunker ke Kalimantan
(muh)