Komunikasi Jaminan Sosial
loading...
A
A
A
Upaya penyempurnaan itu tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri oleh penyelenggara karena risiko ego-sektoral. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) harus berperan. Sesuai UU, DJSN bertugas merumuskan kebijakan umum, sinkronisasi penyelenggaraan, hingga pengawasan dan evaluasi. DJSN juga berfungsi mengkaji dan meneliti penyelenggaraan jaminan sosial, mengusulkan kebijakan investasi, serta mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan anggaran operasional kepada Pemerintah.
DJSN harus memastikan seluruh penyelenggara SJSN bekerja jujur, sinergis, sinkron, dan terorkestrasi, termasuk Taspen dan Asabri. Namun Ansyori (2018) menyatakan, DJSN belum efektif karena status kelembagaannya kurang kuat. Aktariyani dan Puspandari (2018) menambahkan, fungsi dan tugas DJSN belum menunjukkan distribusi kekuasaan yang jelas. Padahal, UU BPJS menyatakan, DJSN adalah pengawas BPJS bersama OJK dan BPK.
Maka dibutuhkan komitmen pemimpin nasional untuk memperjelas dan memperkuat posisi dan kewenangan DJSN-yang tertuang dalam sebuah perubahan regulasi. Marmen (2024) menegaskan, posisi DJSN bisa menjadi pengawas eksternal independen atau lembaga pengaturan dan pengawasan (regulatory and supervisory body). Ini bukan untuk kepentingan DJSN melainkan demi tujuan SJSN.
DJSN sendiri harus menjalankan sebuah strategi komunikasi untuk memastikan pencapaian tujuan SJSN serta dampak kesejahteraan rakyat yang bisa dihasilkannya. Middleton (1980) menyatakan strategi komunikasi adalah kombinasi terbaik dari semua elemen komunikasi mulai dari komunikator, pesan, saluran (media), penerima, sampai pada pengaruh (efek) untuk mencapai tujuan yang optimal.
Dalam strategi komunikasi diperlukan aktivitas government relation yang menjalankan fungsi advokasi. Topatimasang (2000) menyatakan, advokasi adalah upaya untuk memperbaiki, membela, serta mengubah (policy reform) kebijakan, agar sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Jadi, ini merupakan kegiatan komunikasi politik yang mengawal perubahan regulasi SJSN serta menyempurnakan prinsip dan teknis SJSN.
Lijhart (1999) menyebutkan, dalam masyarakat majemuk tanpa kekuatan politik dominan, kebijakan cenderung diambil dengan konsensus. Jadi, DJSN harus menyusun strategi komunikasi yang mengarah pada konsensus memperkuat wewenang dan kedudukan DJSN agar dapat efektif mengawal SJSN yang berkualitas.
Dukungan publik juga diperlukan. DJSN harus memiliki agenda komunikasi publik dan membangun kemitraan dengan masyarakat sipil, jurnalis, influencer, dan anak-anak muda. Ruslan (2008) menjelaskan kampanye publik relations bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan khalayak untuk menumbuhkan persepsi atau opini positif terhadap aktivitas lembaga agar tercipta kepercayaan, dukungan, dan citra baik dari masyarakat.
baca juga: BPJS Kesehatan Optimis Indonesia Mencapai Cakupan Kesehatan Semesta pada 2024
Menurut Heryanto (2021), aktivitas komunikasi publik yang paling baik dijalankan di Indonesia adalah dengan berbasiskan komunitas. Dijelaskan pula, dalam masyarakat berupa paguyuban, komunikasi berbasis komunitas lebih efektif ketimbang melalui sosial media. Itu lantaran karakteristik informasi sosial media yang many to many sementara komunitas bisa one on one. Brilhart dan Galanes (1998) menyatakan, komunikasi komunitas adalah proses menggunakan pesan-pesan untuk menghasilkan makna sama dalam kelompok-kelompok kecil.
Namun, bukan berarti media sosial tidak penting, justru DJSN juga harus mampu mengoptimalkan fungsi media, media sosial, dan teknologi. Heryanto (2019) menyatakan, guliran opini publik memang kerap membutuhkan aspek ubikuitas atau menghadirkan isu di mana-mana. Jadi, segala kanal harus ditempuh demi penguatan kapasitas lembaga dan tercapainya amanat konstitusi dalam menyelenggarakan SJSN yang berkualitas, bersih, efektif, efisien, dan berkelanjutan. SJSN yang menjamin kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap warga negara.
