Pesantren dalam Perspektif Teori Enviromentalisme dan Nativisme
loading...
A
A
A
Berdasarkan klasifikasinya, ada beberapa macam pesantren di Indonesia.Pertama, pesantren salaf yang hanya mengajarkan kitab turats tanpa adanya pengajaran klasikal (madrasah). Kedua, pesantren salaf yang mengkombinasikan antara kitab turats dengan pendidikan klasikal (madrasah) namun masih didominasi pendidikan berbasis turats. Ketiga, pesantren semi modern, yaitu pesantren yang telah mengembangkan pendidikan berbasis klasikal (madrasah) namun tetap mengkaji kitab turats. Keempat, pesantren khalaf (modern), yaitu pesantren yang menyelenggaarkan pendidikan umum klasikal akan tetapi kajian kitab turats pun tetap dipedomani namun dengan pendekatan yang lebih klasikal. Kelima, pesantren khalaf (modern) yang ideal dimana tidak hanya mempelajari kitab turats dan pendidikan klasikal, namun juga telah menyertakan pengajaran lifeskill bagi para santrinya, seperti keterampialn di bidang IT, agrobisnis dan lainnya.(Nasir:2005,89).
Selain daripada klasifikasi di atas, masih ada penggolongan pesantren lainnya, yang lebih melihat terhadap model bangunan pesantren di masa modern ini yang telah berubah jauh jika dibandingkan dengan kondisi pesantren klasik. Manfred Ziemek telah membedakannya menjadi pesantren tipe A,B,C,D,E, dan F.(Ziemek:1986). Tipe A adalah untuk pesantren yang masih sangat berpegang pada prinsip serta nilai tradisional dan tidak melakukan transformasi serta inovasi dalam system pendidikannya. Tipe B adalah pesantren yang masih berpegang teguh pada nilai tradisional namun telah mulai melakukan transformasi dan inovasi dalam system pendidikannya meskipun belum signifikan. Tipe C adalah pesantren yang telah melakuakn transformasi seta inovasi dalam system pendidikannya dimana tidak lagi hanya berkutat di pesantren, namun sudah ada lembaga pendidikan formal dalam bentuk madrasah. Tipe D adalah bentuk peningkatan dari tipe sebelumnya, dimana lembaga pendidikan yang sudah ada diisi juga dengan materi keterampilan yang akan menjadi bekal hidup bagi para santri. Pada tipe D ini, keberadaan santri yang masih dibawah umur dapat terakomodir dengan adanya lembaga pendidikan anak usia dini. Adapun tipe E adalah sebuah pesantren yang memiliki kelengkapan lembaga pendidikan formal mulai dari tingkatan anak usia dini hingga perguruan tinggi.
Adanya berbagai bentuk maupun klasifikasi pesantren, apabila berbicara tujuan pendidikan pesantren sesungguhnya sama dengan tujuan pendidikan dalam ajaran Islam, yakni untuk mewujudkan idealitas Islami yang diwujudkan melalui perilaku setiap manusia.(Muzayyin:2005,8). Pada hakikatnya manusia memiliki potensi untuk dapat dididik dan bahkan mendidik (Homo Educandum). Potensi tersebut akan menjadi maksimal ketika terjadinya “pertemuan” yang tepat antara manusia yang dididik dan manusia yang mendidik. Pesantren menjadi tempat dimana pertemuan itu terjadi.(Al Furqan:2015,4). Berbagai karakter anak didik diarahkan untuk mengerti serta menyesuaikan dengan lingkungan yang telah terlebih dahulu dipersiapkan/direkayasa oleh pesantren tersebut.
Dalam menjawab seberapa besar peranan pesantren dalam mendidik anak, menjadi penting jika kita dapat menggabungkan dua sudut pandang yang masing-masing berbeda ke dalam satu spektrum pembahasan. Teori Enviromentalisme (Nurture) dan Nativisme (Nature) sama-sama memiliki argumentasi yang kuat dalam upaya untuk mempertahankan teorinya sehingga dapat terus berkembang dan diterima oleh masyarakat. Bagi anak yang belajar di pesantren, maka kedua teori tersebut akan sangat penting dalam upaya untuk tetap memelihara asa atau bahkan untuk memunculkan asa dalam proses pembelajaran. Asa yang tidak hanya ada di dalam benak setiap anak, namun juga asa yang dimiliki oleh orang tua.
