Rektor Impor untuk PTN

Senin, 05 Agustus 2019 - 08:02 WIB
Rektor Impor untuk PTN
Rektor Impor untuk PTN
A A A
Jony Oktavian Haryanto
Rektor President University

Wacana Menristekdikti untuk mengangkat rektor asing bagi perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi polemik berkepanjangan. Menristekdikti M Natsir bahkan mengklaim telah mendapat lampu hijau dari Presiden Jokowi. Tujuan dari perekrutan rektor asing ini adalah meningkatkan ranking dunia PTN versi QS yang saat ini masih di kisaran 300 besar untuk PTN top di Indonesia. Natsir menargetkan dengan merekrut rektor asing akan mampu mendongkrak ranking tersebut menjadi 150, bahkan 100 besar.

Saya tergabung dalam dua grup WhatsApp yang berisi rektor-rektor PTN dan perguruan tinggi swasta (PTS) besar di seluruh Indonesia dan komentar yang muncul sebagian besar, jika tidak dikatakan hampir semuanya, adalah negatif dan tidak setuju dengan kebijakan menristekdikti tersebut. Sejumlah alasan dikemukakan seperti inferioritas terhadap bangsa sendiri, tidak nasionalis, mencari cara pintas secara mudah, dan sebagainya.

Namun, yang menarik adalah semua komentar tersebut justru berasal dari pimpinan PTS dan tidak ada satu pun yang berasal dari pimpinan PTN. Entah pimpinan PTN tersebut malas menanggapi atau mungkin takut komentarnya salah atau dugaan-dugaan lainnya. Tulisan ini tidak bermaksud menganalisis kenapa pimpinan PTN diam saja dan justru pimpinan PTS yang berteriak-teriak. Namun, lebih kepada usulan atau saran tentang perekrutan rektor asing tersebut.

Sebuah kebijakan, apa pun itu, tentu ada plus-minusnya. Keberanian dan terobosan menristekdikti untuk mendatangkan rektor asing menurut saya patut diacungi jempol. Sudah berpuluh-puluh tahun PTN dikelola rektor dari dalam negeri, namun kenyataannya memang belum pernah menembus 150 besar universitas unggul dunia, baik versi QS ataupun versi Times Higher Education. Pertanyaan sumir akan muncul, yaitu apa gunanya ranking tersebut?

Bukankah tujuan pendidikan adalah mengentaskan kemiskinan dan mendidik manusia menjadi lebih berakal dan beradab? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menurut saya merupakan bentuk manifestasi pemikiran "katak dalam tempurung". Kita hidup dalam dunia yang tanpa batas dan globalisasi tidak dapat dihindari lagi. Dalam kasus demikian, maka ranking tentu merupakan salah satu indikator penting tentang maju atau tidaknya kualitas pendidikan kita. Dalam penilaian ranking tersebut, tentu menggunakan sederet indikator seperti jumlah publikasi, penelitian, kepuasan mahasiswa dan pengguna, dan sebagainya.

Meskipun ide rektor asing ini perlu diacungi jempol, namun perlu kehati-hatian supaya tidak sia-sia. Pertama, saya mengusulkan rektor asing tersebut magang dulu satu tahun sebelum menjadi rektor supaya sedikit-banyak tahu budaya dan kondisi pendidikan tinggi di republik ini. Jika tiba-tiba langsung jadi rektor, maka saya khawatir akan terjadi shock budaya sehingga tujuan mulia yang diinginkan tidak dapat tercapai.

Sebagai contoh, di Indonesia memberhentikan seorang dosen, apalagi PNS, misalnya karena tidak pernah riset dan publikasi tidaklah segampang di luar negeri. Belum lagi kewajiban dosen yang harus mengisi Beban Kinerja Dosen, mengisi catatan harian, dan mengumpulkan bon-bon pengeluaran jika mendapatkan hibah penelitian dari pemerintah. Pekerjaan administrasi ini dapat berubah menjadi kengerian ketika pengeluaran yang dikeluarkan berpotensi merugikan negara maka rektor asing tersebut akan berhadapan dengan institusi hukum yang ada.

Tulisan ini tidak bermaksud menakut-nakuti calon rektor asing. Saya pribadi sangat setuju dengan terobosan ini. Ada kemungkinan rektor asing akan gagal mendorong PTN masuk dalam 150 besar ranking dunia. Namun, tidak menutup kemungkinan pula rektor asing akan berhasil melakukannya. Jika kita tidak pernah mencoba, maka kita tidak akan pernah tahu hasilnya.

Kedua, birokrasi menurut saya merupakan hambatan terbesar bagi PTN maupun PTS yang ada untuk maju. Seorang kawan senior di Ristekdikti pernah bergurau bahwa seandainya semuanya tidur saja, maka pasti pendidikan Indonesia akan jauh lebih maju. Menurut saya, olok-olok ini berlebihan, namun menjadi signal bahwa memang ada masalah birokrasi yang cukup rumit.

Birokrasi ini untuk PTS dimulai dari pengurusan profesor yang berjenjang dari internal universitas, kemudian ke Lembaga Layanan Dikti wilayah masing-masing, baru kemudian ke Ristekdikti. Bandingkan dengan gelar profesor di luar negeri yang hanya diberikan oleh universitas masing-masing. Kemudian dosen juga diharuskan mengisi Beban Kerja Dosen setiap semester. Pimpinan perguruan tinggi juga harus menyiapkan dokumen borang akreditasi yang terdiri atas sembilan standar yang seringkali dipelesetkan menjadi bohong dan ngarang. Birokrasi ini terus berlanjut untuk pendirian program studi baru yang prosesnya kurang lebih sama dengan pengurusan profesor, dan masih sederet birokrasi lainnya yang seandainya semua harus ditulis maka tidak akan cukup ditulis dalam 10 lembar kertas.

Harus diakui di bawah kepemimpinan menristekdikti saat ini telah banyak terobosan dan percepatan. Namun, jika dibandingkan dengan negara maju, masih jauh panggang daripada api.

Harapan saya, rektor PTN tersebut setelah magang satu tahun dan memahami rumit dan sulitnya birokrasi di Indonesia akan memberikan keluhan ke Pak Menteri dan jajarannya dan kemungkinan besar keluhan rektor asing tersebut akan lebih didengar dibandingkan keluhan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta ataupun Asosiasi Badan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Swasta yang saya tahu telah sering menyampaikan gagasan dan pendapatnya, namun respons dari kementerian belum secepat yang diharapkan.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7404 seconds (0.1#10.140)