DJSN harus memastikan seluruh penyelenggara SJSN bekerja jujur, sinergis, sinkron, dan terorkestrasi, termasuk Taspen dan Asabri. Namun Ansyori (2018) menyatakan, DJSN belum efektif karena status kelembagaannya kurang kuat. Aktariyani dan Puspandari (2018) menambahkan, fungsi dan tugas DJSN belum menunjukkan distribusi kekuasaan yang jelas. Padahal, UU BPJS menyatakan, DJSN adalah pengawas BPJS bersama OJK dan BPK.
Maka dibutuhkan komitmen pemimpin nasional untuk memperjelas dan memperkuat posisi dan kewenangan DJSN-yang tertuang dalam sebuah perubahan regulasi. Marmen (2024) menegaskan, posisi DJSN bisa menjadi pengawas eksternal independen atau lembaga pengaturan dan pengawasan (regulatory and supervisory body). Ini bukan untuk kepentingan DJSN melainkan demi tujuan SJSN.
DJSN sendiri harus menjalankan sebuah strategi komunikasi untuk memastikan pencapaian tujuan SJSN serta dampak kesejahteraan rakyat yang bisa dihasilkannya. Middleton (1980) menyatakan strategi komunikasi adalah kombinasi terbaik dari semua elemen komunikasi mulai dari komunikator, pesan, saluran (media), penerima, sampai pada pengaruh (efek) untuk mencapai tujuan yang optimal.
Dalam strategi komunikasi diperlukan aktivitas government relation yang menjalankan fungsi advokasi. Topatimasang (2000) menyatakan, advokasi adalah upaya untuk memperbaiki, membela, serta mengubah (policy reform) kebijakan, agar sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Jadi, ini merupakan kegiatan komunikasi politik yang mengawal perubahan regulasi SJSN serta menyempurnakan prinsip dan teknis SJSN.
Lijhart (1999) menyebutkan, dalam masyarakat majemuk tanpa kekuatan politik dominan, kebijakan cenderung diambil dengan konsensus. Jadi, DJSN harus menyusun strategi komunikasi yang mengarah pada konsensus memperkuat wewenang dan kedudukan DJSN agar dapat efektif mengawal SJSN yang berkualitas.
Dukungan publik juga diperlukan. DJSN harus memiliki agenda komunikasi publik dan membangun kemitraan dengan masyarakat sipil, jurnalis, influencer, dan anak-anak muda. Ruslan (2008) menjelaskan kampanye publik relations bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan khalayak untuk menumbuhkan persepsi atau opini positif terhadap aktivitas lembaga agar tercipta kepercayaan, dukungan, dan citra baik dari masyarakat.
baca juga: BPJS Kesehatan Optimis Indonesia Mencapai Cakupan Kesehatan Semesta pada 2024
Menurut Heryanto (2021), aktivitas komunikasi publik yang paling baik dijalankan di Indonesia adalah dengan berbasiskan komunitas. Dijelaskan pula, dalam masyarakat berupa paguyuban, komunikasi berbasis komunitas lebih efektif ketimbang melalui sosial media. Itu lantaran karakteristik informasi sosial media yang many to many sementara komunitas bisa one on one. Brilhart dan Galanes (1998) menyatakan, komunikasi komunitas adalah proses menggunakan pesan-pesan untuk menghasilkan makna sama dalam kelompok-kelompok kecil.
Namun, bukan berarti media sosial tidak penting, justru DJSN juga harus mampu mengoptimalkan fungsi media, media sosial, dan teknologi. Heryanto (2019) menyatakan, guliran opini publik memang kerap membutuhkan aspek ubikuitas atau menghadirkan isu di mana-mana. Jadi, segala kanal harus ditempuh demi penguatan kapasitas lembaga dan tercapainya amanat konstitusi dalam menyelenggarakan SJSN yang berkualitas, bersih, efektif, efisien, dan berkelanjutan. SJSN yang menjamin kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap warga negara.