Adanya dua kutub sudut pandang yang bertolak belakang dalam melihat proses pembelajaran seorang anak, tentunya membuat tingkat probabilitas anak dalam mengejar kesuksesannya semakin terbuka lebar. Terbukanya kesempatan untuk menjadi berhasi dapat disebabkan oleh sesuatu yang 'bukan bawaan lahir' atau justru bersumber dari 'bawaan lahir'. Kecerdasan yang didapat sejak lahir merupakan suatu anugerah dari Allah SWT untuk sebagian anak, sesungguhnya tidak melenceng dari teori yang dikemukakan oleh para ahli agama, antara lain Imam Syafi’i yang menyebutkan bahwa syarat mendapatkan ilmu ada 6 hal, yakni kecerdasan, semangat juang, kesungguhan, memiliki modal materi untuk belajar, didampingi guru, dan butuh waktu. (https://mui.or.id/hikmah.) Salah satu syarat mendapatkan ilmu adalah kecerdasan, dimana hal tersebut seringkali diidentikan dengan kecerdasan sejak lahir yang dideteksi melalui mekanisme test IQ (intelegent quotient).
Berdasarkan hal tersebut, maka teori Nativisme mendapatkan tambahan argumentasi tentang bagaimana seorang dapat menjadi berhasil dalam proses pembelajaran. Kelompok Nativisme atau sering juga disebut Nature beranggapan perubahan yang terjadi dalam sebuah lingkungan tidak dapat dipastikan terjadi secara berkesinambungan namun yang terjadi justru sebaliknya. Seorang anak yang semula hanya dapat berpikir konkrit dalam perkembangannya dapat berpikir abstrak . Tidak semua perkembangan kualitatif meupakan wujud dari adanya keberlanjutan dari tahapan sebelumnya karena di dalam perkembangan mungkin saja terjadi percepatan, lompatan atau bahkan kemunduran.
Imanuel Kant menambahkan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan yang baik. Kebaikan ini berasal dari dalam diri yang tumbuh dan berkembang secara alami sebagai bagian daripada anugerah Tuhan. Kemampuan berpikir yang selanjutnya diejawantahkan dalam bentuk perilaku keseharian berakar pada kebebasan setiap anak secara otomatis sesuai dengan prinsip moral yang dilandasi atas rasionalitas.(Gardner:1999,10). Noam Chomsky dengan teori Language Acquisition Device (LAD) pun menyatakan bahwa setiap anak memiliki instink yang dimiliki sejak lahir (innate facility).(Van Patten:2010)
Namun begitu, Imam Syafi’i pun dalam teori tersebut menyebutkan ada kondisi-kondisi “rekayasa lingkungan” yang mampu menjadikan seorang anak menjadi cerdas dan sukses dengan bermodalkan ilmu yang dimiliki. “Rekayasa lingkungan” disini dapat dilihat dari factor semangat juang, kesungguhan, modal/materi, pendampingan oleh guru serta dibutuhkannya waktu dalam proses belajar. Dasar yang melandasi argumentasi di atas adalah bahwa dalam konsep pendidikan Islam segala sesuatu yang ada terwujud melalui proses penciptaan (creation ex nihilo) dan tidak terjadi dengan sendirinya. Konsep ini dapat juga dikategorikan sebagai antroporeligiocentris dimana tujuan pendidikan diarahkan kepada pelaksanaan pendidikan. (Thoha:1996,286).
Senada dengan pandangan Imam Syafi’i, tokoh Barat pun seperti John Locke pun berpandangan bahwa setiap individu anak manusia telah dikarunia sifat atau temperamen yang berbeda, dan factor lingkunganlah yang dapat membentuk jiwa individu-individu tersebut yang semula berbeda menjadi relative sama sesuai yang telah direncanakan oleh lembaga pendidikan. (Crain:2007,6).Terlebih lagi, manakala rekayasa lingkungan tersebut diperuntukan bagi anak-anak, maka akan lebih mudah untuk mengarahkannya melalui proses asosiasi, repitisi, imitasi, reward dan punishment.
