Pesantren dalam Perspektif Teori Enviromentalisme dan Nativisme

Jum'at, 21 Juni 2024 - 15:16 WIB
loading...
Pesantren dalam Perspektif...
Pengasuh Pondok Pesantren Annida Al Islamy Bekasi, Muhammad Aiz. FOTO/DOK.PRIBADI
A A A
Muhammad Aiz
Pengasuh Pondok Pesantren Annida Al Islamy Bekasi

BERDASARKAN World Population Review, Indonesia di tahun 2024 ini menduduki rangking ke-2 sebagai sebagai negara muslim terbesar di dunia, dengan total populasi 236 juta penduduk beragama Islam yang setara dengan 84,35% dari total populasi seluruh penduduknya. (www.rri.co.id). Jumlah ini mengalami penurunan jika merujuk data hasil penelitian The Royal Islamic Strategic Studies Centre di tahun 2023 yang menyebutkan memiliki populasi muslim di Indonesia sebesar 86,7% atau setara dengan 237,55 juta dari total seluruh penduduknya. (https://databoks.katadata.co.id). Besarnya populasi Muslim tersebut apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan anak, maka secara linier akan menunjukan porsi terbesar dalam dunia pendidikan anak, didominasi oleh anak-anak Muslim. Berdasarkan data Unicef di tahun 2020 terdapat 80 juta anak di Indonesia. (Unicef:2020,13). Kondisi ini menjadikan keberadaan lembaga pendidikan untuk anak-anak menjadi kebutuhan mendasar.

Anak yang merupakan titipan Tuhan merupakan asset berharga yang harus dapat dijaga dan ditumbuhkembangkan secara baik dan benar demi terwujudnya masyarakat yang berkualitas. Kebijakan atau bahkan investasi yang dilakukan oleh setiap orang tua terhadap anaknya menjadi sangat krusial jika dikaitkan dengan kondisi bangsa Indonesia di masa depan. Kesiapan orang tua dalam upaya mengasuh serta mendidik anak terkadang tidak memadai, sehingga membutuhkan pihak lain dalam melaksanakan tugas pengasuhan serta pendidikan anaknya.

Setiap menjelang tahun pelajaran baru muncul kegelisahan pada Sebagian orang tua terkait rencana belajar anak-anaknya. Salah satunya adalah keraguan adalah apakah mendidik secara mandiri atau menyerahkan kepada pihak lain, seperti pondok pesantren? Keraguan ini tidak jarang karena ditentukan oleh faktor kekurangtahuan orang tua atau bisa juga adanya 'stigma' negative terhadap lembaga pesantren.

Pondok pesantren sebagai salah satu dari lembaga pendidikan formal berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, telah lama mengambil bagian penting dalam proses pendidikan anak-anak Indonesia. Bahkan banyak pula anak-anak usia dini yang menempuh pendidikan di pondok pesantren dengan berbagai macam latar belakang. (Fenomena Kecil-kecil Mondok - Pondok Pesantren Lirboyo). Keberadaan anak-anak di bawah umur di pondok pesantren menjadi persoalan yang menarik untuk dikaji agar terjaminnya hak-hak anak dalam mendapatkan pengasuhan, pendidikan, bahkan keselamatan.

Usia anak yang memilih atau dipilihkan orang tuanya untuk menuntut ilmu di pesantren sesungguhnya cukup beragam, mulai dari usia pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Kondisi yang cukup beragam ini memunculkan sebuah pertanyaan kritis apakah memang layak jika ada seorang anak yang masih berusia 6 hingga 12 telah berada di lingkungan pesantren? Di manakah letak kasih sayang kedua orangtuanya? Dalam perspektif agama pun, maka mendidik anak adalah tanggung jawab mutlak dari setiap orang tua, ketika prosesnya dapat dilakukan, baik secara kesiapan materi maupun kesiapan mental dari orangtua tersebut. Hal ini sesungguhnya diikuti juga oleh Konvensi Hukum Anak (KHA) yang mengatur skala prioritas pihak-pihak yang dapat mendidik, mengasuh anak, mulai dari orangtuanya hingga pihak lain yang menurut peraturan perundang-undangan dimungkinkan dengan tetap memperhatikan kepentingan anak.

Faktor pembiasaan serta dukungan situasi kondisi lingkungan menjadi hal yang sangat penting dalam mempengaruhi perkembangan setiap anak. Salah satu teori yang menyebutkan bahwa perkembangan anak akan sangat ditentukan oleh keberadaan lingkungan, adalah teori Enviromentalisme yang dicetuskan oleh John Locke, Hume, dan Skinner (Masganti Sit:2015,14). Lingkungan akan membentuk jiwa seorang anak melalui berbagai proses yang dialaminya, mulai dari adaptasi, repitisi, imitasi, reward hingga punishment. Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang didirikan dengan konsep rekayasa lingkungan pendidikan. Rekayasa lingkungan ini dimaksudkan untuk menciptakan suasana kondusif sehingga tujuan dan maksud pembelajaran dapat tercapai.

Dalam sudut pandang yang lain menyatakan bahwa kemampuan serta keberhasilan seorang anak dalam proses pembelajaran bahkan kehidupan akan ditentukan oleh sesuatu yang dibawa sejak lahir. Konsep ini didasari atas sebuah pemikiran yang bersumber pada teori Nativisme. Tokoh-tokoh yang mencetuskan teori ni antara lain adalah Chomsky, Immanuel Kant, Pinker dan lainnya. (Masganti Sit:2015,13)

Enviromentalisme dan Nativisme menjadi dua teori atau sudut pandang yang saling bertolak belakang terkait dengan tatacara mendidik anak. Faktor lingkungan atau justru faktor bawaan sejak lahirlah yang sesungguhnya menjadikan seorang anak menjadi berhasil dan sukses sesuai harapan dari orang tua. Kedua teori ini masing-masing memiliki argumentasi yang kuat sehingga membuat perdebatan akademis hingga empiris disajikan berdasarkan sesuatu yang nyata dan tidak lagi sebatas teori belaka.

Pesantren sebagai Pilihan

Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang memiliki kekhasan dalam proses belajar mengajarnya, seringkali dipahami oleh sebagian masyarakat sebagai tempat untuk 'mencetak' manusia yang baru serta berbeda dengan wujud sebelumnya. Anggapan umum yang terbentuk sejak lama ini disebabkan oleh karena di pesantren akan dihadirkan suasana lingkungan baru yang belum pernah dialami oleh para peserta didik.

Pesantren dari masa ke masa terus dapat mempertahankan eksistensinya bahkan terus berkembang dikarenakan kemampuan untuk melakukan proses adjustment dan readjustment terhadap persoalan di masyarakat khususnya terkait pendidikan. Pesantren juga tidak hanya identik dengan ajaran serta nilai keislaman, namun lebih dari itu, sebagai representasi makna keaslian Indonesia (indegenous) yang mengalami perkembangan berdasarkan pengalaman sosiologis di masyarakat di lingkungannya.(Azra:1999,108). Dalam pemahaman yang lain dinyatakan juga bahwa pesantren tidak hanya melakukan transfer ilmu pengetahuan tentang Islam (Islamic knowledge) dalam ranah kognitif, namun juga adanya pembinaan mental (ranah afektif) hingga memunculkan serta meningkatkan kemandirian pada setiap santri (ranah psikomotorik).
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2099 seconds (0.1#10.140)