Dari Sistem Zonasi ke Pendidikan Nilai

Sabtu, 06 Juli 2019 - 07:38 WIB
Dari Sistem Zonasi ke Pendidikan Nilai
Dari Sistem Zonasi ke Pendidikan Nilai
A A A
Pendulum pen­di­dik­an kita sudah se­jak lama di­do­mi­nasi oleh para­dig­ma “kompetisi”, persaingan an­tarpihak ataupun individu. Sis­tem ranking, peraporan berba­sis angka (kuantitatif), model ke­juaraan, dan sejenisnya, be­gitu mendominasi di dunia pen­didikan kita. Begitu kuatnya se­mangat kompetisi tersebut mengakibatkan seluruh energi di lingkungan pendidikan kita dihabiskan untuk hal-hal yang tidak substansial bagi anak didik.

Dalam konteks ini pen­didikan tak ubahnya “arena gla­diator” untuk mengalahkan pi­hak lain. Apa pun dilakukan, yang penting (siswa) juara. Para orang tua juga melakukan apa pun tanpa mempertimbangkan kapasitas anak mereka, seperti les yang berlebihan. Sekolah nyaris menghabiskan sebagian besar waktu belajar untuk latihan mengerjakan soal-soal ujian di setiap kelas akhir hanya dengan tujuan agar siswanya mendapat nilai tinggi/tertinggi di ujian akhir.

Kuatnya penolakan terha­dap sistem zonasi dalam Pe­ne­ri­maan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019/2020 di sekolah-se­kolah negeri, seperti yang terjadi baru-baru ini, me­nun­jukkan betapa masih kuatnya dominasi paradigma kompetisi dan favoritisme sekolah ini. Bah­kan, sampai terjadi kecu­ra­ngan dari pihak orang tua calon peserta didik yang me­ma­ni­pulasi domisili agar anaknya bisa masuk sekolah favorit (KORAN SINDO, 2/7/2019, hlm 3).

Mengapa bisa terjadi? Ka­rena, dalam sistem zonasi pe­nerimaan siswa baru tidak lagi didasarkan nilai yang diperoleh siswa, tetapi jarak kedekatan an­tara tempat tinggal siswa dan lokasi sekolah. Kebanyakan para orang tua siswa atau para siswa sendiri tetap berang­gap­an bahwa seharusnya angka nilai yang diperoleh siswa yang lebih menentukan dalam PPDB daripada jarak tempat tinggal dengan sekolah. Akibatnya, be­gitu sistem zonasi diber­la­ku­kan, protes masyarakat pun ber­hamburan.

Memutus Mata Rantai

Memang, harus diakui, pe­lak­sanaan siswa berdasarkan zonasi dalam PPDB merupakan perubahan kebijakan yang cu­kup radikal. Sistem zonasi se­bagai kebijakan yang radikal juga diakui oleh Menteri Pen­di­dikan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Dalam suatu ke­sem­patan berbicara kepada pers, Muhadjir Effendy mengatakan bahwa sistem zonasi me­ru­pa­kan sistem terbaik untuk mem­perbaiki sistem pen­didikan secara radikal.

Sistem zonasi juga bukan sesuatu yang diam­bil secara serta-merta, me­lain­kan sudah melalui kajian yang mendalam lewat badan pene­li­tian dan pengembangan lem­ba­ga yang bersangkutan. Sistem zonasi juga sudah lama diber­la­kukan di negara-negara yang sis­tem pendidikannya maju se­perti Amerika, Jepang, Jerman, negara-negara Skan­di­navia, dan Malaysia.

Perubahan radikal ini tentu saja setidak-tidaknya di an­ta­ranya untuk mende­kons­truk­si persepsi umum yang berlaku di masyarakat, bah­wa angka nilai merupakan ukuran tertinggi prestasi siswa. Perolehan angka nilai (nilai UN, IPK, dan sejenisnya) seakan-akan menjadi penentu utama keberhasilan dan masa de­pan siswa, dengan meng­abai­kan faktor-faktor lain, seperti kemampuan kolabarasi, bakat-bakat khusus, dan sebagainya.

Karena itu, siapa pun yang mem­peroleh angka tertinggi dalam angka nilai ujian, sudah selayaknya dia mendapatkan privilese (hak istimewa) dalam segala sesuatunya, termasuk dalam PPDB. Hal ini tentu se­makin mengukuhkan paradig­ma kompetisi dalam pendi­dikan tersebut. Bukannya kom­petisi yang jelek, kompetisi me­ru­pakan salah satu nilai afektif (sikap) yang harus dimiliki siswa. Karena itu, sangat dian­jur­kan. Namun, ketika kom­petisi sudah menjadi “berhala”, saat itulah kompetisi menemui titik krusialnya.