David Hume dengan teori Bundle of Mind nya menyatakan bahwa pikiran yang dimiliki oleh setiap anak merupakan sekumpulan persepsi yang berbeda dan berevolusi terus menerus (Sobur:2003,94. Sebuah pikiran memiliki ciri yang melekat, yakni adanya kesamaan persepsi, kedekatan pengalaman waktu maupun tempat, keteraturan antar persepsi hingga adanya kenangan. Keberadaan seorang anak di dalam pesantren yang telah dilakukan rekayasa lingkungan sedemikian rupa akan memberikan stimulus terhadap anak (santri pesantren) yang pada akhirnya “bi’ah” (lingkungan) tersebut memunculkan sebuah perilaku refleks. (Skinner:2005,82).
Selain daripada klasifikasi di atas, masih ada penggolongan pesantren lainnya, yang lebih melihat terhadap model bangunan pesantren di masa modern ini yang telah berubah jauh jika dibandingkan dengan kondisi pesantren klasik. Manfred Ziemek telah membedakannya menjadi pesantren tipe A,B,C,D,E, dan F.(Ziemek:1986). Tipe A adalah untuk pesantren yang masih sangat berpegang pada prinsip serta nilai tradisional dan tidak melakukan transformasi serta inovasi dalam system pendidikannya. Tipe B adalah pesantren yang masih berpegang teguh pada nilai tradisional namun telah mulai melakukan transformasi dan inovasi dalam system pendidikannya meskipun belum signifikan. Tipe C adalah pesantren yang telah melakuakn transformasi seta inovasi dalam system pendidikannya dimana tidak lagi hanya berkutat di pesantren, namun sudah ada lembaga pendidikan formal dalam bentuk madrasah. Tipe D adalah bentuk peningkatan dari tipe sebelumnya, dimana lembaga pendidikan yang sudah ada diisi juga dengan materi keterampilan yang akan menjadi bekal hidup bagi para santri. Pada tipe D ini, keberadaan santri yang masih dibawah umur dapat terakomodir dengan adanya lembaga pendidikan anak usia dini. Adapun tipe E adalah sebuah pesantren yang memiliki kelengkapan lembaga pendidikan formal mulai dari tingkatan anak usia dini hingga perguruan tinggi.
Adanya berbagai bentuk maupun klasifikasi pesantren, apabila berbicara tujuan pendidikan pesantren sesungguhnya sama dengan tujuan pendidikan dalam ajaran Islam, yakni untuk mewujudkan idealitas Islami yang diwujudkan melalui perilaku setiap manusia.(Muzayyin:2005,8). Pada hakikatnya manusia memiliki potensi untuk dapat dididik dan bahkan mendidik (Homo Educandum). Potensi tersebut akan menjadi maksimal ketika terjadinya “pertemuan” yang tepat antara manusia yang dididik dan manusia yang mendidik. Pesantren menjadi tempat dimana pertemuan itu terjadi.(Al Furqan:2015,4). Berbagai karakter anak didik diarahkan untuk mengerti serta menyesuaikan dengan lingkungan yang telah terlebih dahulu dipersiapkan/direkayasa oleh pesantren tersebut.
Dalam menjawab seberapa besar peranan pesantren dalam mendidik anak, menjadi penting jika kita dapat menggabungkan dua sudut pandang yang masing-masing berbeda ke dalam satu spektrum pembahasan. Teori Enviromentalisme (Nurture) dan Nativisme (Nature) sama-sama memiliki argumentasi yang kuat dalam upaya untuk mempertahankan teorinya sehingga dapat terus berkembang dan diterima oleh masyarakat. Bagi anak yang belajar di pesantren, maka kedua teori tersebut akan sangat penting dalam upaya untuk tetap memelihara asa atau bahkan untuk memunculkan asa dalam proses pembelajaran. Asa yang tidak hanya ada di dalam benak setiap anak, namun juga asa yang dimiliki oleh orang tua.