Dengan demikian, sistem zonasi dalam PPDB diharapkan bisa memutus mata rantai “pem­berhalaan” atas pe­mero­leh­an nilai angka dalam sistem evaluasi pendidikan kita yang cenderung lebih bersifat kuan­titatif, sangat minim memotret sisi kualitatif profil siswa. Bu­kan berarti penilaian yang ber­sifat kuantitatif tidak penting.

Ba­gai­manapun, guru mem­bu­tuhkan instrumen bagaimana memetakan para siswanya, me­ngukur sejauh mana materi pembelajaran sudah terserap, yang menandakan bahwa in­di­kator pembelajaran tercapai. Bukankah kini juga lebih di­ga­lakkan penilaian otentik ber­basis portofolio siswa. Tentu saja, akan menjadi sangat naif jika profil kompetensi siswa ke­mudian disimplifikasi dengan pemerolehan nilai ujian na­si­o­nal (untuk pendidikan dasar dan menengah) atau indeks pres­tasi kumulatif (IPK) untuk pendidikan tinggi.

Karena itu, sistem zonasi dalam PPDB harus dibaca se­ba­gai titik awal upaya perubahan mindset (pola pikir) di masya­ra­kat yang terlalu mendewakan nilai angka (nilai akademik). Pasar dunia kerja juga tidak boleh terlalu mendewakan nilai di dalam sistem rekrutmen SDM.

Bolehlah tetap ada stan­dar minimum nilai akademik yang harus diperoleh lulusan, namun jika hanya itu yang menjadi bahan pertimbangan, kelak pihak (perusahaan) pe­makai lulusan akan kecele, karena belum tentu anak yang memiliki nilai tinggi di dalam nilai akademik, ujian UN atau IPK dijamin me­miliki kompetensi yang se­padan dengan nilai formal tersebut. Setidaknya, nilai-nilai yang berkaitan dengan soft-skill lulusan akan sangat sulit terpotret jika melihat pro­fil lulusan hanya dari perolehan nilai UN atau ijazah yang minim deskripsi profil lulusan ter­sebut.

Pembentukan Watak

Mengapa semangat kom­pe­tisi harus ditransfor­ma­sikan menjadi semangat pen­didikan nilai? Setidak-tidaknya, me­nga­pa pembentukan watak pe­serta didik dianggap lebih pen­ting? Hal ini tidak lain karena kemampuan bersifat nilai soft-skill lebih diperlukan bagi para siswa dalam menapaki kehi­dup­an nyata di masyarakat kelak, termasuk di dalam lingkungan kerja, seperti kemampuan mengelola emosi diri, membangun relasi positif di dalam tim, menghormati pihak lain, berkontribusi positif dalam kelompok, menjalin komunikasi yang efektif, dan sebagainya. Tanpa kemampuan dan kemauan berkolaborasi dan berkontribusi, seseorang akan teralienasi dari ling­ku­ngannya.

Ia akan menjadi pri­badi yang egoistik dan asosial. Selain itu, tidak ada satu pun ma­nusia di dunia ini yang mam­pu memenuhi kebutuhan hi­dup­nya sendiri tanpa ber­ko­laborasi dengan pihak lain.

Dengan berkolaborasi, mi­sal­nya, individu akan ber­kembang menjadi pribadi yang asertif. Pribadi asertif adalah pribadi yang terbuka, percaya diri, menghormati liyan (orang lain), tidak egoistis, ber­kon­tribusi positif terhadap ke­lompok atau lingkungan, me­mil­iki kemampuan komunikasi yang baik dan tidak menyakiti lawan bicaranya.

Pendek kata, pribadi yang asertif adalah pribadi yang proaktif dan mampu mengekspresikan diri atas sikap dan pribadinya secara jujur dan terbuka. Sikap-sikap asertif, di antaranya, ditandai oleh beberapa hal positif, se­perti berani mengakui ke­sa­lah­an dan bersedia minta maaf; mengapresiasi prestasi dan kerja orang lain; mampu men­dengarkan dan merespons secara positif pendapat orang lain, meskipun beda pendapat; dan menjadi diri sendiri. De­ngan kata lain, dengan ber­ko­la­borasi, p­otensi siswa memung­kinkan berkembang secara mak­simal, baik itu kecerdasan in­telektual (IQ) maupun kecer­das­an emosional-spiritual (ESQ).

Namun, semangat kom­pe­tisi siswa tidak boleh dimatikan. Semangat kompetisi dan men­talitas kolaboratif-kontributif seperti dua sisi mata uang yang tidak boleh hilang salah satu­nya. Semangat kompetisi meng­hasilkan pribadi yang unggul, mental petarung (dalam arti positif), kreatif, dan pantang menyerah. Pribadi yang de­mi­kian ini tentu sangat dibu­tuh­kan untuk generasi mendatang. Di tengah-tengah persaingan yang semakin sengit, baik lokal maupun global, mentalitas pe­tarung ini sangat dibutuhkan. Di samping, semangat krea­ti­vitas yang berorientasi pada produktivitas, inovasi, dan mutu.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7249 seconds (0.1#10.140)