Adanya dua kutub sudut pandang yang bertolak belakang dalam melihat proses pembelajaran seorang anak, tentunya membuat tingkat probabilitas anak dalam mengejar kesuksesannya semakin terbuka lebar. Terbukanya kesempatan untuk menjadi berhasi dapat disebabkan oleh sesuatu yang 'bukan bawaan lahir' atau justru bersumber dari 'bawaan lahir'. Kecerdasan yang didapat sejak lahir merupakan suatu anugerah dari Allah SWT untuk sebagian anak, sesungguhnya tidak melenceng dari teori yang dikemukakan oleh para ahli agama, antara lain Imam Syafi’i yang menyebutkan bahwa syarat mendapatkan ilmu ada 6 hal, yakni kecerdasan, semangat juang, kesungguhan, memiliki modal materi untuk belajar, didampingi guru, dan butuh waktu. (https://mui.or.id/hikmah.) Salah satu syarat mendapatkan ilmu adalah kecerdasan, dimana hal tersebut seringkali diidentikan dengan kecerdasan sejak lahir yang dideteksi melalui mekanisme test IQ (intelegent quotient).
Berdasarkan hal tersebut, maka teori Nativisme mendapatkan tambahan argumentasi tentang bagaimana seorang dapat menjadi berhasil dalam proses pembelajaran. Kelompok Nativisme atau sering juga disebut Nature beranggapan perubahan yang terjadi dalam sebuah lingkungan tidak dapat dipastikan terjadi secara berkesinambungan namun yang terjadi justru sebaliknya. Seorang anak yang semula hanya dapat berpikir konkrit dalam perkembangannya dapat berpikir abstrak . Tidak semua perkembangan kualitatif meupakan wujud dari adanya keberlanjutan dari tahapan sebelumnya karena di dalam perkembangan mungkin saja terjadi percepatan, lompatan atau bahkan kemunduran.
Imanuel Kant menambahkan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan yang baik. Kebaikan ini berasal dari dalam diri yang tumbuh dan berkembang secara alami sebagai bagian daripada anugerah Tuhan. Kemampuan berpikir yang selanjutnya diejawantahkan dalam bentuk perilaku keseharian berakar pada kebebasan setiap anak secara otomatis sesuai dengan prinsip moral yang dilandasi atas rasionalitas.(Gardner:1999,10). Noam Chomsky dengan teori Language Acquisition Device (LAD) pun menyatakan bahwa setiap anak memiliki instink yang dimiliki sejak lahir (innate facility).(Van Patten:2010)
Namun begitu, Imam Syafi’i pun dalam teori tersebut menyebutkan ada kondisi-kondisi “rekayasa lingkungan” yang mampu menjadikan seorang anak menjadi cerdas dan sukses dengan bermodalkan ilmu yang dimiliki. “Rekayasa lingkungan” disini dapat dilihat dari factor semangat juang, kesungguhan, modal/materi, pendampingan oleh guru serta dibutuhkannya waktu dalam proses belajar. Dasar yang melandasi argumentasi di atas adalah bahwa dalam konsep pendidikan Islam segala sesuatu yang ada terwujud melalui proses penciptaan (creation ex nihilo) dan tidak terjadi dengan sendirinya. Konsep ini dapat juga dikategorikan sebagai antroporeligiocentris dimana tujuan pendidikan diarahkan kepada pelaksanaan pendidikan. (Thoha:1996,286).
Senada dengan pandangan Imam Syafi’i, tokoh Barat pun seperti John Locke pun berpandangan bahwa setiap individu anak manusia telah dikarunia sifat atau temperamen yang berbeda, dan factor lingkunganlah yang dapat membentuk jiwa individu-individu tersebut yang semula berbeda menjadi relative sama sesuai yang telah direncanakan oleh lembaga pendidikan. (Crain:2007,6).Terlebih lagi, manakala rekayasa lingkungan tersebut diperuntukan bagi anak-anak, maka akan lebih mudah untuk mengarahkannya melalui proses asosiasi, repitisi, imitasi, reward dan punishment.
David Hume dengan teori Bundle of Mind nya menyatakan bahwa pikiran yang dimiliki oleh setiap anak merupakan sekumpulan persepsi yang berbeda dan berevolusi terus menerus (Sobur:2003,94. Sebuah pikiran memiliki ciri yang melekat, yakni adanya kesamaan persepsi, kedekatan pengalaman waktu maupun tempat, keteraturan antar persepsi hingga adanya kenangan. Keberadaan seorang anak di dalam pesantren yang telah dilakukan rekayasa lingkungan sedemikian rupa akan memberikan stimulus terhadap anak (santri pesantren) yang pada akhirnya “bi’ah” (lingkungan) tersebut memunculkan sebuah perilaku refleks. (Skinner:2005,82).